Search Topic

Lectures

Tampilkan postingan dengan label Catatan Kecil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Kecil. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 September 2012

Umrah Tiap Hari, Mau ?

Kalau kita dikasih kerjaan, tanpa kita tahu upahny, mungkin kita akan malas-malasan, atau sekalipun mengerjakan asal gugur kewajiban/tugas. Beda cerita kalau kita ngerjain kerjaan yang upahnya jelas, semangatnya minta ampun dah… belum kelar aja, dah kebayang tuh fee nya… kira-kira begitu..

Sama juga dengan ibadah, kalau kita tidak tahu fadilahnya, manfaatnya, kayanya ibadah kita datar-datar aja tuh. Beres ngerjain, udah deh… selesai tugas kita ngabdi pada Allah. Padahal subhanallah, tidak ada satupun Allah nyuruh kita buat ibadah tanpa maksud apapun, tanpa fadilah apapun. Bahkan setiap hembusan nafas yang kita iringin dengan dzikir, Allah kasih fadilahnya.
Read More >>

Senin, 01 Maret 2010

Lilin-Lilin Malam

Kau sudah genap 20 tahun. Menginjak diusia beranjak dewasa, menyisakan jejak remaja dan kanak-kanak. Kau sudah dewasa sekarang. Semua yang mengitarimu pun harus menjadi dewasa, atau kau dewasakan. Berkatanya adalah dewasa, bersikapnya adalah dewasa, melihatnya adalah dewasa, memutuskannya adalah dewasa.Walau mungkin masa-masa remaja masih menyisakan kenangan dan moment terindah untuk dilewati. Saat awal kau mengenal seseorang dari sudut yang berbeda-beda, saat awal kau mencoba menebak apa yang diingini dalam hidup dan masa depan, saat awal kau menerka sebuah rasa, saat awal kau mengenal dan menyapa cinta. Saat itu, kau selalu mengadu padaku, apa arti kerinduan bagi seorang ibu pada anaknya. Dan aku menjawab, yang pasti lebih dalam dari kerinduan sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Lantas kau kembali bertanya,  apa arti cinta bagi sepasang kekasih. Dan aku menjawab, yang pasti lebih kecil dari kecintaan seorang ibu pada anaknya.

Read More >>

Jumat, 26 Februari 2010

Annisa Kecil

Annisa, adik kecil yang menanti ibunya
Menangis terisak, diseberang jalan
Sesekali matanya melirik,
berharap datang,
menghampiri,
membelai,
dan meredakan tangisnya

Sebungkus kertas kumal ia kepal
Berisikan nyanyian malam yang ia tulis
Tetap dengan isak
Tetap dengan sedih

Inilah nyanyiannya :

Read More >>

Minggu, 31 Januari 2010

Gemetar Tangan Ibu

Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
( Emha Ainun Najib )


Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Read More >>

Rabu, 30 Desember 2009

Bukan Sebuah Perayaan UIang Tahun

Ini bukan sebuah perayaan ulang tahun. Tak ada lilin yang menerangi ruang. Tak ada makanan, aksesoris hiasan, kado, dan keramaian. Tak ada tawa terbahak dan teriakan keriangan.

Ini bukan sebuah perayaan ulang tahun. Tak lebih sebaris kata-kata dosa yang melumuri kanvas putih. Maknanya menusuk ulu hati siapa yang mendengar. Ia menyerap begitu dalam hingga ke pembuluh terkecil aliran darah. Seperti sebuah aliran listrik yang merambat hingga ke ujung hantaran, ia pun sangat cepat melesat merasuki setiap yang menghampirinya. Membumbui tawa dengan kedengkian, mencemooh ketawadhuan dengan keangkuhan.


Ini bukan sebuah perayaan ulang tahun. Jejaknya bias nyaris tak terlihat. Lebih tipis dari kabut, lebih halus dari sutera. Dari sebuah do’a dan cinta atas hidup, kita meraba-raba takdir seperti mengaduk-ngaduk adonan makanan. Seolah kapasitas terbatas mampu melampaui kualitas tak terbatas. Sungguh angkuh !


Bagai kepak sayap burung pulang
perkasa di selasar bintang,
laksana camar menjelajah riang
selami laut penuh tawa
waktupun betah berlabuh
kuharap, engkau belumlah petang merah jingga di detik menit
yang hanya duduk membatu menatap
dentang usia
engkau sejatinya adalah pelukis masa dan kisah
bagai senyum berpendar dengan beribu kunang kunang
hingga malam tak lagi gulita

- Daeng -

“Ajari aku sebuah perenungan, atas usia, atas waktu “ !
Lalu ia mengajaku ke sebuah sungai yang mengalir datar hingga ke hilir.
“Lihatlah air sungai itu, ia tetap mengalir tanpa henti, tak peduli apapun yang menyumbatnya, hingga takdir yang akan menghentikan alirannya. Begitulah sisa usia mu, setiap langkah yang sudah kau tambatkan untuk menggenapkan perjuangan hidup, tetap harus melangkah, kendati bongkahan balok, sampah menggumul, dan batu karang hinggap mematahkan tulang-tulang kakimu”

“Ajari aku sebuah perenungan, atas usia, atas waktu “ !
Lalu ia mengajaku ke atas puncak tertinggi
“Apa yang kau rasakan saat berada diatas ketinggian?, kau akan merasa puas karena leluasa melihat pemandangan dibawah sana, kau merasa puas atas perjuangan berat untuk sampai ke puncak tertinggi ini. Tetapi kau pun merasa takut terjatuh dan tersungkur kebawah. Maka begitulah hidup, saat kau berada di atas puncak kejayaan, kau akan merasa puas dan bahagia atas ikhtiarmu, tercukupi semua kebutuhan hidup dengan mudah, sanggup membeli apapun yang kau ingini dengan kejayaanmu itu. Namun dalam hati kecil, menelusup ketakutan kau akan kehilangan semuanya. Kembali pada titik terendah dengan pemaksaan kodrati adalah kesakitan terdalam. Karenanya, berhati-hatilah dengan ketinggian disisa-sisa usiamu, disisa-sisa mimpimu".

“Ajari aku sebuah perenungan, atas usia, atas waktu “ !
Lalu ia mengajariku ke sebuah kuburan tua.
“Lihatlah manusia-manusia terbenam dengan waktunya yang berselang zaman. Tak ada batas pada sebuah bongkahan tanah ini. Kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Setiap kita akan menyelami hidup berbalut kain kafan, tidur beralaskan tanah, merelakan jasad tercabik-cabik oleh cacing tanah. Saat itu, tak ada manusia tertinggi dan terendah secara struktur sosial, budaya, maupun ras. Waktumu hari ini adalah moment yang tidak pernah tuntas. Ada waktu-waktu lain yang akan menuntaskannya, maka jadikanlah separuhnya adalah terbaik pada ketidaktuntasan itu.

Sekali lagi, ini bukan sebuah perayaan ulang tahun !
Hanya kebetulan Tuhan memberi kesempatan untuk menikmati hidup sampai pada tanggal dan bulan yang sama, tepat 23 tahun yang lalu Tuhan memberi kesempatan untuk menjadi bagian dari penghuni bumi yang membenamkan diri dengan balutan dosa.

Hanya harapan yang sangat dalam, jika inilah kesempatan untuk memperbaiki, izinkan aku untuk memperbaikinya. Jika inilah kesempatan untuk menyempurnakannya, izinkan aku menyempurnakan. Jika inilah kesempatan untuk menuntaskan, izinkan aku untuk menuntaskannya.


Karawang, 25-12-2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Sabtu, 05 Desember 2009

Apakah Kau sudah cantik?


Apakah kau sudah cantik
memoles wajah dengan bedak,
menghias bibir dengan lipstick,
membalut badan dengan busana seksi,
mengurai rambut hingga kau terlihat anggun
tapi percayalah kau tetap cantik tanpa semua itu

Kita hampir sama dalam menilai kesempurnaan fisik. Wanita menyukai seorang pria dengan badan proporsional, tidak gemuk juga tidak kurus, dada tegap berisi, kulit putih, rambut hitam dan rapi, berjalan seperti sepantasnya
seorang pria, berkata seperti sepantasnya seorang pria, berfikir seperti sepantasnya seorang pria, makan seperti sepantasnya seorang pria. Begitupun pria menyukai perempuan dengan postur tubuh proporsional, kulit putih, bersih, dengan gaya bicara seperti bicaranya seorang perempuan, berjalan seperti berjalannya perempuan, makan seperti makannya perempuan, tertidur seperti tidurnya perempuan.

Saat “kesempurnaan” relatif itu di jadikan refresentasi dalam menilai, maka pada saat yang bersamaan kita telah terjebak pada “kebuntuan” subjektifitas. Bahwa sebagai perempuan kita mengakui tidak memiliki kelebihan seideal dengan kriteria ideal seperti yang diinginkan umumnya pria, sering menyimpulkan pria sebagai makhluk yang egois. Dan bahwa kita sebagai laki-laki mengakui tidak memiliki kelebihan seideal dengan kriteria seperti yang diinginkan wanita umumnya sering menyimpulkan wanita sebagai makhluk “ekslusif”, tertutup, dan sulit menerima keadaan tidak sama dengan kriteria ideal yang diinginkan.



Karawang, 08 Oktober 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Pasar Malam

Dibalik kerumunan pasar yang kumuh
Aku berdendang menyanyikan lagu malam
Bau anyir membungkus tumpah ruah daging ayam
Separuh pedagang tertidur lelap
Separuhnya lagi duduk-duduk diwarung kopi
Sekedar bersenda gurau melepas kelakar dan tawa

Gitar tua ini
Kupetik sepenuh hati
Menyelimuti jiwa yang usang dan tandus termakan beban
Angin malam yang ganas menyayat sendi-sendi tulang
Membekukan darah mengalir pada urat-urat nadi

Aku diam terpaku sepi dalam hiruk pikuk
Menatap langit menghitam meluluhlantahkan singgsana awan
Aku terbuai dalam hampa dan dusta
Menikam tajam kelopak hati membunuh raga tak bernyawa

Sesekali kulirik sederet orang berdatangan
Satu dua berlalu silih berganti
Menawar, membeli
Wajahnya ketus, mukanya kusut
Tersenyum pun sebatas isyarat untuk menjilat

Inilah malam-malam dipasar
Sampah berceceraan
Tangan-tangan kasar berhamburan
Barang dagangan tumpah ruah tak beraturan
Menyaksikan sebaris raga penuai rizki Tuhan
Mata terbuka pada detik barisan lain tekelungkup

Aku bagian episode ini
Tejebak dalam kerangkeng idealisme
Menarik jemari mengulur lidah
Mendorong angin meniup air

Malam-malam dipasar malam
aku disini hingga fajar membuka tirai



Karawang, 23 Okt 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Menyemai Kesesatan


Tepat jam 23.15 – aku mendapati kirimian email dari seorang teman yang sudah hampir 5 tahun meghilang.

From: "Hamba Illahii"
To: "Maulana Sidiq" maulana_sidiq@yahoo.com
Sent: Sunday, June 14, 2009 11:38 AM
Subject: Salam Kebesaran Tuhan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Semoga surat ini menjadi awal perekat kembali silaturahmi kita yang sempat terputus. Apa kabar saudaraku? Semoga tetap dalam lindungan Tuhan, begitupun keluarga yang menemani perjalanan panjang hidupmu, selalu dalam lingkar kebesaran Tuhan. Beberapa hari yang lalu, aku melihatmu di sebuah surat kabar yang menampilan deretan berita-berita

penyudutan atas tudingan tidak beralasan pada ajaran “Tuhan Mulia” – yang aku pimpin. Hampir sama seperti komentar-komentar lainnya, kau pun menyudutkanku dengan seribu alas an yang tidak logis dan terkesan mengada-ngada. Karena sebuh “keterpaksaan” mempertahankan dogma dan doktrin yang sudah lama mengurung ideologi orang-orang sepertimu, sehingga sangat konservatif terhadap sebuah perbedaan.


6 tahun lamanya kita menghabiskan waktu bersama disebuah gobong pesantren tua, dijejali konsep-konsep Islam tradisional dan mono doktrinistik. Santri seperti kita selalu patuh pada kebijakan dan titah kiyai sehingga dengan mudah kau menguasai Bulughul Maram secara tekstual maupun kontekstual, dan akupun sangat lihai mengurai butiran hikmah Riyadhus Shalihin disela-sela masa pengabdian kita selepas 6 tahun lamanya berkutat pada persoalan yang sama tentang iman, keyakinan, pengabdian, ibadah, pembaharuan, dan perbedaan-perbedaan mendasar furuiyah. 8 Tahun kurang lebih sebatas kita menguji seberapa kuat pemahaman Islam yang mengitari setiap langkah hidup, membawanya menjadi secercah ilmu dan hidayah untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat.

Selepas kita berada secara riil ditengah masyarakat, doktrin yang selama bertahun-tahun mengekang kita pun menuntut sebuah penterjemaahan konkret pada kebutuhan-kebutuhan umat. Aku, dan kau pun tak henti-hentinya berbagi. Mengisi ta’lim diberbagai lingkar kajian lintas usia. Namun saudaraku, tidakkah kau tahu betapa sepanjang tahun itu aku merasa kegerahan karena sebuah perbedaan memandang konsep ideologis. Hingga 4 tahun setelah kita menuntaskan kebersamaan dalam rihlah dakwah, aku memutuskan untuk menarik diri dari ranah kebuntuan itu.

Hal yang membuatku lari dan terpincut pada kegelisahan mendalam, perenungan berkepanjangan, penyendirian pada ruang sepi adalah karena aku tidak pernah menemukan inti ajaran yang selama ini aku dapatkan dari sudut manapun. Tuhan seperti selalu abadi dalam shalawat yang kita dendangkan, dan seolah telah mewujud dalam baris-baris Alqur’an dan hadits. Tapi bukan itu yang aku cari. Aku bahkan tidak mempersoalkan Tuhan ada dan tidak ada. Ini sebuah prinsip hipotesa, Tuhan memang tak akan pernah mewujud secara kasat dalam bentuk raga, tapi dia halus menelusup dalam fikiranku. Aku bukan mencari Tuhan Seperti seorang Ibrahim yang mencari-cari, mengira-ngira, sampai mejatuhkan penilaian pada objek yang dilihatnya sebagai Tuhan, tetapi aku menginginkan sebuah alasan keberadaan Tuhan. Dan jawaban atas pertanyaan itu tak pernah ku dapatkan dari gobong tua di pesantren dulu. Maka itu pun terjadi pada alam fikiran liarku – hingga aku menemukan jawaban lain, menurutku inilah sebuah hipotesa yang membenarkan setiap prinsip dasar inti ajaran. Karena penemuanku itulah, lantas kau dan orang-orang yang membenamkan diri dalam dogma usang menganggapku sebagai kesesatan.


Saudaraku…
Melalui email ini, secara sederhana aku ingin menganalogikan alur keyakinan sekaligus pembantahan kebenaran pada penudingan yang kau lakukan. Sungguh, tak ada sedikitpun sebaris dusta dan pemutarbalikan argumentasi. Pada dasarnya, aku masih sama sepertimu secara normatif. Tuhan yang selama ini kau akui dan pantas menyandang predikat ke Tuhanan adalah Allah. Nabi yang menjadi panutan dan teladanku adalah Muhammad. Kitab suci yang menjadi penerang dalam bingkai kejumudan adalah Alqur’an. Apakah kau masih menganggapku sesat.

Ini hanya perbedaan menterjemahkan konsep. Kau memahami Tuhan sebagai muara keyakinan pada fungsi kemanusiaan, memposisikannya sebagai pemegang kebijakan tertinggi dalam ranah interaksi hidup, pada gilirannya nanti, setiap yang kau lakukan berharap mendapat perhatian khusus dari Tuhan – menurutku ini adalah pembodohan kekanak-kanakan. Seperti seorang anak yang menginginkan dibelikan baju baru, lantas dia berpura-pura bersikap baik agar diperhatikan oleh ayahnya. Dan itu tak pernah kau fahami secara terbuka, hingga berlangsung lama kau menduakan keyakinan dengan harapan palsu. Inilah yang membuatku berbeda denganmu. Aku menyederhanakan Tuhan dengan sebatang rokok, sebongkah es, sederas air. Ia tak lebih dari apa yang sedang kita lihat, lebih tinggi, sama, bahkan lebih rendah secara wujud dan fungsi. Tapi persoalannya aku tidak menempatkan Tuhan pada sebuah eksistensi, melainkan isyarat kehidupan. Setiap yang hidup pasti dia ber-Tuhan, dan Tuhan akan tetap ada, tetap memberi perhatian, untuk sebuah kehidupan. Pantas dan tidaknya kita mendapatkan perhatian, Tuhan punya kewajiban atas hak manusia sebagai penghuni bumi yang menjadi bagian korelasi diagram kehidupan ini.

Aku memahami Islam telah memberi keadilan pada keleluasan berfikir setap umat. Dan Tuhan telah menyempurnakan dengan menyemai konteks ajarannya sesuai kebutuhan di seluruh dekade kehidupan, tanpa masa, tanpa ruang. Islam bukan agama kolot dan usang, dia akan terus bermetamorfosis menjadi agama sempurna dibandingkan agama-agama lain. Tapi lihatlah cara dan gaya mayoritas penganutnya, menjalankan konsep Islam dalam ruang yang sangat sempit. Rasulullah telah tiada bersama masa-masa keemasan kejayaan Islam di zamannya, namun ruhnya tetap bersemayam utuh dalam hati-hati para pecintanya. Kesalahan kita adalah melakukan pengerucutan konsep Islam dalam kerangka yang tidak kontemporer, mengurai pesan Rasul dalam ruh yang berbeda dengan

Apakah kau masih menuduhku sesat setelah aku mengakui Alqur’an sebagai kitab suci tertinggi. Kita sama saudaraku ! Namun yang membedakan adalah cara kita menginterpretasikan konteks nilai yang ada dalam Alqur’an. Aku tidak menamakan ini penafsiran lintas historis, ataupun tafsir liberalistic, bahkan tafsir dogmatis. Kau boleh menyebutnya apapun tentang alam fikiran liarku atas penafsiran terhadap Alqur’an yang kuanggap tak lebih dari buku-buku cerita, novel, dan lain sejenisnya. Karena Alqur’an sebuah buku biasa, jadi tak lebih dari semua itu. Aku menghargai Alqur’an pada konteks nilai substantive bukan ruang. Inilah yang menjadi garis persinggungan kita.

Baiklah saudaraku, aku sudahi dulu email ini. Semoga kau tetap dalam lindungan Tuhan. Jangan katakan bahwa aku harus menghentikan dakwah ini, karena ini prinsip ajaran yang sama seperti saat kau melakukan ekspansi dakwah.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.


----------------- *** ----------------------------------------

Setelah membaca email ini, air mataku menetas hingga jatuh membasahi tombol keyboard laptop. Tangisan ini untuk semua perasaan yang mengitariku, sebuah kerinduan mendalam atas kehadiran sahabat terdekat selama bertahun-tahun menyemai ilmu di pondok pesantren, sebuah keprihatinan mendalam atas garis persinggungan yang nampak ia buat, dan sebuah harapan untuk kembali meraihnya pada jalan kebenaran yang sesungguhnya.

Ikmal Maulana
Read More >>

Selalu Kosong, Selalu tidak sempurna

Berawal dari ruang kosong putih tanpa bercak – kita hadir diruang bumi mengisi kapling kehidupan sesuai kadar kepantasan. Ruang-ruang kosong yang ada menjelma menjadi sebongkah keinginan yang berhak diterjemahkan kedalam harapan apapun, mimpi apapun, dan khayalan apapun. Maka, sedari kecil kita tak pernah belajar untuk mengungkap keinginan, ia selalu hadir menyelimuti kekosongan-kekosongan dan serpihan ketidaksempurnaan. Selalu ada hasrat untuk mengisinya, selalu ada upaya untuk menyempurnakannya. Itulah hidup, sebatas kita menginginkan sesuatu yang tak pernah memberi batas kepuasan. Kala kita mengira wujud dari suatu keinginan akan membatasi kepuasan, pada saat yang bersamaan ketika keinginan itu sudar tergapai, hadir keinginan lain untuk memberi kepuasan lain.

Sejauh kita melangkah, semakin panjang jalan yang dipijak, semakin lama kita merambati waktu melintasi masa, semakin jauh pula kita menghadirkan keinginan-keinginan – sekedar mengisi ruang kosong, sekedar memenuhi hasrat untuk menyempurnakan. Itulah hidup, tak pernah usai dengan berakhirnya keinginan.


Berawal dari ruang kosong tanpa bercak – Kita hadir diruang bumi mengisi kapling kehidupan sesuai kadar kepantasan. Maka, pantaskah keinginan yang kita buat ! Maka, pantaskan kepuasan yang kita inginkan !

Aku ingin …………….
Aku ingin …………….
Aku ingin …………….

Isilah titik-titik itu, maka akan ada titik-titik lain yang ingin kau isi !


Karawang, 15 Okt 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Petualangan Iblis

Inilah jalan Tuhan yang ku terima. Setelah pengucilan dan pengusiran dari surga, aku menjadi makhluk yang dibenci semua makhluk Tuhan. Salah satu didalamnya adalah manusia, sekutu ku yang menjadi awal penyebab kehinaan berkepanjangan ini. Mereka adalah makhluk terkutuk yang mengasingkanku dari singgasana surga. Apa dasar Tuhan menyuruhku bersujud pada mereka - sebagai simbol penghormatan. Kehormatan apa yang disandingkan pada makhluk bernama manusia? Aku berfikir Tuhan telah salah alamat, menempatkan manusia pada fungsi khalifah yang berhak menjadikan kavling-kavling bumi sebagai lahan subur untuk memenuhi hasrat hidup mereka. Dan bahkan aku mengira bahwa Tuhan telah menodai ke Tuhananya dengan mengusirku dari surga karena sebuah pembelaan hak dan eksistensi – bukan kesombongan sebagaimana yang Dia ungkap dalam kitab-kitab suci.

Inilah jalan Tuhan yang ku terima. Setelah pengutukan dan pengusiran dari surga, aku bersumpah akan membuktikan bahwa Tuhan telah salah dalam menilai. Beberapa saat saja ketika Adam ditempatkan disurga, lantas aku datang sekedar ingin mengetahui kepantasan sebuah komitmen kehambaan pada Tuhan. Lihatlah, dia jatuh terkulai dalam hitungan menit. Ahai, iblis selalu menang dan manusia selalu kalah ! – Ini bukti bahwa aku makhluk yang sepantasnya menempati porsi khalifah, bukan manusia. Lantas, atas kekalahan itu, manusia pun terusir sepertiku dari surga, jatuh ke bumi – lebih tepatnya, mutasi dini dengan tidak hormat.

Inilah jalan Tuhan yang kuterima. Tuhan menangguhkan kematianku hingga hari kiamat, bisa dibayangkan jumlah keturunanku dibumi ini tidak terputus, terus bertambah, terus melebarkan sayap, dan terus mempertajam strategi penelantaran manusia. Karena sebuah dosa – Tuhan kelak akan menggiringku beserta seluruh keturunanku ke neraka, menjadi penghuni kekal didalamnya. Sungguh aku tidak pernah rela atas penghinaan ini, dalam tekadku yang kutanamkan menjadi sebuah doktrin mengakar pada anak cucuku, manusia harus bertanggung jawab atas semua kutukan ini.

Teruntuk :
Penghuni bumi bernama manusia,
Saksikan langit menghitam
Saksikan awan menggumpal penuh dendam
Saksikan gemuruh ombak mengamuk
Saksikan petir menyambar-nyambar
Itulah kebencian dan dendam yang ku simpan


Misi utama yang selalu kubawa hingga hari kiamat tiba adalah membuat manusia menjadi lupa akan eksistensi Tuhannya. Dalam kapasitas sebagai makhluk yang berakal dan sempurna secara fisik, sebenarnya tidak sulit bagiku untuk memperdaya manusia. Aku bahkan bisa melihat, mendengar, merasakan apa yang mereka interaksikan dalam wujudnya secara jasmaniah dan lubuk hati terdalam. Ahai, jangan dikira kami kaum iblis adalah kaum bodoh sebagaimana yang kalian kira wahai umat manusia. Aku bisa mengaji lebih fasih dari lafal yang kau ucapkan, aku bisa berpidato seperti seorang da’I kondang lebih memukai dari laga yang kau lakoni di mimbar, dan aku mampu berbuat baik – atau pura-pura berbuat baik – hingga kau mengira bahwa aku bukan bagian dari kegelapan.

Bisikanku sangat pedas, kau akan mengira kau telah menebar kebaikan padahal semuanya sirna karena aku selalu memupuskan ketulusan. Godaanku sangat halus, kau akan mengira sholat mu berarti sebagai bukti dan penyelamatan di yaumul hisab nanti, padahal aku sudah meluluh lantahkan fondasi agamamu jauh sebelum kau terbiasa melakukan ritual ibadah yang kau sendiri sejujurnya merasa jemu.

Percayalah aku selalu menang, dan kau selalu kalah !
Aku menyelimuti malam-malam dinginmu hingga kau jauh terlelap, malas terbangun dan menjadikan subuh menjadi duha – bahkan sama sekali kau tinggalkan. Aku membantumu beristirahat disiang hari dengan terik panas membanjiri keringatmu, tak usah ke masjid untuk sebuah ritual. Dan begitu selanjutnya, dihari-hari yang mengitari aktifitasmu aku membuatmu memandang kewajiban sebagai keharusan yang bisa diperjual belikan. Dan aku menggelapkanmu hingga dosa kau pandang sebagai nista yang mudah kau hapus dengan taubat.

Percayalah aku selalu menang, dank au selalu kalah !
Inilah janjiku ! Ikutlah bersamaku ke lembah neraka yang “menyejukan”
Inilah petualanganku yang usang, dan selalu usang !


Salam takzim padamu,
Iblis, dkk.


Karawang, 21 Okt 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Inovasi Bunuh Diri

Semenjak kau pergi, hati ini kosong seperti ruang tanpa bidang, datar dan hampa. Semenjak kau pergi, jiwa ini menjadi kering seperti dedaunan dimasa kemarau. Semenjak kau pergi, raga ini menjadi seperti tak bernyawa. Aku berjalan tanpa tau kemana arah, aku melihat tanpa tau apa yang dipandang, aku mendengar tanpa tau apa yang sedang diperbincangkan

Irwan Septiana
------------------
Aku membaca surat ini tergelak dilantai dibawah kasur Irwan yang saat itu telah membujur kaku menjadi raga tak bernyawa. Disampingnya sebuah laptop menyala dengan aplikasi yang baru pertama kalinya kulihat. Perhatian ku kini menjadi kabur antara shok melihat Irwan mati mendadak, dan layer laptop miliknya yang menampilkan aplikasi yang menurutku aneh. Setelah ku amati, kulihat tulisan kecil diatas menu “setting” tepat ujung kanan atas menu bar, “Nevan – Aplication Program for Kill” .

Sehari setelah jenazah Irwan di semayamkan, sengaja aku searching google dengan mengetikan keywoard nevan, namun tak ada satupun list yang keluar. Aku masuk jaringan intranet Yulidiya Campus pada kotak pencarian e-news, dan kudapati satu list yang menggambarkan “Nevan” – This program arrange for kill.

Ternyata, kini untuk bunuh diri ada cara yang lebih canggih, tak perlu obat pembius, tak perlu gantung diri, tak perlu menyayat nadi. Kita tinggal duduk manis didepan laptop, jalankan program Nevan, saat kita mengikuti intruksi-intruksi yang keluar, pada akhir petualangan, kita dihadapakan pada dua pilihan, “Are you sure going to kill myself? “ lalu ada dua tombol “Yes” dan “No”, pada saat menekan tombol “Yes” maka server yang sengaja ditempatkan di ruang khusus oleh vendor Nevan akan mengirim sinyal pembunuh pada pembuluh otak kita. Luar biasa… Dan itulah yang dilakukan Irwan Septian, sahabatku yang menderita ditinggalkan oleh kekasih tercintanya.

Ikmal Maulana
Read More >>

Kebohongan

Tulisan ini saya muat sebagai pencerahan opini dari obrolan ringan via telepon dengan seseorang yang tak henti-hentinya menyemangati saya untuk terus menerus berbagi sekecil apapun. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi wujud apresiasi saya sebagai bagian dari orang yang sedang belajar berbagi.

Dusta atau kebohongan adalah penyimpangan sikap yang sering dilakoni oleh setiap kita sebagai makhluk yang menginginkan kesempurnaan dalam meraih simpati, apresiasi, penyelamatan diri, dan kelayakan untuk lebih unggul dari siapapun yang menjadi ‘lawan’ dalam perhelatan arena hidup. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan, energi yang terkuras, maupun stakeholders – bagian terkait dari kebohongnnya - yang dirugikan akan ditempuh sebagai cara-cara yang seolah ‘halal’. Seorang yang melakoni kebohongan akan rela melakukan apapun untuk menutupi kebohongannya, kendati dengan itu melahirkan kebohongan lain dan kontraksi keadaan yang lebih menyimpang.

Bohong – dalam wikipedia bahasa Indonesia - merupakan pernyataan yang keliru untuk membuat ‘lawan bicaranya’ menjadi percaya dengan semua yang dituturkan. Fiksi meskipun salah, tetapi tidak bisa disebut kebohongan.

Terlepas dari jenis, kapasitas, dan faktor yang melatarbelakanginya, sangat sulit kita menghindar secara frontal terhadap keadaan yang ‘memaksa’ untuk melakukan kebohongan. Walaupun pelaku kebohongan akan mempertaruhkan kesempatan, karir, jabatan, untuk melancarkan kebohongannya itu. Lihatlah seorang koruptor yang mempertaruhkan jabatanya saat mengambil maupun menerima ‘upeti’, lihatlah seorang akunting yang mempertaruhkan posisinya ketika ia melakukan rekayasa laporan keuangan, lihatlah seorang pedagang yang mempertaruhkan loyalitas pelanggannya saat ia mengurangi takaran. Semua yang mereka lakukan pemicunya selalu sama dan klasik, meraih kepuasan kredibilitas – sebuah harga mati untuk nilai ideal kepercayaan - terhadap individu dan sosial, maka kebohongan dinilai sebagai kewajaran. Sehingga menjadi terbisa menyembunyikan kebenaran yang sederhana untuk sebuah implikasi yang besar.

Kebohongan – saya menyebutnya perselingkuhan hati. Tanpa kita harus menggariskan identitas untuk mengidentifikasi keadaan yang benar secara runtut dan rumit, cukuplah hati yang memberi kejelasan atas sebuah kebenaran dan kesalahan. Dia keadilan untuk setiap dakwaan, argumentasi terkuat untuk menyatakan benar dan salah, dan penyeimbang dalam kata dan perbuatan – Hati adalah hakim yang tak pernah membohongi setiap kebohongan. Saat kita mengatakan “Ya” atas sesuatu yang “tidak” maka hati akan secara naluriah berteriak sangat keras hingga membuat jiwa gelisah dan gundah.

Setiap hasil yang diperoleh dengan jalan kebohongan tak pernah memberi ruang kenyamanan dan kepuasan, karena hati yang menerima bukan raga. Ketakutan yang paling besar – ditimbulkan hati – bagi seorang pembohong bukan kerugian fisik, melainkan kerugian nonmaterial yang bisa diinterpertasikan sebagai kepercayaan. Saat kebohongannya terkuak, ada 2 pilihan yang bisa ditempuh bagi seorang pembohong, pertama, tetap berbohong untuk menyelamatkan kebohonganya, kedua, mengatakan yang sebenarnya secara utuh walaupun dengan itu resikonya lebih besar.

*****
Arini, seorang gadis desa yang lugu, jujur, memahami hidup tak lebih dari apa yang ia kenal tanpa berharap lebih menyelaminya diluar jangkauan kesanggupan. Setahun lalu ia menikah dengan seorang pria yang datang jauh dari tempat ia berteduh, disebuah kota yang tentu tak pernah mirip sekalipun disamakan dengan kehidupan desa. Ia begitu percaya terhadap suami yang ia junjung sebagai imam dan teladan keluarga. 2 tahun menikah, Tuhan mengkaruniakannya seorang anak hingga menambah kerekatan keluarga yang ia bina. Disaat-saat kebahagaian sedang menyapa dalam hari-harinya, selang beberapa bulan sejak anak pertamanya lahir datang seorang wanita yang tak pernah ia kenal.

“Mana suami saya !” dengan lantang wanita itu mendorong pintu membuat kaget Arini dan anaknya yang masih berusia beberapa bulan itu.
“Maksud ibu apa?” Tanya Arini keheranan
“Ahhh… sudah jangan pura-pura, dasar wanita pelacur ! Dimana suami saya”

Seperti disambar petir, mendengar kata-kata yang jangankan mengatakan, untuk mendengarnya saja baru pertama kali. Arini tampak gugup, suaminya yang sedari tadi mengerjakan pekerjaan di kamar, keluar mendengar kegaduhan.

“Ada apa ini” Tanya suaminya dengan wajah penasaran
“Dewi !” Lanjutnya menebak seseorang yang mungkin tak sing bagi suaminya itu.
“Iya ! kenapa? Kaget ! Dasar laki-laki tak tau diri” Hardik wanita itu
“Siapa dia mas” Tanya Arini
“Dia… mhh.. dia…” dengan gugup suaminya berusaha memberi jawaban
“Saya istri pertamanya !” Wanita itu memotong kata-kata suaminya seolah ingin memberi jawaban tegas atas pertanyaannya.
“Mas ?” Arini masih tak percaya dengan apa yang baru didengarnya
“Arini dengar dulu…” Suaminya berusaha menjelaskan

Sebelum melanjutkan penjelasan suaminya, Arini lari menuju kamar mengunci pintu bersama buah hatinya. Ia mendengar percekcokan hebat diluar sana, telinganya penging kepalanya pusing, mendadak ia mual ingin memuntahkan kekesalan dan pertanyaan besar yang telah mengeruhkan kepercayaan pada cinta dan ketulusan yang ia rajut.

Ia mencoba memahami lebih dalam, mungkin akan melewati batas kemampuanya dalam memahami hidup, tapi ia akan berusaha keras untuk sebuah keadilan. Poligami bukan larangan, tapi suaminya menempuh jalan yang menurutnya sebagai gadis lugu adalah sebuah kesalahan besar.

Selang beberapa hari setelah tragedi itu, suaminya menghampiri Arini, mengakrabinya lebih dari hari-hari yang pernah mereka lewati.

“Saya minta maaf, Arini. Semuanya tidak seperti yang kamu fikirkan”
“Mas belum bercerai?” Tanya arini datar
“Arini…”
“Mas, saya butuh jawaban, bukan alas an”

Suasana hening beberapa saat sebelum akhirnya suaminya memberikan jawaban pasrah.

“Saya memang belum bercerai, dia masih berstatus istri saya, tapi…”
“Mas sudah membohongi saya dan keluarga saya” Arini menangis sendu menyisakan kesedihan mendalam
“Arini…”
“Semuanya sudah terjadi, izinkan saya berfikir untuk kelanjutan rumah tangga kita mas” lanjutnya

Suaminya hanya diam berpaku tanpa kata, seolah menyadari kesalahan yang telah ia sisihkan untuk ketulusan cinta istrinya. Dalam hati ia berlirih, seandainya sedari dulu saya mengatakan bahwa saya bukan bujangan, mungkin lain ceritanya.


**********

Ada 2 pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah diatas. Pertama, poligami memang sesuatu yang halal, boleh dilakukan siapapun yang merasa pantas menempuhnya. Tapi apakah jalan halal menjadi muara untuk dialirkan oleh aliran yang tidak halal. Terlepas dari kontroversi alas an diperbolehkan tidaknya pologami seperti yang dilakoni pada kisah diatas, saya hanya berkesimpulan sederhana, betapapun besarnya kebaikan yang ditebar, jika ia difondasi oleh akar yang rapuh tetap menjadi sebuah kenistaan. Kita tak mungkin membangun masjid dengan semen hasil dari mencuri. Pun kita tak mungkin membersihkan hadats besar dengan air tercampuri najis.

Pelajaran kedua, kepercayaan yang lama kita semai seolah luluh lantah oleh satu kebohongan kecil. Lihatlah Arini yang mendewa-dewakan suaminya, mengabdi sepenuh kewajiban ia sebagai istri, bertahun-tahun lamanya. Ibarat kemarau berkepanjangan menjadi hilang dengan hujan sesaaat. Kepercayaan Arini seolah mengendap seketika, kala hatinya dilukai oleh kebohongan suaminya, walau itu dilakukan sekali saja, sehari pun tidak, hanya beberapa menit.

Seberapapun kuatnya argumentasi sebuah kebohongan, tak pernah melahirkan kebaikan. Walau ada beberapa kebohongan yang ditoleransi menjadi pembelaan – misal, diperbolehkan berbohong saat tertekan musuh – namun secara normatif, kebohongan dalam lajur hidup normal tetap sebuah perselingkuhan hati yang berimplikasi pada kecewa dan kehilangan kepekaan rasa. Pada limit penyadaran sejauh apapun, seorang pembohong akan melemahkan diri atas kelalaianya. Kutipan kisah diatas hanya miniatur sederhana saja, penyesalan selalu berujung menjadi akhir bagi seorang yang melakoni kebohongan.


******

Karawang, 01 Okt 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Surat Untuk Sahabat - 4 - " Meraih Cinta dari sang penguasa Cinta"

Hati pedih inilah yang membaringkan berahi telanjang pencinta
Tiada Sakit menghamburkan luka seperti itu
Cinta adalah rasa pilu disebabkan berpisah dari kekasih
Cinta adalah tanda dan bola kaca rahasia Ketuhanan
Tidak peduli apakah berasal dari langit atau pun bumi
Cinta pada akhirnya akan membimbing kita ke hadirat-Nya

Pikiran bagaikan keledai di lumpur, senantiasa gagal
Menerangkan apakah yang disebut cinta
Cinta sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta
Bukankah seperti matahari, hanya matahari itu sendiri
Dapat menjelaskan apa itu Matahari
Ketahuilah, wahai kau yang ingin mengetahui
Segenap bukti yang kaucari sudah ada di Sana.
( Jalaludin Rumi )

*******
Kutipan artikel ini pernah saya posting di facebook Muhammadiyah Karawang sebagai interpretasi dari dialog senja ramadhan yang sebelumnya saya dan temen-temen selenggarakan. Saya tertarik untuk mengungkapnya lebih mendalam karena beberapa hari sebelumnya saya menerima sebuah message dari seorang teman :

“ kang bagaimana kita mencintai seseorang tidak melebihi rasa cinta kita ke Allah?” - NP -

Sebelumnya saya berterima kasih karena kau mau berbagi dengan pertanyaan itu. Tapi sejujurnya, saya sulit menjawab sesederhana kalimat pertanyaannya. Mudah-mudahan kita bisa berdikusi lebih lanjut, berdialog bebas sesuai interpretasi kita, sesuai rujukan yang digunakan. Izinkan saya berbagi, menjawab dengan kadar kemampuan yang saya punyai – tentu dengan segala keterbatasan, kelemahan, dan ketidaksempuranaan sebuah jawaban.

*****

Cinta itu sumber energi - Cinta bisa mengubah ketidakmungkinan menjadi mungkin, ketidakpastian menjadi pasti, ketakutan menjadi berani, kelemahan menjadi kekuatan. Cinta ibarat ketergantungan mesin motor pada bensin, tanpanya motor tak mungkin bisa melaju. Cinta juga ibarat api ungun diantara kegelapan malam, tanpanya malam semakin gelap, pekat, dan pengap. Cinta pun lir ibarat air disaat kita dahaga, nasi disaat kita lapar, payung disaat kita terpanggang terik. Cinta adalah sumber energi – Pelaku cinta menjadi pribadi yang lebih tangguh, lebih hebat, lebih kuat atas suplay-suplay energi cinta !
Kita sanggup berjalan ribuan mil, kita mampu meloncat diatas ketinggian tebing yang sulit dicapai, kita mampu menyebrangi lautan, semuanya atas energi cinta yang mengalir melalui sel-sel darah yang membentuk jaringan-jaringan kekuatan dalam diri. Lebih kuat dari derasnya air, lebih menggema dari suara halilintar, lebih keras dari baja. Cinta adalah sumber energi !

Lihatlah bagaimana saat kau termotivasi untuk selangkah lebih maju atas orang yang kau cintai – seorang anak menjadi rajin belajar saat kekasihnya memerintahkan untuk meraih ranking 1 pada sebuah ujian – dengan apapun kita akan berani mengubahnya menjadi nyata. Mimpi bagi seorang pecinta ibarat stimulant yang akan merangsang otaknya untuk selalu berfikir positif – bahwa aku pasti bisa menempuhnya - , membuat raganya menjadi lebih tangguh – seberat apapun beban yang dipikul, sejauh apapun jalan yang ditempuh, setinggi apapun titik yang harus diraih, seorang pecinta telah menyiapkan raganya setangguh mungkin.

Cinta menuntut pengorbanan - Tak ada cinta tanpa pengorbanan ! ah, mungkin kau hanya ingin menakuti ku saja ! – Buktinya kita akan merelakan kulit terkelupas saat harus menaiki bukit yang curam ketika kekasih meminta bunga diatas bukit itu. Kita akan merelakan berapapun besarnya uang yang dikeluarkan untuk kesembuhan kekasih saat dia sakit. Dan kita akan merelakan menunggu berjam-jam saat harus menunggu bus disebuah terminal menuju kediaman kekasih. Seorang suami bersusah payah saat harus memenuhi istrinya yang meminta sesuatu tidak masuk akal karena mengidam, tapi lihatlah dia lakukan dengan sepenuh hati, menjadikan malam tak lagi menakutkan, menjadikan hujan tak lagi dingin, dan menjadikan terik matahari tak lagi panas – semuanya atas dasar cinta, karena cinta menuntut seorang pecinta berani mengorbankan apapun untuk sebuah senyum kekasihnya.

*******
“Wahai anaku, semalam aku bermimpi bahwa aku diperintahkan oleh Allah untuk menyembelihmu, bagaimana menurut pendapatmu tentang mimpiku itu? “ Tanya Ibrahim pada anaknya Ismail

“Ayah, jika memang itu perintah Allah, lakukanlah, Insya Allah kau akan menjumpaiku termasuk kedalam orang-orang yang sabar”


Dialog sederhana itu dilakoni oleh seorang Nabi yang mencintai kekasihnya Allah – atas kecintaanya itu ia merelakan melakukan apapun untuk memenuhi keinginan sang kekasih, kendati permintaan itu harus memupuskan kecintaanya pada yang lain. Cinta yang dilakoni Nabi Ibrahim ini sarat dengan nilai pengorbanan untuk membuktikan kecintaanya hanya pada kekasih yang sesunggunya, sang pemilik cinta, Dialah Allah SWT.

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. 37:102)

Bahwasanya mimpi seorang nabi merupakan wahyu, sehingga Nabi Ibrahim AS pun melakukan wahyu yang memerintahkan penyembelihan itu. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)". (QS. 37:103)

Nabi Ibrahim AS telah melaksanakan perintah dalam mimpi itu tanpa keraguan, maka Allah SWT pun berfirman :"Dan Kami panggillah dia:"Hai Ibrahim", (QS. 37:104).

"...sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik". (QS. 37:105) Allah menerangkan itu semua, dan menyatakan : "Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata". (QS. 37:106). Lalu, Allah SWT mengganti penyembelihan Ismail AS itu dengan firman-Nya, "Dan Kami tebus anak itu dengan dengan seekor sembelihan yang besar". (QS. 37:107).

******

Dengan Cinta semuanya jadi Indah – Saat menunggu semenit terasa 60 detik, sejam terasa 60 menit ( emang bener ) – Kebanyakan penilaian bahwa dia cerewet, tapi kau mengira itu lantunan lirik yang indah. Ketika penilaian bahwa dia gemuk, lantas kau membantahnya, kau bilang dia tidak gemuk, justru dia sehat ! Saat kebanyakan orang menilai dia pelit, kau pun membantahnya, kau bilang dia hanya sedang belajar irit – ambooooi.. semuanya jadi indah, karena cinta !

Rasulullah melakoni kecintaanya pada Allah saat dia merasa indah dengan sholat malamnya hingga kakinya bengkak, dia tidur diatas pelepah kurma dibilik-bilik sempit, tapi lihatlah atas kecintaannya dia mengatakan “Baiti Jannati” – Rumahku Surgaku – sebuah ungkapan yang sulit kita ucapkan. Dia merasa cukup dengan keterbatasannya saat malaikat menawarkan untuk mendo’akan beliau agar Allah menurunkan kecukupan materi. Cinta melahirkan rasa indah ! – Tak ada alasan atas cinta yang dimiliki sang pecinta. Saat kau meminta sebuah pengakuan, maka yang keluar adalah butir-butir permata yang terlantun seindah kata terucap, mata melihat, telinga mendengar. Tak ada keindahan selain keindahan cinta sang pemilik cinta.

"Mencintai sang kekasih, berarti mencintai apa yang dicintai oleh sang kekasih"

******

Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu

*****
Berpisah dari Layla, Majnun jatuh sakit. Badan semakin lemah, sementara suhu badan semakin tinggi. Para tabib menyarankan bedah, “Sebagian darah dia harus dikeluarkan, sehingga suhu badan menurun.”Majnun menolak, “Jangan, jangan melakukan bedah terhadap saya.”Para tabib pun bingung, “Kamu takut? padahal selama ini kamu masuk-keluar hutan seorang diri, tidak takut menjadi mangsa macan, tuyul atau binatang buas lainnya. Lalu kenapa takut dengan pisau bedah?”.

“Tidak, bukan pisau bedah itu yang kutakuti,” jawab Majnun.
“Lalu, apa yang kau takuti?”
“Jangan-jangan pisau bedah itu menyakiti Layla.”
“Menyakiti Layla? Mana bisa? Yangn dibedah badanmu.”
“Justru itu. Layla berada di dalam setiap bagian tubuhku.

Mereka yang berjiwa cerah tak akan melihat perbedaan antara aku dan Layla.”


******

Atas pertanyaan yang kau sampaikan itu, saya melihat sebuah konsepsi cinta pada ‘hakikat cinta yang sesungguhnya’ – Bukan cinta yang terkontamintasi oleh kepentingan nafsu, keinginan, dan kebohongan. Cinta yang hadir karena sang maha pemberi cinta, melahirkannya, merawatnya, dan menunjukan kekuatan cinta pada kadar yang semestinya ! - itulah yang kita sebut mahabatullah ! Kecintaan pada kekuatan cintanya Allah, kecintaan pada kemahasempuranaan Allah, kecintaan pada kedahsyatan asma Allah.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah menggambarkan sebuah pengibaratan konsep mahabatullah. Beliau mengatakan bahwa cinta kepada Allah itu ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah mengenal nama dan sifat Allah, rantingnya adalah rasa takut kepada Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya Dan penyiramnya adalah dzikir kepadaNya. Kapanpun jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah”.

Untuk bisa mencintai Allah melebihi mencintai makhluk, bukan hal yang mudah. Kita sering terjebak pada fragmanetasi hidup yang menuntut adanya pengakuan akan eksistensi kemanusiawian. Mencintai Allah adalah puncak dari segala kecintaan ! Kita akan menafikan apapun yang pernah menjadi bait-bait cinta. Kita akan melupakan kepedihan yang telah terlalui atas perjuangan meraih cinta-Nya. Karena kita tahu, cinta tak pernah lelah memberi dan melindungi.

Kau akan mecintai Allah melebihi apa yang kau cintai jika peleburan atas kebencian, kesombongan, keangkuhan pada diri didasarkan atas kehadiran Allah ! – Kau ikuti apapun yang Dia inginkan atasmu, karena tak ada hak apapun yang kita punyai selain ‘hak meninjam’ ! – Berilah sekulum senyum pada majikanmu, yang telah berbaik hati meminjamkan baju. Dan berilah sebaik penghambaan atas Tuhanmu, yang Dia telah berbaik hati memberi bukan hanya baju, melainkan semua yang kau butuhkan !

Atas pertanyaanmu itu, saya hanya bisa mengatakan ! – Disetiap yang kau lihat, disetiap yang kau dengar, disetiap yang kau rasakan, Dia selalau hadir menemani kesepianmu ! Mengisinya dengan ayat-ayat kebesaran yang membawamu jauh dalam kesendirian, memberimu cahaya yang tak bisa kau jamah – Denganya kau memeluk-Nya ! Dengannya kau mencium-Nya ! Dengannya kau meluapkan semua penyelasan dan kebencian ! – Dialah Allah !

Jawaban ini seperti yang saya ungkap diawal tulisan, pasti tak membuatmu puas, karenanya yu kita dialog, lebih bebas, sesuai interpretasi kita ! - Pembaca pun bisa menambahkan -

Selamat meraih cinta dari sang maha penguasa cinta !

******

Karawang, 8 September 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Ungkap Sejuta Rasa - 3 : " Keluarlah dari 'penjara-penjara' ketamakan ! "

" Tak ada kepemilikan yang sebenarnya selain kita menikmati hidup disetiap keadaan ! - Keluarlah dari 'penjara-penjara' ketamakan ! "

" Kebencian pada keadaan satu dan kesukaan pada keadaan lainnya tak mesti sama dengan kebencian dan kesukaan Tuhan - Keterbatasan kita tak pantas menilai keadilan takdir "

" Siapa yang bekerja akan mendapatkan hasil, siapa yang berdo'a akan mendapat jawab, siapa yang tawakal akan mendapat ketenangan. Belajar mengintegrasikan kerja, do'a, dan tawakal ! "

" Ambilah ! Terlalu banyak "peluang" yang kita sia-siakan karena takut, khawatir, ragu "

" Terlalu singkat hidup ini jika dibuat tak berarti ! Lihatlah, disekeliling kita semuanya menyemangati, " Ayo... luapkan semuanya, hingga dunia tahu bahwa kau mampu mengubahnya ! "

" Untuk menjadi bisa tidak perlu bicara, tapi belajar ! "

" Saat sakit, kita memasrahkan pada dokter karena dokter lebih tahu yang terbaik tentang penyakit kita. Apalagi Tuhan! Dia lebih tau yang terbaik bukan hanya tentang penyakit, tapi tentang hidup ! Kenapa tidak kita memasrahkan diri pada-Nya "

" Sekecil apapun ! Setiap ikhtiar selalu ada hasil ! Tuhan tak mungkin menyia-nyiakan! - Hanya terlalu cepat menjatuhkan penilaian bahwa Tuhan tak mengabulkan do'a-d'a kita "

"Berterima kasihlah pada apa yang masih membuatmu tetap tersenyum !"

Tatap ! Rasakan ! Resapi ! Kepedihan, Kesakitan, dan Tangisan Saudaramu ! Ternyata Kau Lebih Beruntung Dari Mereka ! Yang Akan Membuatmu Tetap Tersenyum Saat Kau Menangis Hanyalah "Syukur"

" Kau tetap cantik ! Meski tak lagi mengurai rambut, memutihkan wajah, mengenakan kaos "setengah bahan" hingga lenganmu terlihat, mengenakan celana "setengah bahan" hingga betismu terlihat. Kau tetap cantik ! Meski berjalan seadanya..., bicara seadanya, berbusana pun seadanya. Kau tetap cantik ! Meski tak menyiksa diri dengan diet agar tubuhmu terlihat lebih langsing ! Kau tetap cantik "

“ Apakah kau sudah cantik ! berhias, memoles wajah dengan bedak, menghias bibir dengan lipstick, membalut pakaian dengan pakaian pilihan hingga kau terlihat seksi, mengurai rambut hingga kau terlihat anggun… tapi percayalah kau tetap cantik tanpa semua itu. “

" Tengoklah sejenak ! kita terlalu lama lengah, kita terlalu lama terbuai, kita terlalu lama tertidur. Begitu kontras keadaan kita dengan mereka. Tengoklah sejenak ! Ada harap dibalik kecemasan, ketakutan, dan kesakitan pada wajah-wajah mereka "

Note :
Kumpulan status FB / agar kau tau apa yang sedang saya fikirkan :)
Silahkan review "Ungkap Sejuta Rasa - Bagian 2 :
http://catatan-ikmal.blogspot.com/2009/08/sepucuk-surat-untuk-sahabat-bag-2.html
Read More >>

Gila

Tangannya berlumur darah beserta sebilah gunting yang ia pegang, wajahnya pusat pasi, lidahnya bergetar saat warga mempergoki ia disebuah kontrakan kecil disudut gang bersebalahan dengan warung nasi yang biasa digunakan warga untuk kongkow atau sekedar minum kopi, tempat itu terbilang ramai karena tepat disebelah kontrakan itu terdapat kebun singkong yang luas, biasanya warga didesa kami sehari-hari menanam, merawat dan pada musimnya tiba memanen singkong-singkong tersebut. Disampingnya tergeletak seseorang yang tidak dikenal berlumur darah disekujur dadanya, aku yakin dia sudah tewas. Warga yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu, sebagian berteriak, sebagian menutup mulut menandakan kekagetan, dan sebagian lagi berlarian, mungkin mereka ketakutan mungkin juga ingin memberitahu kabar pada tetangga lain atas kejadian yang tidak biasa dikampung itu. Dan kulihat seorang warga sedang menelpon, mungkin dia sedang menelpon polisi. Dikejauhan terdengar sayup-sayup tangisan yang keras dari seorang ibu yang sudah sangat renta, jalannya lambat, tapi kulihat dia berusaha untuk berjalan lebih cepat lagi walau sepertinya usahanya tak berhasil. Aku mengira mungkin dia ibunya, atau neneknya, atau saudara perempuannya.

“Bukan, sungguh bukan aku yang melakukan” , sambil membuang gunting yang ada ditangan dia mengatakannya setengah berteriak.
“Lantas, siapa yang melakukannya kalau bukan kamu?” Tanya salah seorang warga
“Aku tidak tau, demi Tuhan aku tidak tau”

Tak ada satupun orang yang berani menghampiri, aku mendengar bisik-bisik dikerumunan sambil sesekali mereka menoleh pandangan penuh keheranan ke arahnya.

“Mungkin, gilanya kambuh lagi” salah seorang warga berceloteh
“Bisa jadi, beberapa jam sebelumnya, aku melihat dia berteriak-teriak seperti orang kesurupan”
“Coba, hubungi polisi ?”
“Jangan, jangan hubungi polisi, kumohon ! “ Serunya, ia mengatakan dengan mimik penuh ketakutan, lalu ia mengambil gunting yang ia buang, tanganya kini bergetar sangat keras, mukanya merah seperti menaruh dendam dan kegeraman

“Akan kubunuh kalian semua, pergi ! pergi semuanya !”

Warga yang melihat keadaan iu, menjadi semakin ciut, kulihat mereka bertebaran lari keberbagai sudut, ada yang sembunyi dibalik pohon, ada yang pontang panting sambil bereriak-teriak, dengan wajah-wajah penasaran, seolah mereka ingin tahu kelanjutan keadaan itu.

“Benar-benar gila, gilanya kambuh” seru salah seorang warga
“Secepatnya kita harus melapor ke polisi” warga lain menimpali
“Barusan sudah ku telepon” yang lain menjawab

Ibu yang dari kejauhan tadi terlihat seperti berusaha berjalan lebih cepat dari kemampuannya, mencoba masuk ke kerumunan orang, sepertinya dia ingin melihat lebih jelas.

“Nak, sudah nak,, sudah,, kau masih ingat ibu nak?” serunya

Setelah melihat dan mendengar kata-kata ibu itu, ia menangis, menjerit-jerit, seolah ingin mengatakan sesuatu, ia ingin menghampirinya, tapi langkahnya terhenti.

“Nak, ingat ibu nak.. “ Kali ini aku melihat ibu itu menangis, air matanya keluar deras.
“Persetan bu, persetan ! ibu pasti bersekongkol dengan mereka kan?” ia berteriak sambil menunjuk ke arah kerumunan orang.
“Ibu pasti akan melaporkanku pada polisi” lanjutnya
“Tidak nak, tidak”
“Ah, bohong, ibu bohong, bangsat kalian semua, bajingan !” ia memaki-maki warga yang ada didepannya itu

Seketika ia berlari sangat cepat masih dengan gunting yang masih ditangan, masuk kesela-sela kerumunan, meninggalkan tempat itu. Warga yang menyaksikan kembali lari terbirit-birit, dan lagi-lagi terdengar teriakan-teriakan penuh ketakutan. Sebagian warga lain, mencoba mengejar. Tapi langkah mereka kalah dengan langkahnya, entah pergi kemana yang pasti mereka kehilangan jejak.

Ibu yang sedari tadi menangis, kini jatuh pingsan. Sebagian warga membantu menggotongnya kerumah terdekat tepat disamping kontrakan itu.

“Dia pingsan, cepat bantu gotong”
“Dia siapa bang?” tanyanya
“Mungkin ibunya”

Beberapa saat kemudian, datang segerombolan polisi kelokasi pembunuhan itu. Mereka memberi pembatas police line agar warga tak sembaranag masuk. Salah satunya mencoba melakukan identifikasi sidik jari, sebagian lain melihat-lihat ruangan seperti sedang mencari-cari sesuatu, dan sebagian lain menutup mayat dengan koran-koran yang berserakan.

“Ini bukan kali pertama orang gila membunuh orang gila”
aku mendengar salah seorang polisi mengatakan itu, dari gayanya berjalan , menatap, dan seringkali menunjuk memerintahkan polisi lain, aku yakin dia pimpinannya, dan sepertinya dia sudah mengenal korban dan tersangka.

*******
3 Hari berlalu !
Aku membaca sebuah Koran lokal, dihalaman depan terpampang jelas headline –Orang gila membunuh orang gila. Seorang warga yang diduga mengalami gangguan jiwa tewas mengenaskan dengan luka tusuk didada sebanyak 15 tusukan. Kejadian ini menggemparkan kampong Cibalongangin, pasalnya ternyata yang melakukan aksi brutal ini adalah salah satu pendatang baru dikampung itu yang sama-sama mengalami gangguan jiwa. Saat ini kepolisian setempat sedang melakukan pengejaran terhadap tersangka yang lari dan menjadi buronan sejak peristiwa pembunuhan terjadi.

*****

Pemuda itu bernama Hamid, berusia kurang lebih 28 tahun. Dia baru menjadi warga kami beberapa minggu kebelakang. Tak ada yang tahu dari mana asalnya, karena semenjak menempati sebuah kontrakan dikampung ini, hampir tak pernah ia menyapa setiap orang yang melintas dan ia temui. Dikontrakan itu ia ditemani oleh seorang ibu yang sudah tua, sama seperti ketidaktahuan asal muasal Hamid, hingga sekarang warga belum tahu siapa wanita tua yang hidup serumah dengannya.

Semingu berselang diawal-awal Hamid menempati rumah kontrakan itu, ditengah malam saat semua warga terlelap tidur, ia berteriak-teriak sangat keras seperti seorang yang kesurupan, sesekali terdengar suara pecahnya piring, gelas. Warga yang merasa risih dan terganggu dengan suara itu berhamburan keluar. Mereka bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan warga baru itu. Setelah beberapa hari kejadian, entah informasi dari mana yang pasti hampir semua warga tahu ternyata Hamid adalah pemuda stress yang mengalami gangguan jiwa. Dan mulai saat itu, setiap kali Hamid berteriak-teriak keras warga tak lagi heran, “Dasar orang gila !” Maki salah seorang warga ketika suatu malam dimalam yang berbeda Hamid kembali mengamuk.

Siapa sebenarnya Hamid, apa yang menyebabkan ia mengalami tekanan jiwa hingga tak lagi mampu mengenal siapa dirinya, apa yang melatarbelakangi ia harus pindah ke kampung ini, dan motif apa sebenarnya hingga ia harus membunuh orang gila itu yang membuat geger seisi kampung.

******
Disuatu senja ketika usiaku meninjak usia 8 tahun, diteras rumah ibu menghampiriku. Seperti biasa saat aku sendiri tanpa teman-teman yang mengajaku bermain, ibu selalu datang, mengajaku bermain apa saja, kadang bermain monopoli, kadang bermain ular tangga, dan kadang pula ia mengajaku bermain rumah-rumahan. Seolah ia ingin mengakrabiku sebagai anak juga sebagai teman bermainnya. Biasanya, saat kami bermain ibu selalu membuatku menang dalam setiap permainan

“Ibu akan mengalah untukmu” katanya, dengan sekulum senyum tulus. Ibu menjadi semakin cantik saat dia tertawa, mencubitku, dan bertepuk tangan saat aku berjingkrak-jingkrak kegirangan karena selalu dapat mengalahkan ibu.

Setelah kami bermain, pasti ibu menyuruhku mandi, mengganti baju, dan merapihkan buku-buku yang berantakan dikamar beberapa saat sebelumnya dihari yang sama selesainya aku mengerjakan tugas-tugas sekolah.

“Ayo Hamid, sekarang mandi, ganti baju, dan jangan lupa, rapihkan buku-bukumu dikamar”
“Iya bu” jawabku sambil pergi meninggalkan tempat kami bermain, mengambil handuk, menuju kamar mandi.

Aku merasa menjadi anak yang beruntung ketika bercengkrama dengan ibu yang setiap hari, setiap menit, setiap detik memanjakanku. Kadang jika aku malas makan, ibu tak segan-segan menyuapiku, jika aku malas mandi, ibu dengan suka hati menemaniku dikamar mandi, saat aku susah tidur, ibu dengan setia menugguiku dikamar sambil tak lelah membacakan cerita hingga aku terlelap. Ibu selalu memberi yang terbaik pada apapun yang ku inginkan. Dia menyiapkan bekal makanan ketika aku berangkat sekolah, membantuku mengerjakan tugas sekolah yang aku tak bisa menuntaskannya, dan ibu selalu memberi uang jajan lebih padahal aku tidak seperti anak lain yang suka menghamburkan uang untuk jajan tak karuan. Justru, dengan semakin ibu memanjakan aku, tidak berartii aku menjadi terlena. Disetiap senyum , disetiap belaian, disetiap pangkuan ibu selalu mengajariku untuk hidup mandiri. Mencuci sepatuku sendiri, membersihkan kamarku sendiri, merapihkan buku dan lemariku sendiri. Dan aku menikmati setiap proses penanaman nilai kemandirian yang Ibu berikan itu.

Dirumah itu setiap hari hanya ada kami berdua. Karena aku anak satu-satunya, tak memiliki kakak dan adik. Tapi, dengan semua yang telah Ibu berikan, aku tak merasa kesepian saat harus dirumah seharian, Karena ibu selalu menemaniku saat ku membutuhkan teman. Lalu kemana ayah? – Ibu bilang ayah bekerja sebagai perwira disalah sau kesatuan TNI AD, entah ia bertugas dimana, yang pasti aku hanya bisa menjumpai Ayah sebulan sekali, bahkan tak jarang Ayah tidak pulang karena harus menuntaskan tugas kerjanya.

“Ayah kapan pulang bu?” tanyaku suatu ketika
“Sebentar lagi Ayah pulang, tapi sekarang ayah sedang ada tugas keluar kota dulu nak, mungkin pulangnya agak lama” jawab ibu

Berbeda dengan Ibu, watak ayah sangat keras. Aku mulai memahaminya saat ibu selalu menjelaskan bahwa ayah bekerja mengandalkan fisiknya, ayah belajar berkelahi, ayah belajar berperang, tapi semua yang ayah pelajari kata ibu semata-mata untuk membela kepentingan Negara. Diusiaku yang masih belia, aku tak pernah memahami apa arti tugas untuk Negara, memberikan sepenuh waktu dan raga untuk Negara, apa itu tidak disebut menggadaikan diri? – berarti ayah lebih cinta Negara dari pada aku, dan ibu – aku berfikir dengan kadar kemampuanku berfikir seorang anak kecil.

Yang pasti, ayah tak sama dengan ibu. Aku tak pernah merasa duduk nyaman berdampingan dengan ayah seperti aku duduk berdampingan dengan ibu. Ayah selalu mengajaku bermain, tapi sejujurnya aku tak pernah merasa bahagia dengan interaksi permainan itu. Ayah selalu mengajaku berbelanja, jalan-jalan, makan-makan, tapi sekali lagi semua itu tak pernah membuatku merasa nyaman. Aku lebih suka bermain monpoli dengan ibu, duduk diteras rumah, dan ibu selalu membuatku menjadi pemenang. Aku lebih suka mendengarkan dongeng-dongeng pengantar tidur dari ibu, dari pada menonton bioskop film terbaru bersama ayah. Entahlah, ayah ada, tapi seperti tak pernah kuinginkan –walaupun tak jarang aku merindukannya saat ia lama tak pulang, tapi itu sangat jarang kurasakan.
Aku seperti sedang mengidap sindrom “phobia” karena ayah selalu memarahiku saat ku melakukan salah sekecil apapun. Ayah selalu memakiku ketika aku tak pernah melakukan tugas dengan baik saat ayah menyuruh. Dan Ayah seringkali menghukumku ketika aku melakukan salah yang kesalahan itu dia nilai sangat fatal. Hukuman yang ayah berikan, biasanya bertahap, dan sejujurnya aku membenci setiap tahapan-tahapan itu.

“Dasar bodoh ! Guci ini harganya mahal, kamu tidak bisa membelinya walaupun menabung puluhan bulan, dan sekarang kamu memecahkannya”

Ayah memakiku sangat keras ketika melihat aku memecahkan guci kesayagannya. Demi Tuhan, padahal aku tak sengaja melakukannya, bola yang ada didepanku kutendang keras, tujuannya gawang kecil yang jauh dari guci itu berada, tapi apa boleh buat bola yang kutendang itu memantul ketika mengenai sudut dinding dan, praaaaaay….. mengenai guci hingga pecah bekeping-keping.

“Maafin aku ayah”
“Maaf, maaf ! Apakah maaf kamu bisa mengamblikan guci ini kembali utuh ! Sekarang buka bajumu”

Ayah kembali membentak dan kali ini akan mengeksekusi atas kesalahan yang dia anggap fatal ini. Sementara ibu, hanya diam saja. Ia tak pernah berani membelaku saat aku dimarahi dan dijatuhi hukuman oleh ayah, karena aku tahu, ayah pasti akan memarahi ibu. Dan dalam pembelaan yang ibu lakukan, pasi dia akan kembali beranggapan, karena ibu teralalu memanjakan sehingga aku sering berbuat salah, tak pernah hati-hati, dan tidak peka terhadap perintah.

“Ayo, cepat buka bajunya”
“Iya, aku buka ayah” Akupun membuka bajuku, melepasnya dan menaruh disamping tempatku berdiri.

Kini aku mulai pasrah, hukuman apa lagi yang bakal kuterima. Seperti seorang tawanan perang yang dilucuti pakaianya, akupun mulai merasa hidup ini sangat kejam, tak pernah memberi keadilan pada seorang anak kecil seperitiku. Dan itu dilakukan oleh ayahku sendiri, ia membuatku berkesimpulan bahwa kesalahan harus ditebus oleh hukuman, seolah tak ada cara lain untuk membuatnya menjadi jera.

“Masuk kamu kekamar mandi” Hardik ayah

Lalu, akupun dengan langkah cepat segera menuju kamar mandi. Sebuah ruang yang dalam kondisi yang berbeda selalu membuatku riang, ibu menyabuniku di ruang ini, ibu mentertawakanku saat melihat perutku yang buncit, dan ibu mencubit gemas pipiku saat aku ikut tertawa diruangan ini. Tapi, hari ini dengan kondisi yang tak pernah sama dengan kondisi yang kulalui bersama ibu, kamar mandi ini ibarat ruang eksekusi mati bagi para pelaku pembunuhan, ruang ini menjadi sangat pengap dan gelap, ruang ini bak ibarat neraka yang siap melahap habis tubuhku. Benar saja, tak lama setelah aku tiba diruangan ini, ayah mengguyuriku dengan air yang terus-menerus hingga aku merasa pengap, susah bernafas, ember yang ada disamping ku ini ia isi air dengan keran, setelah penuh ia kembali mengguyuri.
“Ampuuuuun, ayah ampuuun, aku minta maaf” pintaku meminta belas kasihan

Tapi sepertinya ayah tak mau mendengar rengekanku. Ia terus menerus tak berhenti mengguyuri kepalaku hingga aku merasa sangat pusing, lelah, dan cape.

“Biar kamu rasa, dan bisa menghargai setiap barang dirumah ini” ayah kembali membentak.

Setelah ia selesai membuatku mual dengan guyuran-guyuran bertubi-tubi itu, aku kira hukumanku berakhir – dalam hati, akhirnya selesai juga hukuman ini – ternyata tidak, ayah mengunciku dikamar mandi berjam-jam. Membiarkanku sendirian diruang yang sangat sempit tanpa baju, tanpa handuk, dan tanpa sehelai kainpun yang menutup badanku. Aku mengigil kedinginan, kepalaku kini terasa sangat berat, bibirku pucat pasi. Aku menangis, tapi tangisanku kutahan agar isaknya tak terdengar oleh ayah. Karena aku tahu, setiap kali aku menangis karena menerima hukuman, ayah pasti akan memberi hukuman lain atas tangisanku ini. Sunguh, aku membenci keadaan ini – dan ayah tak pernah tau bahwa kebencian, ketidaknyamanan, ketidakriangan yang kurasakan saat berinteraksi dengannya, semuanya karena dia tak pernah berbelas kasihan dengan hukumannya.

Seketika ruangan ini menjadi samar-samar, pandanganku mulai kabur, dan aku mulai tak lagi mengenal objek-objek benda yang ada disekitarku, bahkan akupun mulai lupa atas kesakitan pada tubuh, tangisan, dan siksaan-siksaan yang baru saja kuterima. Kini semuanya benar-benar gelap, aku hanya melihat bintang-bintang kecil yang meyerupai kunang-kunang mengitari tubuhku, dan aku lihat bintang-bintang itu satu persatu hingga akupun tak lagi tahu apa yang terjadi dengan keadaanku. Aku seperti bermimpi dimalam-malam yang biasa kulewati, bertemu dengan banyak orang yang menyapaku penuh cinta, keramahan, dan kedamaian.

“Hamid, mana lihat tugasnya?” Tanya bu Tia, dia guruku yang paling kucintai melebihi guru-guru yang lain. Senyum tulus dan belaian penuh cinta selalu ia berikan untuk setiap anak yang menjadi muridnya, termasuk aku.

“Ini bu” jawabku sambil menyodorkan buku berisi tugas-tugas sekolah. Lalu bu Tia memeriksa satu persatu jawaban yang ku buat, sesekali kulihat dia mengerenyitkan dahi, menganggukan kepala, dan lagi-lagi sekulum senyum. Dan aku tak pernah tau, senyum yang ia tebarkan itu mengandung kebanggaan atau amarah. Karena kulihat dia selalu tersenyum saat aku dan teman-teman bisa mengerjakan soal, dan dia pun tetap tersenyum saat kami nakal, membuang spidol, menggulingkan meja, dan kursi, dia selalu tersenyum untuk kami.

“yang mengerjakan ini, kami sendiri mid?” tanyanya setelah lama ia memeriksa jawaban tugasku
“Iya bu, aku mengerjakannya sendiri” jawabku
“Bagus, kamu memang pintar, lebih digiatkan lagi belajarnya ya”
Ia mengelus rambutku, pujian yang selalu ia berikan saat aku bisa menuntaskan tugas dengan baik selalu membuatku menjadi semakin semangat. Kulihat dibuku tugas yang sudah diperiksa bu tia, dia memberiku nilai 100 – berarti jawabanku betul semua. Lantas, setelah jam sekolah berakhir, akupun akan berlari secepat-cepatnya menuju rumah, dan seperti biasa dengan bangga akan memberitahukan pada ibu bahwa aku mendapat nilai 100.

“ibu….ibu……” aku berlari mengitari seisi rumah, biasanya ibu selalu berdiri didepan pintu saat aku hampir tiba dirumah. Ibu selalu mengingat setiap rutinitas yang kulakukan, termasuk bagaimana ia menyiapkan “pesta kecil” saat aku meraih nilai 100.

“ibu ! Di mana ibu?” kini aku mulai keheranan, ibu tak kutemui disemua sudut rumah. Ibu kemana? – kini aku bukan hanya heran, tapi mulai ketakutan ! Dirumah sendiri, tanpa ibu yang tak jelas kemana ia pergi.

“ibuuuuuu, ibuuuuuuuuuuu, dimana ibuuuuu?”

Seiring dengan keheranan, ketakutan, dan teriakanku itu, seketika semuanya menjadi seperti angin yang terbang, aku seperti terlempar dari atas ketinggian yang membuatku tersontak kaget. Saat aku mulai terjatuh diatas tebing yang tinggi itu, aku melihat ibu melambai-lambai, ayah memanggil-manggil, dan kulihat bayang-bayang saat ku bermain monopoli, ular tangga bersama ibu, aku melihat bayangan saat ibu membopongku kekasur ketika aku pura-pura tertidur didepan televisi, dan aku melihat bayang ayah yang memaksaku kekamar mandi, pada bayangan ini sebenarnya aku ingin menolak untuk menghadirkan, tapi bayangan itu terus mengejarku, menampakan bagaimana kasarnya ayah menjamak rambutku, menggguyur dengan air seember hingga aku kehabisan nafas, dan bayangan itu menampakakan sangat jelas bagaimana ayah meninggalkanku sendiri, mengunciku dikamar mandi tanpa sehelai kain yang menutupi badanku. Lalu diruang itu aku kelelahan, kedinginan, hingga semua yang kulihat menjadi sangat gelap, hanya ada bintang-bintang kecil menyerupai kunang-kunang mengitari tubuhku, aku menatapnya satu persatu bintang-bintang itu, dan aku tak lagi mengingat bayangan lain yang satu persatu hadir.

“Nak, kamu sudah siuman” kulihat ibu ada disampingku, mengelus rambutku, dan terpancar guratan-guratan kerinduan dan kebahagiaan mendalam diwajahnya.
“Ibu, dimana ini?” Tanyaku, karena aku tak mengenal tempat ini, semuanya putih, kasurnya putih, selimutnya putih, temboknya putih, dan ditangan kananku tertancap jarum yang terhubung langsung dengan kantung inpus yang menggantung diatas ranjang.
“Kita dirumah sakit nak” Jawab ibu
“Rumah sakit?”
“Iya, dan kamu sudah 3 hari tidak sadarkan diri” jawab ibu
Aku mencoba mengingat-ingat kembali kejadian 3 hari yang lalu. Saat aku sepulanig sekolah, bermain bola sendiri dirumah, berusaha memasukan bola kegawang kecil, dan secara tak sengaja bola yang kutentang terpantul kesalah satu sudut dinding, dan praaaaaaaaaay…. Guci kesayangan ayah hancur berkeping-keping. Cukup ! aku tak ingin mengingatnya lagi, apa yang terjadi setelah itu – Cukup tau saja, bahwa ternyata setelah berjam-jam aku terkurung dikamar mandi, tanpa busana, tanpa makanan, tanpa apapun yang kubutuhkan dengan tekanan jiwa atas penyiksaan yang dilakukan oleh ayahku sendiri, aku jatuh pingsan, dan ibu membawaku ke rumah sakit ini. Dokter mengatakan aku mengalami dehidrasi yang akut, hingga membuatku tidak tersadar hingga 3 hari. Saat aku tersadar, ibu memeluku, mengecup keningku lama sekali, dan membisikiku,

“ Maafkan ayahmu ya nak”

Seperti yang tidak pernah mendengar kata-kata “ayah” aku berusaha memalingkan wajah, mendengar kata itu membuatku mual dan jantungku berdebar-debar.

“Bu, aku ingin minum”

Lalu ibu mengambilkan air hangat yang ada disamping kirinya dan memberikannya padaku, aku berusaha duduk, ibu membantu. Saat air itu masuk ke kerongkonganku, aku merasa seperti baru terlahir kembali, sehangat air yang kuteguk, sehangat senyum ibu, sehangat pelukan ibu, sehangat ciuman ibu atas tersadarnya aku dari tidur lama ini.

“ Ayah mendadak ada tugas ke luar kota lagi, sehari setelah Hamid tidak sadarkan diri” ibu menjawabnya saat beberapa saat setelah aku pulang dari rumah sakit, dan aku mulai berani menyebut kata “ayah” setelah sekian lama menguburnya sangat dalam.

“Kemana ayah bu, kenapa tak menjengku selama aku dirumah sakit kemarin”

Atas jawaban itu, aku semakin yakin bahwa ayah sudah betul-betul menggadaikan dirinya untuk Negara, buktinya disaat ibu harus menanti aku tersadar dari tidur yang lama ini, dengan sejuta do’a dan harapannya, disaat aku berjuang antara hidup dan mati, antara ingat dan lupa, antara benci dan rindu, ayah tak pernah ada disamping kami. Ia lebih mementingkan tugasnya daripada keluarga, dan ibu lagi-lagi tak mampu mencegah kepergian ayah, karena kami sama-sama menaruh rasa takut pada sosok sangar ayah saat ia marah.

******
Setelah tragedi itu, aku semakin menyimpan ruang-ruang dendam dan benci pada ayahku sendiri. Seperti yang kehilangan kepercayaan padanya bahwa ia tak pernah bisa membuatku bahagia dengan kehadirannya. Berbulan-bulan ia tak pernah pulang, ibu selalu mengatakan tugas ayah semain banyak hingga ia sulit menyempatkan diri pulang kerumah. Ah, aku mulai tak peduli lagi dia mau pulang atau tidak – yang kuinginkan ibu selalu hadir disampingku, mengisi setiap kegelisahan, ketakutan, dan kebencian ini dengan cinta dan kasihnya.

Hingga suatu ketika, setelah berbulan-bulan di tak pulang, ibu menanti dirumah dengan sejuta kerinduan seorang istri pada suaminya, saat kami sedang bermain, ayah datang tanpa salam, masuk ke ruangan tempat kami bermain. Yang membuat kami tersontak kaget, bukan hanya kedatangannya yang tiba-tiba – biasanya seminggu sebelum pulang ayah selalu mengabari kami lewat telepon atau surat – melainkan kedatangannya kali ini tidak sendiri, dia ditemani seorang perempuan yang tidak kukenal. Dari parasnya, dia lebih muda dari ibu, dandanannya nercis, bedaknya terlihat tebal, lipstiknya merah merekah, rambutnya pirang. Aku tak pernah mengenal wanita ini, begitupun ibu.

Ibu berdiri dan menatap kehadiran mereka penuh keheranan, sesekali dia melirik padaku yang hanya duduk beserta mainan dilantai.

“Siapa dia?” Tanya ibu
“Dia,..” ayah seperti tak sanggung menjawabnya, tapi belum sempat ia melanjutkan,
“Siapa dia, mas?” Ibu kembali bertanya
“Biar kujelaskan”

Lalu mereka, ayah dan ibu menuju ruang dapur tak jauh dari tempat kami berada. Aku hanya berani mengintip dari kejauhan. Tak terlalu jelas apa yang mereka bicarakana, tapi sayup-sayup kudengar

“Kamu menghamilinya mas? “ Tanya ibu
“Aku tidak sengaja, dik” Jawab Ayah

Lalu aku mendengar ibu menangis, tersedu-sedu, sementara perempuan yang datang bersama ayah, hanya berdiri didekat pintu, tak ada sapa, tak ada gerak yang berarti. Aku yakin ia tak menginginkan hadir ditempat ini, dengan suasana yang sudah ia perkirakan.

“Aku minta cerai mas”
“Apa?” Tanya ayah kaget
“Mas sudah menghiantaiku”
“Aku kan cuma ingin berbagi saja, dengan cara yang halal”
“Tapi, itu tidak membuat alasan cukup dengan mas menghamili”
“Aku bilang itu tidak sengaja”
“Aku tidak percaya, mana ada perselingkuhan tidak sengaja”
“Aku mabuk, marni !”
“Aku tidak peduli, pokonya sekarang juga aku minta cerai”

Aku mengira ayah akan berbuat lebih lembut untuk menarik simpatik ibu, tapi ternyata ia lebih kasar dari yang kuduga, dari kekasaran yang pernah ku lihat dari sosok ayah. Tiba-tiba, ayah menampar ibu !

“Dasar, perempuan tidak tau diri”

Aku kini menghampiri tempat mereka lebih dekat, hingga aku bisa melihatnya, bisa mendengarnya lebih jelas apa yang terjadi. Ku lihat ibu menangis, ia tersungkur ke lantai. Sungguh, aku tidak tega melihat keadaan itu. Tapi ayah, bukannya menyesal, ia marah menjamak rambut ibu, hingga ibu berdiri kembali

“Dengarkan, kita cerai sekarang juga”
“Tapi, sebelum kita cerai, kau harus pergi dulu beserta anakmu yang bodoh itu dari rumah ini” Ayah melanjutkan.

“Kau yang harus pergi, bersama wanita pelacur itu” jawab ibu

Lalu ayah kembali menampar ibu, hingga ibu terjatuh kembali. Kali ini aku tak kuasa menahan tangis melihat ibu diperlakukan sebegitu kasarnya oleh ayahku sendiri. Antara cemas dan takut, aku bersembunyi dibawah meja tak jauh dari tempat mereka berada. Setelah lama ibu tersungkur dilantai, bibirnya berdarah, kali ini ia bangkit sendiri, aku menanti-nanti keadaan apa yang selanjutnya akan terjadi. Tak ku duga ibu, mengambil sebilah piring yang ada diatas rak, lalu …..

“Aaaaaaah….. biadab” kemarahan ayah kini semakin memuncak

Aku tak mengira ibu akan bertindak sejauh itu, aku melihat sosok ibu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sosok yang lembut, santun, arif, penuh senyum semuanya sirna. Kini yang terlihat sosok wanita penuh amarah, dendam, dan benci. Piring yang ia ambil di ak itu, ia pukulkan tepat dikepalaa ayah, hingga darah bercucuran. Tentu saja, kemarahan ayah semakin menjadi-jadi. Aku tak pernah menyangka keadaannya akan semakin kacau, ayah mengambil pistol yang disarungkan dicelananya, lalu….

“Rasakan, wanita biadab !” Ayah tertawa dengan apa yang dilihatnya

Aku yang dari tadi hanya diam dibawah meja, menyaksikan dengan sangat jelas tragedi yang ternyata itulah awal dari kelainan yang kualami dihari-hari kemudian. Ibu terkapar dengan luka tembak didadanya, darah segar mengucur deras, ibu tak berdaya. Aku tak menangis ! Entah, yang ada difikiranku, ini hanya sebuah mimpi saja, atau khayalan saja, atau angan-angan saja. Aku berharap secepatnya lari dan bangun dari mimpi-mimpi menyebalkan ini. Aku lihat, ayah berjalan, ia tak melihatku, meninggalkan rumah beserta wanita yang ia bawa, seolah ia tak peduli lagi bahwa dirumah itu masih ada anaknya. Kesadaranku berangsur normal, kini aku bisa menangis, air mataku tak pernah lelah mengucur deras. Ibu yang kucintai, kusayangi, ada dihadapanku, tapi dengan sosok mayat yang menyeramkan, dengan darah disekujur tubuh, berserakan hingga kelantai.

Tak lama, beberapa jam setelah kejadian itu, semua orang berkerumun mengitari rumahku. Ada yang menatap keheranan, berbisik-bisik dengan orang disebelahnya, ada yang menutup hidup mungkin mencium bau amis. Aku melihat wajah mereka satu persatu. Seorang wanita setengah baya, tak lain tetanggaku sendiri, menggendongku, seolah ia tahu aku membutuhkan tempat untuk menampung air mata ketakutan ini, aku butuh teman untuk ku peluk, aku butuh tempat untuk bersanding, mengunci diri diruang yang jauh dari keramaian.

Beberapa polisi berdatangan, satu persatu memeriksa keadaan rumahku, sebagian menutup ibu dengan kain yang mereka siapkan. Aku tak tahu lagi apa yang selanjutnya terjadi, karena wanita yang menggendongku ini – dihari-hari esok ia ku panggil ibu – membawaku kerumahnya, memberiku segelas air, memeluku seperti yang pernah dilakukan ibu saat aku bermimpi menyeramkan.

*******

Setelah tragedi itu, bertahun-tahun aku tak lagi memiliki semangat untuk tertawa, senyum, dan berjingkrak-jingkrak seperti yang selalu ku lakukan setiap kali mengalahkan ibu dalam permainan monopoli atau ular tangga. Aku lebih suka duduk sendiri dikamar tanpa teman ! Merasakan kepiluan hati, ditinggal oleh ‘malaikat’ yang setiap saat tak lelah memberiku cinta. Lalu, kemana ayahku? – yang dalam hari-hari selanjutnya, aku tak pernah memanggilnya lagi sebagai ayah. Menurut beberapa informasi yang aku pun sebenarnya tak peduli lagi dengan keadaanya, ia tertangkap polisi sebagai terdakwa kasus pembunuhan berecana dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Bertahun-tahun ia mendekam diruang-ruang sel, hingga tak kuasa ia merasakan tekanan batin karena merasa bersalah, Ia menjadi gila, jiwanya terganggu sangat kuat. Ah, sekali lagi aku tak pernah memperdulikannya.

Aku hanya tertawa sendiri, menangis sendiri, membentak orang yang ada dihadapanku, melempar barang apa saja yang kupegang. Aku berjalan keluar rumah seperti tak lagi mengenal jalan yang pernah kupijak sebelumnya. Sambil menegadahkan kepala keatas langit, aku tertawa sangat lepas, lepas sekali.

Atas keadaanku itu, lantas orang-orang mengatakanku, Gila ! – Aku sudah gila, hahahaha,,, !

*******

15 tahun berlalu
Orang kampung mengusirku, katanya karena ternak mereka selalu kabur sebab aku suka melepas ikatannya, ataw karena tanaman mereka banyak yang tak berbuah, karena aku sering merusak, dan atau karena genting mereka seringkali bocor karena aku melempari batu dimalam hari, atau karena aku berteriak-teriak tak jelas, kadang menangis seharian dijalanan – ah, benar kah? .

Aku tiba ditempat baru, sebuah kontrakan kecil namun ramai, karena padatnya penduduk dan disamping tempat tinggalku yang baru ini ada banyak tempat nongkrong dan warung kopi. Beberapa hari disini, aku tak mengalami perbedaan apapun, semua tempat rasanya sama. Sama-sama sepi, sama-sama risih, sama-sama menyebalkan. Bersama seorang wanita tua yang kini menjadi ibuku, dengan sabar ia merawat, memberikan apa yang kubutuhkan, dan memanjakan aku, persis sama seperti 15 tahun yang lalu, saat ibuku masih hidup.

******

Seorang laki-laki tua, badan tegap dengan pakaian yang lusuh, janggut lebat menghiasi wajahnya, rasanya aku tak asing dengan wajah ini. Ia mengetuk pintu saat aku sedang menggunting kertas-kertas mainan, sendirian. Ku buka pintu, tatapan kosong ia suguhkan saat aku membukakan pintu.

“Kau masih kenal aku nak?” tanyanya
“Siapa kamu”
“Ini aku nak, ayahmu” Jawabnya

Seperti halilintar yang menyambar tepat didadaku, aku mundur beberapa langkah, jantungku berdetak sanga cepat. Sebuat kata – ayah – yang sudah lama kukubur dalam kubangan lumpur kebencian, dendam, dan amarah. Kini, kata itu terucap dimulu pria asing yang mengaku sebagai ayahku.

“Disini tidak ada ayah, dia sudah mampus” Jawabku penuh dengan emosi
“Tidak nak, ini ayahmu, ini ayah yang membesarkanmu”
“Ayahku sudah mati”
“Tidak, nak…” Sebelum ia melanjutkan kata-kata berikutnya, aku mengambil sebilah gunting yang sedari tadi kugunakan untuk memotong-motong kertas mainan.

“Pergi dari sini !”
“Nak !”
‘Pergi, atau kutusuk kau” Kuacungkan gunting yang kupegang kearahnya, tapi seperti seorang yang kehausan menemukan telaga air, ia begitu penasaran, mencoba tetap menghampiriku. Dan, ia memaksa, memeluku, aku singkirakan tangannya, aku jambak rambutnya, aku dorong tubuhnya hingga tersungkur ke lantai. Dadaku kini semakin sesak, amarah yang sudah lama kukubur, seolah bangkit lebih kuat dari amarah-amarah sebelumnya. Ia berusaha bangkit, aku hanya melihat apa yang akan ia lakukan selanjutnya, setelah ia berdiri tepat didepanku, gunting yang masih kupegang ku ayunkan, menusuk dadanya, ia menjerit kesakitan, tak puas dengan satu tusukan, kuhujamkan lagi beberapa tusukan hingga ia jatuh terkulai dibawah lantai – fikiranku menerawang jauh ke moment itu, ibu yang sangat kusayangi, nyaris keadaanya sama seperti dia – yang mengaku sebagai ayahku – darah segar menyembur hingga berceceran ke lantai.

Teriakan kesakitannya beberapa saat sebelum ia tewas, terdengar hingga kesamping kontrakan, dan tak lama setelah ia tergeletak, dengan gunting yang masih kupegang beserta darah yang berceceran hingga lenganku, banyak orang menghampiri, berdatangan, berkerumun menyaksikan keadaan yang mungkin baru pertama mereka saksikan- sebuah pembunuhan sadis, dari orang gila kepada orang gila !.

*******

Karawang, 12 Sept 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Berlebaran di tenda-tenda pengungsian

Sebulan berlalu menyisakan pesona terdalam
Ramadhan berlalu berkemas dihantar oleh jutaan hamba-hamba-Mu
Hadir mengisi ruang-ruang kerinduan yang lama tak terobati
Menggenapkan amal dengan sepenuh perjuangan
Menatanya seperti menata rumah yang lama tak ku kunjungi
Merawatnya seperti merawat bunga melati yang lama tak ku sirami
Menyapanya seperti menyapa kekasih yang lama tak ku jumpai
Seolah esok adalah akhir dari dunia fana ini
Aku merenda mimpi dan cinta di bulan mulia
Melantunkan ayat-ayat suci yang Kau jaga di laul mahfudz
Mendawamkan sholat-sholat sunnah yang Rasul-Mu ajarkan
Merajut ukhuwah menebarkan rahmat dibumi-Mu

Gemuruh Takbir membahana hingga keangkasa
Mengetuk setiap jiwa yang mendengarnya
Membesakan dan Memuji Tuhan dihari mulia
Tak henti-hentinya melantunkan ayat-ayat suci
Hingga setiap jiwa yang lengah kembali tersadar
Hingga setiap hati yang luka menjadi sembuh
Hingga setiap dosa menjadi penyesalan
Hingga setiap dzikir menjadi kata terindah
Hingga setiap do’a menjadi penolong

Diusiaku menginjak 9 tahun yang belum mengenal apapun
Tentang hidup dan keadilan, tentang cinta dan kebencian
Menatap mentari dengan kemilau cahayanya
Embun pagi masih membekas di rumput-rumput tak beraturan
Debu-debu merah mengotori baju lusuh yang lama ku gunakan

Sesekali aku menyeka mata karena lelah menanti kehadirannya
Mencoba meyakini walau jutaan orang telah meniadakan
Tapi mereka hadir memenuhi ruang hati dan jiwa ini
Seolah tangan mereka melambai, sayup-sayup kudengar mereka pun berteriak
Haris ! Kau kah itu
Aku pun tersenyum, berlari, menghampirinya
Aku yakin mereka ada digubuk sana
Hatiku tak sabar ingin segera memeluk,
dan merekapun akan menciumku penuh cinta dan kasih
Hingga tibanya aku tepat dimana suara itu berasal
Aku menjadi tuli, sedikitpun tak kudengar suara apapun
Hanya gemericik air dibawah timbaan
dan angin yang berhembus menelusup ke ubun-ubun
Suara itu hilang seketika

Lalu, apa dengan itu kau masih mengatakan mereka sudah tiada?
Tidak ! Sekali lagi tidak !
Kini aku melihat mereka datang sangat nyata
Dengan sekulum senyum dan busana baru
Ah, aku yakin mereka membawakan ku baju baru dihari suci ini
Langkahnya lambat, dan semakin lambat, seperti diam
Dan benar saja dugaanku, mereka kini diam terpaku tepat didepanku
Senyumnya hilang berganti murung
Tak lama, mereka menghilang,
Seperti angin yang memporakporandakan gubuk kami
Sangat cepat berlalu dan melenyapkan semua yang ada

Haris ! Kau kah itu
Aku masih mendengar suara parau yang mirip dengan suara ibuku
Haris ! Kau kah itu
Dan lagi-lagi suara itu persis suara ayahku

Allahuakbar… Allahuakbar…. Walillahilhamdu
Imam akan memulai memimpin sholat ied
Aku tersadar dari lamunan panjangku
Tentang isak kesedihan dan duka
Hidup seorang diri, sebatang kara tanpa ibu, tanpa ayah.
Yang telah tiada saat bencana itu tiba

Disaat kami sedang bersenda gurau
Ayah melempar sandalku yang sudah butut, “Besok kita beli yang baru nak” tuturnya
Dan ibu tertawa sangat lebar, “Sekalian punya ibu juga ya”
Dan aku bersorak riang, “Horeeeeeeeeeeee…..! lebaran pake sandal baru”
Seketika, angin berhembus sangat kencang, gemuruhnya kasar hingga aku ketakutan
Kami berlarian keluar
Mencari celah pintu untuk menyelamatkan diri
“Ayo nak… kamu duluan keluar” ayah mendorongku keluar gubuk
Akupun berlari sangat kencang, hingga melebihi batas kemampuanku

Disaat aku menoleh,
Berharap mereka ada dibelakangku
Ternyata gubuk kecil kami sudah roboh
Tertimpa reruntuhan tanah longsor dan rimbun pohon-pohon besar
Semua orang berteriak histeris
Cemas, takut, tangis, menjadi kesatuan rasa yang hadir menyelimuti hari itu

Haris ! Kau kah itu
Kini yang menyapa bukan lagi bayangang semu suara dan raga
Tapi seorang marbot mushola tua yang ada tepat disebalah gubuk kami dulu
Kini dia sama seperti kami, bernasib hidup ditenda-tenda pengungsian.
“Selamat Idul Fitri, semoga ayah dan ibumu tenang diperistirahannya” tuturnya
Sungguh, aku tak kuasa menjawabnya ! Linangan air mata lebih deras dari kata-kata
Aku menangis tersedu-sedu, membasahi baju koko pemberian pada dermawan

Sholat ied sudah usai
Setiap kami berjabatan tangan, meminta belas kasih dan maaf
Atas khilaf dan dosa
Tak lagi ada kemewahan dan kemiskinan
Ditanah lapang merah, dipagi yang cerah, didekat kuburan masal orang-orang tercinta
Semuanya menjadi satu, sangat utuh melebihi keakraban yang kami ciptakan sendiri

Ditenda-tenda pengungsian
Berkeliling aku bersama ratusan korban gempa bersalaman, berpelukan, membagi separuh demi separuh rasa bahagia yang ada walau itu kecil
Dengan langkah penuh keberanian, setiap orang melawan kesedihannya
Memburu buah dari kesabaran yang lama mereka nantikan

Ditenda-tenda pengungsian
Bersama arwah Ayah dan Ibu ku, izinkan aku menyampaikan berita bahagia
Bahwa kami menjadi sebatang kara dibulan suci ini, bulan yang Allah agungkan
Memeriahkan kesyahduan idul fitri dengan mimpi-mimpi masa depan
Esok hari, adalah harapan yang tak boleh pupus oleh waktu dan keputusasaan
Hingga azal mempertemukanku kembali dalam tautan cinta
Bersama ayah, bersama ibu, yang tak letih kucinta !

Allahu Akbar…Allahu Akbar… Walillahilhamdu


Note :
Alhamdulillah, kita masih bisa berlebaran bersama orang-orang yang masih mencintai dan kita cintai !
Karawang, 21 Sept 2009
Ikmal Maulana
Read More >>

Gagal - Menjadikan serpihan menjadi utuh

Bahwa setiap proses akan dieksekusi menjadi hasil, dan setiap hasil menjadi bukti dari kekuatan proses yang dilakukan. Hasil menunjukan kualitas kelayakan dan kepantasan untuk diapresiasi. Seorang pencetak gol dalam pertandingan sepak bola akan disuguhi riuh tepuk tangan dari para supporternya, dan itulah wujud apresiasi sebuah hasil yang dilalui dari proses perjuangan mencetak gawang. Ketika seorang anak meraih juara 1 pada ujian sekolah, ayahnya memberikan sepeda sebagai hadiah, dan itulah bentuk apresiasi seorang ayah atas kerja keras anaknya.

Apresiasi saya interpretasikan sebagai feedback naluriah dari rasa yang terbentuk oleh keadaan dan kesempatan. Ketika saya diterima menjadi seorang karyawan disalah satu perusahaan ternama, teman-teman saya akan memberi ucapan selamat, menyalaminya, dan menebar senyum menandakan bahwa dengan keadaan dan kesempatan itu merekapun ikut berbahagia. Lalu, secara naluriah, hati saya menjadi senang lebih dari keadaan-keadaan sebelumnya, seolah beban yang bertumpuk beberapa saat sebelum keputusan penerimaan karyawan diumumkan hilang seketika. Dalam keadaan itu, seperti seorang pencetak gawang disebuah pertandingan akbar, saya merasa dunia menyuguhi riuh tepuk tangan atas keberhasilan saya.

Apresiasi diburu setiap kita yang tengah menggenapkan perjuangan hidupnya. Seorang pelajar akan menggenapkan perjuangannya untuk meraih prestasi sekolah, seorang karyawan akan menggenapkan perjuangnya untuk meraih prestasi kerja dan posisi yang lebih strategis, seorang penggangguran menggenapkan perjuangnnya untuk meraih pekerjaan yang dinilai pantas untuknya, seorang pecinta menggenapkan perjuangnnya untuk meraih cinta dari seorang yang dianggapnya layak untuk dicintai dan memberi cinta. Dan kita berperan sebagai apapun, selalu menggenapkan perjuangan atas ikhtiar-ikhtiar untuk meraih yang menjadi tujuan, mimpi, harapan. Semua upaya penggenapan perjuangan yang dilakukan hingga memperolah hasil terbaik bertolak pada keinginan kita untuk mendapatkan apresasi.

Sebuah apresiasi yang menjadi penyemangat kita untuk terus memaksimalkan raga hingga tak mengenal lelah. Pada saat kita kehilangan apresiasi dengan keadaan dan kesempatan yang ada, hati menjadi sakit, dada terasa sesak, seolah ada beban yang menghambat saluran pernafasan kita, menggelapkan mata dan fikiran. Lihatlah, seorang pengangguran yang tidak diterima bekerja karena sulit menguasai keadaan saat interview, lihatlah seorang siswa yang tidak naik kelas karena kemalasan, lihatlah seorang yang kalah dalam pertandingan, dan lihatlah seorang pecinta yang cintanya tertolak. Semua yang mereka dapatkan bukan lagi apresasai tepuk tangan, ucapan selamat, atau sekulum senyum. Lalu, atas keadaan yang mereka pijaki itu, kita menyebutnya sebagai orang-orang yang gagal !

*****

Gagal – Menjadi kata yang “angker” bagi pejuang-pejuang yang ingin menggenapkan ikhtiarnya. Kata ini menjadi sangat familier saat kita tengah berupaya untuk mendapatkan hasil maksimal dari semua yang menjadi tujuan hidup, mimpi, keinginan, harapan, angan-angan. Apa yang kau rasakan saat menempati porsi sebagai seorang yang gagal ! – kecewa, sakit, sedih, menangis. Sebagian kita menjadi seorang yang frustasi, stress, bahkan gila karena sebuah proses yang gagal. Sebagian kita juga menjadi seorang yang takut, phobia untuk melangkah pada jalan yang sama, tujuan yang sama, target yang sama karena sebuah hasil akhir yang gagal.

Hari-hari menjadi moment yang sangat membosankan, rumah menjadi ruang pengap yang jauh dari kedamaian, perjalanan menjadi petualangan yang melelahkan. Itulah keadaan yang menyelimuti pribadi-pribadi yang telah gagal dalam menggenapkan ikhtiarnya.

Kegagalan – ada karena sebuah proses dan hasil akhir sebagai muara tujuan, tapi gagal bukan akhir sebuah proses panjang. Kegagalan adalan kesempatan dan keadaan untuk merasakan apresiasi dari keberhasilan yang tertunda. Kegagalan adalah kesempatan berbeda yang memberi ruang sangat luas, waktu lebih lama, dan energi lebih tangguh untuk mempertinggi kualitas pembelajaran. Kegagalan adalah serpihan-serpihan hidup yang harus kita satukan menjadi kepingan logam hidup sebagai symbol kesuksesan.

Mungkin ada yang harus diperbaiki dalam proses
Mungkin ada yang harus diluruskan dalam menetapkan tujuan
Mungkin ada yang harus dikuatkan dalam keyakinan mencapainya

Hingga kita belum berkesempatan untuk mencicipi riuh tepuk tangan, senyuman dari sahabat-sahabat, dan kejutan dari kekasih pujaan saat dia mengatakan “ya” atas ungkapan cinta.

Jangan salahkan Tuhan untuk sesuatu yang bisa diperbaiki // Hingga tak ada letupan kepasrahan yang sesungguhnya adalah keputusasaan – Ikmal Maulana

****

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi

Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
( D’Masiv – Jangan Menyerah )

Tak ada yang terlahir sebagai manusia yang'sempurna' – Kita terlalu lemah untuk hidup secara mandiri dan terbebas dari ketergantungan, hingga dalam setiap kegagalan dan kehilangan apresasi dari orang-orang yang kita harapakan untuk memberikannya membuat langkah seperti kaku dan hidup semakin membias.

Bahwa kegagalan bukanlah akhir dalam proses yang dilalui, mungkin adalah awal untuk kembali menyusun strategi perjuangan. Seorang pedagang sukses tidak pernah tahu bahwa titik tolak kesuksesannya adalah ketika dia di PHK di perusahaan tempatnya bekerja. Seorang ilmuwan tidak pernah tahu bahwa titik tolak keberhasilan penelitiannya adalah kegagalan eksperimen berkepanjangan. Seorang pecinta baru menyadari bahwa ternyata istri/suami nya adalah seorang yang mencintai secara tulus dan membahagaikan hidup setelah cintanya tidak diapresiasi oleh kekasihnya atau gagal dalam merajut komitmen pernikahan. Dan banyak kegagalan-kegagalan lain yang mungkin dengan itulah Tuhan memberi kesempatan dan keadaan berebeda – lebih baik dari apa yang kita duga – sehingga tak ada penyesalan saat pencapaian tujuan yang “salah” sudah kita raih.

Saya hanya ingin menterjemahkan dalam kapasitas pengalaman yang sangat dangkal, dari buku-buku bacaan yang sudah usang – kau boleh menyebutnya buku-buku kuno -, dan saya hanya ingin berbagi kadar pemikiran saya tentang substansi sebuah kegagalan. Saya menulis bukan bagian dari orang-orang yang selalu berhasil, melainkan bagian dari orang yang tidak jarang bersandungan dengan kegagalan.

Tapi saya percaya ! Kerja-kerja perbaikan selalu ada, penyempurnaan selalu menjadi tuntutan, karena itulah saya membutuhkan "kegagalan" untuk memperbaiki yang kurang dan menyempurnakan yang tidak ideal.

Karawang, 26 Sept 2009
Ikmal Maulana
Read More >>