Sabtu, 05 Desember 2009

Gila

Tangannya berlumur darah beserta sebilah gunting yang ia pegang, wajahnya pusat pasi, lidahnya bergetar saat warga mempergoki ia disebuah kontrakan kecil disudut gang bersebalahan dengan warung nasi yang biasa digunakan warga untuk kongkow atau sekedar minum kopi, tempat itu terbilang ramai karena tepat disebelah kontrakan itu terdapat kebun singkong yang luas, biasanya warga didesa kami sehari-hari menanam, merawat dan pada musimnya tiba memanen singkong-singkong tersebut. Disampingnya tergeletak seseorang yang tidak dikenal berlumur darah disekujur dadanya, aku yakin dia sudah tewas. Warga yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu, sebagian berteriak, sebagian menutup mulut menandakan kekagetan, dan sebagian lagi berlarian, mungkin mereka ketakutan mungkin juga ingin memberitahu kabar pada tetangga lain atas kejadian yang tidak biasa dikampung itu. Dan kulihat seorang warga sedang menelpon, mungkin dia sedang menelpon polisi. Dikejauhan terdengar sayup-sayup tangisan yang keras dari seorang ibu yang sudah sangat renta, jalannya lambat, tapi kulihat dia berusaha untuk berjalan lebih cepat lagi walau sepertinya usahanya tak berhasil. Aku mengira mungkin dia ibunya, atau neneknya, atau saudara perempuannya.

“Bukan, sungguh bukan aku yang melakukan” , sambil membuang gunting yang ada ditangan dia mengatakannya setengah berteriak.
“Lantas, siapa yang melakukannya kalau bukan kamu?” Tanya salah seorang warga
“Aku tidak tau, demi Tuhan aku tidak tau”

Tak ada satupun orang yang berani menghampiri, aku mendengar bisik-bisik dikerumunan sambil sesekali mereka menoleh pandangan penuh keheranan ke arahnya.

“Mungkin, gilanya kambuh lagi” salah seorang warga berceloteh
“Bisa jadi, beberapa jam sebelumnya, aku melihat dia berteriak-teriak seperti orang kesurupan”
“Coba, hubungi polisi ?”
“Jangan, jangan hubungi polisi, kumohon ! “ Serunya, ia mengatakan dengan mimik penuh ketakutan, lalu ia mengambil gunting yang ia buang, tanganya kini bergetar sangat keras, mukanya merah seperti menaruh dendam dan kegeraman

“Akan kubunuh kalian semua, pergi ! pergi semuanya !”

Warga yang melihat keadaan iu, menjadi semakin ciut, kulihat mereka bertebaran lari keberbagai sudut, ada yang sembunyi dibalik pohon, ada yang pontang panting sambil bereriak-teriak, dengan wajah-wajah penasaran, seolah mereka ingin tahu kelanjutan keadaan itu.

“Benar-benar gila, gilanya kambuh” seru salah seorang warga
“Secepatnya kita harus melapor ke polisi” warga lain menimpali
“Barusan sudah ku telepon” yang lain menjawab

Ibu yang dari kejauhan tadi terlihat seperti berusaha berjalan lebih cepat dari kemampuannya, mencoba masuk ke kerumunan orang, sepertinya dia ingin melihat lebih jelas.

“Nak, sudah nak,, sudah,, kau masih ingat ibu nak?” serunya

Setelah melihat dan mendengar kata-kata ibu itu, ia menangis, menjerit-jerit, seolah ingin mengatakan sesuatu, ia ingin menghampirinya, tapi langkahnya terhenti.

“Nak, ingat ibu nak.. “ Kali ini aku melihat ibu itu menangis, air matanya keluar deras.
“Persetan bu, persetan ! ibu pasti bersekongkol dengan mereka kan?” ia berteriak sambil menunjuk ke arah kerumunan orang.
“Ibu pasti akan melaporkanku pada polisi” lanjutnya
“Tidak nak, tidak”
“Ah, bohong, ibu bohong, bangsat kalian semua, bajingan !” ia memaki-maki warga yang ada didepannya itu

Seketika ia berlari sangat cepat masih dengan gunting yang masih ditangan, masuk kesela-sela kerumunan, meninggalkan tempat itu. Warga yang menyaksikan kembali lari terbirit-birit, dan lagi-lagi terdengar teriakan-teriakan penuh ketakutan. Sebagian warga lain, mencoba mengejar. Tapi langkah mereka kalah dengan langkahnya, entah pergi kemana yang pasti mereka kehilangan jejak.

Ibu yang sedari tadi menangis, kini jatuh pingsan. Sebagian warga membantu menggotongnya kerumah terdekat tepat disamping kontrakan itu.

“Dia pingsan, cepat bantu gotong”
“Dia siapa bang?” tanyanya
“Mungkin ibunya”

Beberapa saat kemudian, datang segerombolan polisi kelokasi pembunuhan itu. Mereka memberi pembatas police line agar warga tak sembaranag masuk. Salah satunya mencoba melakukan identifikasi sidik jari, sebagian lain melihat-lihat ruangan seperti sedang mencari-cari sesuatu, dan sebagian lain menutup mayat dengan koran-koran yang berserakan.

“Ini bukan kali pertama orang gila membunuh orang gila”
aku mendengar salah seorang polisi mengatakan itu, dari gayanya berjalan , menatap, dan seringkali menunjuk memerintahkan polisi lain, aku yakin dia pimpinannya, dan sepertinya dia sudah mengenal korban dan tersangka.

*******
3 Hari berlalu !
Aku membaca sebuah Koran lokal, dihalaman depan terpampang jelas headline –Orang gila membunuh orang gila. Seorang warga yang diduga mengalami gangguan jiwa tewas mengenaskan dengan luka tusuk didada sebanyak 15 tusukan. Kejadian ini menggemparkan kampong Cibalongangin, pasalnya ternyata yang melakukan aksi brutal ini adalah salah satu pendatang baru dikampung itu yang sama-sama mengalami gangguan jiwa. Saat ini kepolisian setempat sedang melakukan pengejaran terhadap tersangka yang lari dan menjadi buronan sejak peristiwa pembunuhan terjadi.

*****

Pemuda itu bernama Hamid, berusia kurang lebih 28 tahun. Dia baru menjadi warga kami beberapa minggu kebelakang. Tak ada yang tahu dari mana asalnya, karena semenjak menempati sebuah kontrakan dikampung ini, hampir tak pernah ia menyapa setiap orang yang melintas dan ia temui. Dikontrakan itu ia ditemani oleh seorang ibu yang sudah tua, sama seperti ketidaktahuan asal muasal Hamid, hingga sekarang warga belum tahu siapa wanita tua yang hidup serumah dengannya.

Semingu berselang diawal-awal Hamid menempati rumah kontrakan itu, ditengah malam saat semua warga terlelap tidur, ia berteriak-teriak sangat keras seperti seorang yang kesurupan, sesekali terdengar suara pecahnya piring, gelas. Warga yang merasa risih dan terganggu dengan suara itu berhamburan keluar. Mereka bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan warga baru itu. Setelah beberapa hari kejadian, entah informasi dari mana yang pasti hampir semua warga tahu ternyata Hamid adalah pemuda stress yang mengalami gangguan jiwa. Dan mulai saat itu, setiap kali Hamid berteriak-teriak keras warga tak lagi heran, “Dasar orang gila !” Maki salah seorang warga ketika suatu malam dimalam yang berbeda Hamid kembali mengamuk.

Siapa sebenarnya Hamid, apa yang menyebabkan ia mengalami tekanan jiwa hingga tak lagi mampu mengenal siapa dirinya, apa yang melatarbelakangi ia harus pindah ke kampung ini, dan motif apa sebenarnya hingga ia harus membunuh orang gila itu yang membuat geger seisi kampung.

******
Disuatu senja ketika usiaku meninjak usia 8 tahun, diteras rumah ibu menghampiriku. Seperti biasa saat aku sendiri tanpa teman-teman yang mengajaku bermain, ibu selalu datang, mengajaku bermain apa saja, kadang bermain monopoli, kadang bermain ular tangga, dan kadang pula ia mengajaku bermain rumah-rumahan. Seolah ia ingin mengakrabiku sebagai anak juga sebagai teman bermainnya. Biasanya, saat kami bermain ibu selalu membuatku menang dalam setiap permainan

“Ibu akan mengalah untukmu” katanya, dengan sekulum senyum tulus. Ibu menjadi semakin cantik saat dia tertawa, mencubitku, dan bertepuk tangan saat aku berjingkrak-jingkrak kegirangan karena selalu dapat mengalahkan ibu.

Setelah kami bermain, pasti ibu menyuruhku mandi, mengganti baju, dan merapihkan buku-buku yang berantakan dikamar beberapa saat sebelumnya dihari yang sama selesainya aku mengerjakan tugas-tugas sekolah.

“Ayo Hamid, sekarang mandi, ganti baju, dan jangan lupa, rapihkan buku-bukumu dikamar”
“Iya bu” jawabku sambil pergi meninggalkan tempat kami bermain, mengambil handuk, menuju kamar mandi.

Aku merasa menjadi anak yang beruntung ketika bercengkrama dengan ibu yang setiap hari, setiap menit, setiap detik memanjakanku. Kadang jika aku malas makan, ibu tak segan-segan menyuapiku, jika aku malas mandi, ibu dengan suka hati menemaniku dikamar mandi, saat aku susah tidur, ibu dengan setia menugguiku dikamar sambil tak lelah membacakan cerita hingga aku terlelap. Ibu selalu memberi yang terbaik pada apapun yang ku inginkan. Dia menyiapkan bekal makanan ketika aku berangkat sekolah, membantuku mengerjakan tugas sekolah yang aku tak bisa menuntaskannya, dan ibu selalu memberi uang jajan lebih padahal aku tidak seperti anak lain yang suka menghamburkan uang untuk jajan tak karuan. Justru, dengan semakin ibu memanjakan aku, tidak berartii aku menjadi terlena. Disetiap senyum , disetiap belaian, disetiap pangkuan ibu selalu mengajariku untuk hidup mandiri. Mencuci sepatuku sendiri, membersihkan kamarku sendiri, merapihkan buku dan lemariku sendiri. Dan aku menikmati setiap proses penanaman nilai kemandirian yang Ibu berikan itu.

Dirumah itu setiap hari hanya ada kami berdua. Karena aku anak satu-satunya, tak memiliki kakak dan adik. Tapi, dengan semua yang telah Ibu berikan, aku tak merasa kesepian saat harus dirumah seharian, Karena ibu selalu menemaniku saat ku membutuhkan teman. Lalu kemana ayah? – Ibu bilang ayah bekerja sebagai perwira disalah sau kesatuan TNI AD, entah ia bertugas dimana, yang pasti aku hanya bisa menjumpai Ayah sebulan sekali, bahkan tak jarang Ayah tidak pulang karena harus menuntaskan tugas kerjanya.

“Ayah kapan pulang bu?” tanyaku suatu ketika
“Sebentar lagi Ayah pulang, tapi sekarang ayah sedang ada tugas keluar kota dulu nak, mungkin pulangnya agak lama” jawab ibu

Berbeda dengan Ibu, watak ayah sangat keras. Aku mulai memahaminya saat ibu selalu menjelaskan bahwa ayah bekerja mengandalkan fisiknya, ayah belajar berkelahi, ayah belajar berperang, tapi semua yang ayah pelajari kata ibu semata-mata untuk membela kepentingan Negara. Diusiaku yang masih belia, aku tak pernah memahami apa arti tugas untuk Negara, memberikan sepenuh waktu dan raga untuk Negara, apa itu tidak disebut menggadaikan diri? – berarti ayah lebih cinta Negara dari pada aku, dan ibu – aku berfikir dengan kadar kemampuanku berfikir seorang anak kecil.

Yang pasti, ayah tak sama dengan ibu. Aku tak pernah merasa duduk nyaman berdampingan dengan ayah seperti aku duduk berdampingan dengan ibu. Ayah selalu mengajaku bermain, tapi sejujurnya aku tak pernah merasa bahagia dengan interaksi permainan itu. Ayah selalu mengajaku berbelanja, jalan-jalan, makan-makan, tapi sekali lagi semua itu tak pernah membuatku merasa nyaman. Aku lebih suka bermain monpoli dengan ibu, duduk diteras rumah, dan ibu selalu membuatku menjadi pemenang. Aku lebih suka mendengarkan dongeng-dongeng pengantar tidur dari ibu, dari pada menonton bioskop film terbaru bersama ayah. Entahlah, ayah ada, tapi seperti tak pernah kuinginkan –walaupun tak jarang aku merindukannya saat ia lama tak pulang, tapi itu sangat jarang kurasakan.
Aku seperti sedang mengidap sindrom “phobia” karena ayah selalu memarahiku saat ku melakukan salah sekecil apapun. Ayah selalu memakiku ketika aku tak pernah melakukan tugas dengan baik saat ayah menyuruh. Dan Ayah seringkali menghukumku ketika aku melakukan salah yang kesalahan itu dia nilai sangat fatal. Hukuman yang ayah berikan, biasanya bertahap, dan sejujurnya aku membenci setiap tahapan-tahapan itu.

“Dasar bodoh ! Guci ini harganya mahal, kamu tidak bisa membelinya walaupun menabung puluhan bulan, dan sekarang kamu memecahkannya”

Ayah memakiku sangat keras ketika melihat aku memecahkan guci kesayagannya. Demi Tuhan, padahal aku tak sengaja melakukannya, bola yang ada didepanku kutendang keras, tujuannya gawang kecil yang jauh dari guci itu berada, tapi apa boleh buat bola yang kutendang itu memantul ketika mengenai sudut dinding dan, praaaaaay….. mengenai guci hingga pecah bekeping-keping.

“Maafin aku ayah”
“Maaf, maaf ! Apakah maaf kamu bisa mengamblikan guci ini kembali utuh ! Sekarang buka bajumu”

Ayah kembali membentak dan kali ini akan mengeksekusi atas kesalahan yang dia anggap fatal ini. Sementara ibu, hanya diam saja. Ia tak pernah berani membelaku saat aku dimarahi dan dijatuhi hukuman oleh ayah, karena aku tahu, ayah pasti akan memarahi ibu. Dan dalam pembelaan yang ibu lakukan, pasi dia akan kembali beranggapan, karena ibu teralalu memanjakan sehingga aku sering berbuat salah, tak pernah hati-hati, dan tidak peka terhadap perintah.

“Ayo, cepat buka bajunya”
“Iya, aku buka ayah” Akupun membuka bajuku, melepasnya dan menaruh disamping tempatku berdiri.

Kini aku mulai pasrah, hukuman apa lagi yang bakal kuterima. Seperti seorang tawanan perang yang dilucuti pakaianya, akupun mulai merasa hidup ini sangat kejam, tak pernah memberi keadilan pada seorang anak kecil seperitiku. Dan itu dilakukan oleh ayahku sendiri, ia membuatku berkesimpulan bahwa kesalahan harus ditebus oleh hukuman, seolah tak ada cara lain untuk membuatnya menjadi jera.

“Masuk kamu kekamar mandi” Hardik ayah

Lalu, akupun dengan langkah cepat segera menuju kamar mandi. Sebuah ruang yang dalam kondisi yang berbeda selalu membuatku riang, ibu menyabuniku di ruang ini, ibu mentertawakanku saat melihat perutku yang buncit, dan ibu mencubit gemas pipiku saat aku ikut tertawa diruangan ini. Tapi, hari ini dengan kondisi yang tak pernah sama dengan kondisi yang kulalui bersama ibu, kamar mandi ini ibarat ruang eksekusi mati bagi para pelaku pembunuhan, ruang ini menjadi sangat pengap dan gelap, ruang ini bak ibarat neraka yang siap melahap habis tubuhku. Benar saja, tak lama setelah aku tiba diruangan ini, ayah mengguyuriku dengan air yang terus-menerus hingga aku merasa pengap, susah bernafas, ember yang ada disamping ku ini ia isi air dengan keran, setelah penuh ia kembali mengguyuri.
“Ampuuuuun, ayah ampuuun, aku minta maaf” pintaku meminta belas kasihan

Tapi sepertinya ayah tak mau mendengar rengekanku. Ia terus menerus tak berhenti mengguyuri kepalaku hingga aku merasa sangat pusing, lelah, dan cape.

“Biar kamu rasa, dan bisa menghargai setiap barang dirumah ini” ayah kembali membentak.

Setelah ia selesai membuatku mual dengan guyuran-guyuran bertubi-tubi itu, aku kira hukumanku berakhir – dalam hati, akhirnya selesai juga hukuman ini – ternyata tidak, ayah mengunciku dikamar mandi berjam-jam. Membiarkanku sendirian diruang yang sangat sempit tanpa baju, tanpa handuk, dan tanpa sehelai kainpun yang menutup badanku. Aku mengigil kedinginan, kepalaku kini terasa sangat berat, bibirku pucat pasi. Aku menangis, tapi tangisanku kutahan agar isaknya tak terdengar oleh ayah. Karena aku tahu, setiap kali aku menangis karena menerima hukuman, ayah pasti akan memberi hukuman lain atas tangisanku ini. Sunguh, aku membenci keadaan ini – dan ayah tak pernah tau bahwa kebencian, ketidaknyamanan, ketidakriangan yang kurasakan saat berinteraksi dengannya, semuanya karena dia tak pernah berbelas kasihan dengan hukumannya.

Seketika ruangan ini menjadi samar-samar, pandanganku mulai kabur, dan aku mulai tak lagi mengenal objek-objek benda yang ada disekitarku, bahkan akupun mulai lupa atas kesakitan pada tubuh, tangisan, dan siksaan-siksaan yang baru saja kuterima. Kini semuanya benar-benar gelap, aku hanya melihat bintang-bintang kecil yang meyerupai kunang-kunang mengitari tubuhku, dan aku lihat bintang-bintang itu satu persatu hingga akupun tak lagi tahu apa yang terjadi dengan keadaanku. Aku seperti bermimpi dimalam-malam yang biasa kulewati, bertemu dengan banyak orang yang menyapaku penuh cinta, keramahan, dan kedamaian.

“Hamid, mana lihat tugasnya?” Tanya bu Tia, dia guruku yang paling kucintai melebihi guru-guru yang lain. Senyum tulus dan belaian penuh cinta selalu ia berikan untuk setiap anak yang menjadi muridnya, termasuk aku.

“Ini bu” jawabku sambil menyodorkan buku berisi tugas-tugas sekolah. Lalu bu Tia memeriksa satu persatu jawaban yang ku buat, sesekali kulihat dia mengerenyitkan dahi, menganggukan kepala, dan lagi-lagi sekulum senyum. Dan aku tak pernah tau, senyum yang ia tebarkan itu mengandung kebanggaan atau amarah. Karena kulihat dia selalu tersenyum saat aku dan teman-teman bisa mengerjakan soal, dan dia pun tetap tersenyum saat kami nakal, membuang spidol, menggulingkan meja, dan kursi, dia selalu tersenyum untuk kami.

“yang mengerjakan ini, kami sendiri mid?” tanyanya setelah lama ia memeriksa jawaban tugasku
“Iya bu, aku mengerjakannya sendiri” jawabku
“Bagus, kamu memang pintar, lebih digiatkan lagi belajarnya ya”
Ia mengelus rambutku, pujian yang selalu ia berikan saat aku bisa menuntaskan tugas dengan baik selalu membuatku menjadi semakin semangat. Kulihat dibuku tugas yang sudah diperiksa bu tia, dia memberiku nilai 100 – berarti jawabanku betul semua. Lantas, setelah jam sekolah berakhir, akupun akan berlari secepat-cepatnya menuju rumah, dan seperti biasa dengan bangga akan memberitahukan pada ibu bahwa aku mendapat nilai 100.

“ibu….ibu……” aku berlari mengitari seisi rumah, biasanya ibu selalu berdiri didepan pintu saat aku hampir tiba dirumah. Ibu selalu mengingat setiap rutinitas yang kulakukan, termasuk bagaimana ia menyiapkan “pesta kecil” saat aku meraih nilai 100.

“ibu ! Di mana ibu?” kini aku mulai keheranan, ibu tak kutemui disemua sudut rumah. Ibu kemana? – kini aku bukan hanya heran, tapi mulai ketakutan ! Dirumah sendiri, tanpa ibu yang tak jelas kemana ia pergi.

“ibuuuuuu, ibuuuuuuuuuuu, dimana ibuuuuu?”

Seiring dengan keheranan, ketakutan, dan teriakanku itu, seketika semuanya menjadi seperti angin yang terbang, aku seperti terlempar dari atas ketinggian yang membuatku tersontak kaget. Saat aku mulai terjatuh diatas tebing yang tinggi itu, aku melihat ibu melambai-lambai, ayah memanggil-manggil, dan kulihat bayang-bayang saat ku bermain monopoli, ular tangga bersama ibu, aku melihat bayangan saat ibu membopongku kekasur ketika aku pura-pura tertidur didepan televisi, dan aku melihat bayang ayah yang memaksaku kekamar mandi, pada bayangan ini sebenarnya aku ingin menolak untuk menghadirkan, tapi bayangan itu terus mengejarku, menampakan bagaimana kasarnya ayah menjamak rambutku, menggguyur dengan air seember hingga aku kehabisan nafas, dan bayangan itu menampakakan sangat jelas bagaimana ayah meninggalkanku sendiri, mengunciku dikamar mandi tanpa sehelai kain yang menutupi badanku. Lalu diruang itu aku kelelahan, kedinginan, hingga semua yang kulihat menjadi sangat gelap, hanya ada bintang-bintang kecil menyerupai kunang-kunang mengitari tubuhku, aku menatapnya satu persatu bintang-bintang itu, dan aku tak lagi mengingat bayangan lain yang satu persatu hadir.

“Nak, kamu sudah siuman” kulihat ibu ada disampingku, mengelus rambutku, dan terpancar guratan-guratan kerinduan dan kebahagiaan mendalam diwajahnya.
“Ibu, dimana ini?” Tanyaku, karena aku tak mengenal tempat ini, semuanya putih, kasurnya putih, selimutnya putih, temboknya putih, dan ditangan kananku tertancap jarum yang terhubung langsung dengan kantung inpus yang menggantung diatas ranjang.
“Kita dirumah sakit nak” Jawab ibu
“Rumah sakit?”
“Iya, dan kamu sudah 3 hari tidak sadarkan diri” jawab ibu
Aku mencoba mengingat-ingat kembali kejadian 3 hari yang lalu. Saat aku sepulanig sekolah, bermain bola sendiri dirumah, berusaha memasukan bola kegawang kecil, dan secara tak sengaja bola yang kutentang terpantul kesalah satu sudut dinding, dan praaaaaaaaaay…. Guci kesayangan ayah hancur berkeping-keping. Cukup ! aku tak ingin mengingatnya lagi, apa yang terjadi setelah itu – Cukup tau saja, bahwa ternyata setelah berjam-jam aku terkurung dikamar mandi, tanpa busana, tanpa makanan, tanpa apapun yang kubutuhkan dengan tekanan jiwa atas penyiksaan yang dilakukan oleh ayahku sendiri, aku jatuh pingsan, dan ibu membawaku ke rumah sakit ini. Dokter mengatakan aku mengalami dehidrasi yang akut, hingga membuatku tidak tersadar hingga 3 hari. Saat aku tersadar, ibu memeluku, mengecup keningku lama sekali, dan membisikiku,

“ Maafkan ayahmu ya nak”

Seperti yang tidak pernah mendengar kata-kata “ayah” aku berusaha memalingkan wajah, mendengar kata itu membuatku mual dan jantungku berdebar-debar.

“Bu, aku ingin minum”

Lalu ibu mengambilkan air hangat yang ada disamping kirinya dan memberikannya padaku, aku berusaha duduk, ibu membantu. Saat air itu masuk ke kerongkonganku, aku merasa seperti baru terlahir kembali, sehangat air yang kuteguk, sehangat senyum ibu, sehangat pelukan ibu, sehangat ciuman ibu atas tersadarnya aku dari tidur lama ini.

“ Ayah mendadak ada tugas ke luar kota lagi, sehari setelah Hamid tidak sadarkan diri” ibu menjawabnya saat beberapa saat setelah aku pulang dari rumah sakit, dan aku mulai berani menyebut kata “ayah” setelah sekian lama menguburnya sangat dalam.

“Kemana ayah bu, kenapa tak menjengku selama aku dirumah sakit kemarin”

Atas jawaban itu, aku semakin yakin bahwa ayah sudah betul-betul menggadaikan dirinya untuk Negara, buktinya disaat ibu harus menanti aku tersadar dari tidur yang lama ini, dengan sejuta do’a dan harapannya, disaat aku berjuang antara hidup dan mati, antara ingat dan lupa, antara benci dan rindu, ayah tak pernah ada disamping kami. Ia lebih mementingkan tugasnya daripada keluarga, dan ibu lagi-lagi tak mampu mencegah kepergian ayah, karena kami sama-sama menaruh rasa takut pada sosok sangar ayah saat ia marah.

******
Setelah tragedi itu, aku semakin menyimpan ruang-ruang dendam dan benci pada ayahku sendiri. Seperti yang kehilangan kepercayaan padanya bahwa ia tak pernah bisa membuatku bahagia dengan kehadirannya. Berbulan-bulan ia tak pernah pulang, ibu selalu mengatakan tugas ayah semain banyak hingga ia sulit menyempatkan diri pulang kerumah. Ah, aku mulai tak peduli lagi dia mau pulang atau tidak – yang kuinginkan ibu selalu hadir disampingku, mengisi setiap kegelisahan, ketakutan, dan kebencian ini dengan cinta dan kasihnya.

Hingga suatu ketika, setelah berbulan-bulan di tak pulang, ibu menanti dirumah dengan sejuta kerinduan seorang istri pada suaminya, saat kami sedang bermain, ayah datang tanpa salam, masuk ke ruangan tempat kami bermain. Yang membuat kami tersontak kaget, bukan hanya kedatangannya yang tiba-tiba – biasanya seminggu sebelum pulang ayah selalu mengabari kami lewat telepon atau surat – melainkan kedatangannya kali ini tidak sendiri, dia ditemani seorang perempuan yang tidak kukenal. Dari parasnya, dia lebih muda dari ibu, dandanannya nercis, bedaknya terlihat tebal, lipstiknya merah merekah, rambutnya pirang. Aku tak pernah mengenal wanita ini, begitupun ibu.

Ibu berdiri dan menatap kehadiran mereka penuh keheranan, sesekali dia melirik padaku yang hanya duduk beserta mainan dilantai.

“Siapa dia?” Tanya ibu
“Dia,..” ayah seperti tak sanggung menjawabnya, tapi belum sempat ia melanjutkan,
“Siapa dia, mas?” Ibu kembali bertanya
“Biar kujelaskan”

Lalu mereka, ayah dan ibu menuju ruang dapur tak jauh dari tempat kami berada. Aku hanya berani mengintip dari kejauhan. Tak terlalu jelas apa yang mereka bicarakana, tapi sayup-sayup kudengar

“Kamu menghamilinya mas? “ Tanya ibu
“Aku tidak sengaja, dik” Jawab Ayah

Lalu aku mendengar ibu menangis, tersedu-sedu, sementara perempuan yang datang bersama ayah, hanya berdiri didekat pintu, tak ada sapa, tak ada gerak yang berarti. Aku yakin ia tak menginginkan hadir ditempat ini, dengan suasana yang sudah ia perkirakan.

“Aku minta cerai mas”
“Apa?” Tanya ayah kaget
“Mas sudah menghiantaiku”
“Aku kan cuma ingin berbagi saja, dengan cara yang halal”
“Tapi, itu tidak membuat alasan cukup dengan mas menghamili”
“Aku bilang itu tidak sengaja”
“Aku tidak percaya, mana ada perselingkuhan tidak sengaja”
“Aku mabuk, marni !”
“Aku tidak peduli, pokonya sekarang juga aku minta cerai”

Aku mengira ayah akan berbuat lebih lembut untuk menarik simpatik ibu, tapi ternyata ia lebih kasar dari yang kuduga, dari kekasaran yang pernah ku lihat dari sosok ayah. Tiba-tiba, ayah menampar ibu !

“Dasar, perempuan tidak tau diri”

Aku kini menghampiri tempat mereka lebih dekat, hingga aku bisa melihatnya, bisa mendengarnya lebih jelas apa yang terjadi. Ku lihat ibu menangis, ia tersungkur ke lantai. Sungguh, aku tidak tega melihat keadaan itu. Tapi ayah, bukannya menyesal, ia marah menjamak rambut ibu, hingga ibu berdiri kembali

“Dengarkan, kita cerai sekarang juga”
“Tapi, sebelum kita cerai, kau harus pergi dulu beserta anakmu yang bodoh itu dari rumah ini” Ayah melanjutkan.

“Kau yang harus pergi, bersama wanita pelacur itu” jawab ibu

Lalu ayah kembali menampar ibu, hingga ibu terjatuh kembali. Kali ini aku tak kuasa menahan tangis melihat ibu diperlakukan sebegitu kasarnya oleh ayahku sendiri. Antara cemas dan takut, aku bersembunyi dibawah meja tak jauh dari tempat mereka berada. Setelah lama ibu tersungkur dilantai, bibirnya berdarah, kali ini ia bangkit sendiri, aku menanti-nanti keadaan apa yang selanjutnya akan terjadi. Tak ku duga ibu, mengambil sebilah piring yang ada diatas rak, lalu …..

“Aaaaaaah….. biadab” kemarahan ayah kini semakin memuncak

Aku tak mengira ibu akan bertindak sejauh itu, aku melihat sosok ibu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sosok yang lembut, santun, arif, penuh senyum semuanya sirna. Kini yang terlihat sosok wanita penuh amarah, dendam, dan benci. Piring yang ia ambil di ak itu, ia pukulkan tepat dikepalaa ayah, hingga darah bercucuran. Tentu saja, kemarahan ayah semakin menjadi-jadi. Aku tak pernah menyangka keadaannya akan semakin kacau, ayah mengambil pistol yang disarungkan dicelananya, lalu….

“Rasakan, wanita biadab !” Ayah tertawa dengan apa yang dilihatnya

Aku yang dari tadi hanya diam dibawah meja, menyaksikan dengan sangat jelas tragedi yang ternyata itulah awal dari kelainan yang kualami dihari-hari kemudian. Ibu terkapar dengan luka tembak didadanya, darah segar mengucur deras, ibu tak berdaya. Aku tak menangis ! Entah, yang ada difikiranku, ini hanya sebuah mimpi saja, atau khayalan saja, atau angan-angan saja. Aku berharap secepatnya lari dan bangun dari mimpi-mimpi menyebalkan ini. Aku lihat, ayah berjalan, ia tak melihatku, meninggalkan rumah beserta wanita yang ia bawa, seolah ia tak peduli lagi bahwa dirumah itu masih ada anaknya. Kesadaranku berangsur normal, kini aku bisa menangis, air mataku tak pernah lelah mengucur deras. Ibu yang kucintai, kusayangi, ada dihadapanku, tapi dengan sosok mayat yang menyeramkan, dengan darah disekujur tubuh, berserakan hingga kelantai.

Tak lama, beberapa jam setelah kejadian itu, semua orang berkerumun mengitari rumahku. Ada yang menatap keheranan, berbisik-bisik dengan orang disebelahnya, ada yang menutup hidup mungkin mencium bau amis. Aku melihat wajah mereka satu persatu. Seorang wanita setengah baya, tak lain tetanggaku sendiri, menggendongku, seolah ia tahu aku membutuhkan tempat untuk menampung air mata ketakutan ini, aku butuh teman untuk ku peluk, aku butuh tempat untuk bersanding, mengunci diri diruang yang jauh dari keramaian.

Beberapa polisi berdatangan, satu persatu memeriksa keadaan rumahku, sebagian menutup ibu dengan kain yang mereka siapkan. Aku tak tahu lagi apa yang selanjutnya terjadi, karena wanita yang menggendongku ini – dihari-hari esok ia ku panggil ibu – membawaku kerumahnya, memberiku segelas air, memeluku seperti yang pernah dilakukan ibu saat aku bermimpi menyeramkan.

*******

Setelah tragedi itu, bertahun-tahun aku tak lagi memiliki semangat untuk tertawa, senyum, dan berjingkrak-jingkrak seperti yang selalu ku lakukan setiap kali mengalahkan ibu dalam permainan monopoli atau ular tangga. Aku lebih suka duduk sendiri dikamar tanpa teman ! Merasakan kepiluan hati, ditinggal oleh ‘malaikat’ yang setiap saat tak lelah memberiku cinta. Lalu, kemana ayahku? – yang dalam hari-hari selanjutnya, aku tak pernah memanggilnya lagi sebagai ayah. Menurut beberapa informasi yang aku pun sebenarnya tak peduli lagi dengan keadaanya, ia tertangkap polisi sebagai terdakwa kasus pembunuhan berecana dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Bertahun-tahun ia mendekam diruang-ruang sel, hingga tak kuasa ia merasakan tekanan batin karena merasa bersalah, Ia menjadi gila, jiwanya terganggu sangat kuat. Ah, sekali lagi aku tak pernah memperdulikannya.

Aku hanya tertawa sendiri, menangis sendiri, membentak orang yang ada dihadapanku, melempar barang apa saja yang kupegang. Aku berjalan keluar rumah seperti tak lagi mengenal jalan yang pernah kupijak sebelumnya. Sambil menegadahkan kepala keatas langit, aku tertawa sangat lepas, lepas sekali.

Atas keadaanku itu, lantas orang-orang mengatakanku, Gila ! – Aku sudah gila, hahahaha,,, !

*******

15 tahun berlalu
Orang kampung mengusirku, katanya karena ternak mereka selalu kabur sebab aku suka melepas ikatannya, ataw karena tanaman mereka banyak yang tak berbuah, karena aku sering merusak, dan atau karena genting mereka seringkali bocor karena aku melempari batu dimalam hari, atau karena aku berteriak-teriak tak jelas, kadang menangis seharian dijalanan – ah, benar kah? .

Aku tiba ditempat baru, sebuah kontrakan kecil namun ramai, karena padatnya penduduk dan disamping tempat tinggalku yang baru ini ada banyak tempat nongkrong dan warung kopi. Beberapa hari disini, aku tak mengalami perbedaan apapun, semua tempat rasanya sama. Sama-sama sepi, sama-sama risih, sama-sama menyebalkan. Bersama seorang wanita tua yang kini menjadi ibuku, dengan sabar ia merawat, memberikan apa yang kubutuhkan, dan memanjakan aku, persis sama seperti 15 tahun yang lalu, saat ibuku masih hidup.

******

Seorang laki-laki tua, badan tegap dengan pakaian yang lusuh, janggut lebat menghiasi wajahnya, rasanya aku tak asing dengan wajah ini. Ia mengetuk pintu saat aku sedang menggunting kertas-kertas mainan, sendirian. Ku buka pintu, tatapan kosong ia suguhkan saat aku membukakan pintu.

“Kau masih kenal aku nak?” tanyanya
“Siapa kamu”
“Ini aku nak, ayahmu” Jawabnya

Seperti halilintar yang menyambar tepat didadaku, aku mundur beberapa langkah, jantungku berdetak sanga cepat. Sebuat kata – ayah – yang sudah lama kukubur dalam kubangan lumpur kebencian, dendam, dan amarah. Kini, kata itu terucap dimulu pria asing yang mengaku sebagai ayahku.

“Disini tidak ada ayah, dia sudah mampus” Jawabku penuh dengan emosi
“Tidak nak, ini ayahmu, ini ayah yang membesarkanmu”
“Ayahku sudah mati”
“Tidak, nak…” Sebelum ia melanjutkan kata-kata berikutnya, aku mengambil sebilah gunting yang sedari tadi kugunakan untuk memotong-motong kertas mainan.

“Pergi dari sini !”
“Nak !”
‘Pergi, atau kutusuk kau” Kuacungkan gunting yang kupegang kearahnya, tapi seperti seorang yang kehausan menemukan telaga air, ia begitu penasaran, mencoba tetap menghampiriku. Dan, ia memaksa, memeluku, aku singkirakan tangannya, aku jambak rambutnya, aku dorong tubuhnya hingga tersungkur ke lantai. Dadaku kini semakin sesak, amarah yang sudah lama kukubur, seolah bangkit lebih kuat dari amarah-amarah sebelumnya. Ia berusaha bangkit, aku hanya melihat apa yang akan ia lakukan selanjutnya, setelah ia berdiri tepat didepanku, gunting yang masih kupegang ku ayunkan, menusuk dadanya, ia menjerit kesakitan, tak puas dengan satu tusukan, kuhujamkan lagi beberapa tusukan hingga ia jatuh terkulai dibawah lantai – fikiranku menerawang jauh ke moment itu, ibu yang sangat kusayangi, nyaris keadaanya sama seperti dia – yang mengaku sebagai ayahku – darah segar menyembur hingga berceceran ke lantai.

Teriakan kesakitannya beberapa saat sebelum ia tewas, terdengar hingga kesamping kontrakan, dan tak lama setelah ia tergeletak, dengan gunting yang masih kupegang beserta darah yang berceceran hingga lenganku, banyak orang menghampiri, berdatangan, berkerumun menyaksikan keadaan yang mungkin baru pertama mereka saksikan- sebuah pembunuhan sadis, dari orang gila kepada orang gila !.

*******

Karawang, 12 Sept 2009
Ikmal Maulana


Another Posts:

0 komentar:

Posting Komentar