Rabu, 30 Desember 2009

Bukan Sebuah Perayaan UIang Tahun

Ini bukan sebuah perayaan ulang tahun. Tak ada lilin yang menerangi ruang. Tak ada makanan, aksesoris hiasan, kado, dan keramaian. Tak ada tawa terbahak dan teriakan keriangan.

Ini bukan sebuah perayaan ulang tahun. Tak lebih sebaris kata-kata dosa yang melumuri kanvas putih. Maknanya menusuk ulu hati siapa yang mendengar. Ia menyerap begitu dalam hingga ke pembuluh terkecil aliran darah. Seperti sebuah aliran listrik yang merambat hingga ke ujung hantaran, ia pun sangat cepat melesat merasuki setiap yang menghampirinya. Membumbui tawa dengan kedengkian, mencemooh ketawadhuan dengan keangkuhan.


Ini bukan sebuah perayaan ulang tahun. Jejaknya bias nyaris tak terlihat. Lebih tipis dari kabut, lebih halus dari sutera. Dari sebuah do’a dan cinta atas hidup, kita meraba-raba takdir seperti mengaduk-ngaduk adonan makanan. Seolah kapasitas terbatas mampu melampaui kualitas tak terbatas. Sungguh angkuh !


Bagai kepak sayap burung pulang
perkasa di selasar bintang,
laksana camar menjelajah riang
selami laut penuh tawa
waktupun betah berlabuh
kuharap, engkau belumlah petang merah jingga di detik menit
yang hanya duduk membatu menatap
dentang usia
engkau sejatinya adalah pelukis masa dan kisah
bagai senyum berpendar dengan beribu kunang kunang
hingga malam tak lagi gulita

- Daeng -

“Ajari aku sebuah perenungan, atas usia, atas waktu “ !
Lalu ia mengajaku ke sebuah sungai yang mengalir datar hingga ke hilir.
“Lihatlah air sungai itu, ia tetap mengalir tanpa henti, tak peduli apapun yang menyumbatnya, hingga takdir yang akan menghentikan alirannya. Begitulah sisa usia mu, setiap langkah yang sudah kau tambatkan untuk menggenapkan perjuangan hidup, tetap harus melangkah, kendati bongkahan balok, sampah menggumul, dan batu karang hinggap mematahkan tulang-tulang kakimu”

“Ajari aku sebuah perenungan, atas usia, atas waktu “ !
Lalu ia mengajaku ke atas puncak tertinggi
“Apa yang kau rasakan saat berada diatas ketinggian?, kau akan merasa puas karena leluasa melihat pemandangan dibawah sana, kau merasa puas atas perjuangan berat untuk sampai ke puncak tertinggi ini. Tetapi kau pun merasa takut terjatuh dan tersungkur kebawah. Maka begitulah hidup, saat kau berada di atas puncak kejayaan, kau akan merasa puas dan bahagia atas ikhtiarmu, tercukupi semua kebutuhan hidup dengan mudah, sanggup membeli apapun yang kau ingini dengan kejayaanmu itu. Namun dalam hati kecil, menelusup ketakutan kau akan kehilangan semuanya. Kembali pada titik terendah dengan pemaksaan kodrati adalah kesakitan terdalam. Karenanya, berhati-hatilah dengan ketinggian disisa-sisa usiamu, disisa-sisa mimpimu".

“Ajari aku sebuah perenungan, atas usia, atas waktu “ !
Lalu ia mengajariku ke sebuah kuburan tua.
“Lihatlah manusia-manusia terbenam dengan waktunya yang berselang zaman. Tak ada batas pada sebuah bongkahan tanah ini. Kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Setiap kita akan menyelami hidup berbalut kain kafan, tidur beralaskan tanah, merelakan jasad tercabik-cabik oleh cacing tanah. Saat itu, tak ada manusia tertinggi dan terendah secara struktur sosial, budaya, maupun ras. Waktumu hari ini adalah moment yang tidak pernah tuntas. Ada waktu-waktu lain yang akan menuntaskannya, maka jadikanlah separuhnya adalah terbaik pada ketidaktuntasan itu.

Sekali lagi, ini bukan sebuah perayaan ulang tahun !
Hanya kebetulan Tuhan memberi kesempatan untuk menikmati hidup sampai pada tanggal dan bulan yang sama, tepat 23 tahun yang lalu Tuhan memberi kesempatan untuk menjadi bagian dari penghuni bumi yang membenamkan diri dengan balutan dosa.

Hanya harapan yang sangat dalam, jika inilah kesempatan untuk memperbaiki, izinkan aku untuk memperbaikinya. Jika inilah kesempatan untuk menyempurnakannya, izinkan aku menyempurnakan. Jika inilah kesempatan untuk menuntaskan, izinkan aku untuk menuntaskannya.


Karawang, 25-12-2009
Ikmal Maulana


Another Posts:

0 komentar:

Posting Komentar