Setelah buku berjudul A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa mendapat sambutan yang positif, Fahd Djibran kembali menghadirkan karya terbarunya, Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya.
Dalam buku setebal 172 halaman yang diterbitkan Gagas Media, Fahd Djibran menulis sekitar 30 judul artikel yang mengajak kita untuk mengarungi fenomena sosial, kemanusiaan, dan juga cinta. Semua itu sudah lazim dan menjadi pemandangan yang lumrah disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Fahd Djibran mengajak kita untuk menyelaminya lebih dalam melalui sebuah pertanyaan sederhana yang menggugah yang acap kali tak terlintas. Bahkan, dengan cara yang terasa agak menohok, kita diajak merenung dengan mengajukan pertanyaan atas kesalahan atau mungkin dosa yang pernah kita perbuat.
Seperti dalam artikel “Curhat Setan” (halaman 125), kita digiring untuk bertanya kepada diri sendiri, mengapa setiap kali berbuat kesalahan atau dosa, kita selalu menuding setan sebagai penyebab utamanya. Lalu, mengapa manusia yang diciptakan dalam kondisi sempurna dan berakal bisa terjerembab dalam lumpur dosa? Melalui penuturan yang dituangkan dalam bentuk layaknya dialog imajiner dan gaya penulisan yang lugas,kita diajak mendengarkan bagaimana jika setan bisa protes dan menolak dikambinghitamkan atas setiap dosa yang diperbuat manusia.
Dialog yang dikemas begitu apik, mengingatkan kita sebagai manusia yang begitu egois dan jarang mau mengakui setiap kesalahan yang telah diperbuat. Malah, kita lebih senang menuding pihak lain,termasuk setan,sebagai biang keladinya. Penulis pun menyadarkan kita, seharusnya manusia yang diciptakan lebih sempurna dari setan, mampu berpikir rasional dan tidak mengumbar hawa nafsu.Sekaligus menunjukkan sifat kesombongan setan yang merasa lebih baik dari siapa pun, kerap lebih banyak melekat pada perilaku manusia. Padahal satu-satunya kesalahan yang membuat setan terusir dari surga adalah akibat kesombongannya.
Kekuatan artikel “Curhat Setan” begitu menonjol sehingga pantas dijadikan judul buku ini. Meski demikian artikel yang lain tetap memiliki karakter sendiri yang mengesankan. Salah satunya adalah “Ironi” (halaman 99) yang menyoroti fenomena sosial dalam kehidupan global. Penulis menyajikan fakta yang membuka kesadaran kita bahwa banyak ketidakadilan dialami manusia. Walaupun hidup dalam satu bumi, kadang nasib manusia yang berada di negara miskin terasa begitu kontras dengan manusia yang berada di Eropa.
Bayangkan saja untuk pemeliharaan kesehatan dan pemenuhan gizi dasar masyarakat negara miskin dan berkembang dibutuhkan dana sekitar USD13 miliar.Namun,pada saat yang sama masyarakat Eropa menghabiskan USD105 miliar hanya untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Kemampuan Fahd Djibran menulis artikel bertema cinta pun begitu menyentuh, meski melalui penulisan yang tetap sederhana, sudut pandang yang dipilih begitu kuat. Dalam artikel “Lelaki Kecil dan Gugusan Hujan” (halaman 7), digambarkan cinta membuat kita bisa seperti seorang anak kecil yang berusaha mencari dan mencuri perhatian dari orang yang dikagumi.
Bahkan, mampu melakukan hal-hal yang luar biasa untuk menunjukkan kesungguhan cinta. Penulis pun menyelipkan beberapa bait puisi yang menancap untuk melukiskan suasana hati yang sedang kasmaran. Seperti badai/ aku ingin mencintaimu/ sampai mati. Buku ini sangat menarik karena mampu mengajak kita merenungi berbagai hal di sekitar kita dengan cara yang sederhana.
Meski sederhana, penulis membawa kita untuk mengeksplorasi hati, rasa, dan akal melalui sudut pandang yang tak lazim dan pertanyaan-pertanyaan yang liar.
0 komentar:
Posting Komentar