Sabtu, 05 Desember 2009

Kebohongan

Tulisan ini saya muat sebagai pencerahan opini dari obrolan ringan via telepon dengan seseorang yang tak henti-hentinya menyemangati saya untuk terus menerus berbagi sekecil apapun. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi wujud apresiasi saya sebagai bagian dari orang yang sedang belajar berbagi.

Dusta atau kebohongan adalah penyimpangan sikap yang sering dilakoni oleh setiap kita sebagai makhluk yang menginginkan kesempurnaan dalam meraih simpati, apresiasi, penyelamatan diri, dan kelayakan untuk lebih unggul dari siapapun yang menjadi ‘lawan’ dalam perhelatan arena hidup. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan, energi yang terkuras, maupun stakeholders – bagian terkait dari kebohongnnya - yang dirugikan akan ditempuh sebagai cara-cara yang seolah ‘halal’. Seorang yang melakoni kebohongan akan rela melakukan apapun untuk menutupi kebohongannya, kendati dengan itu melahirkan kebohongan lain dan kontraksi keadaan yang lebih menyimpang.

Bohong – dalam wikipedia bahasa Indonesia - merupakan pernyataan yang keliru untuk membuat ‘lawan bicaranya’ menjadi percaya dengan semua yang dituturkan. Fiksi meskipun salah, tetapi tidak bisa disebut kebohongan.

Terlepas dari jenis, kapasitas, dan faktor yang melatarbelakanginya, sangat sulit kita menghindar secara frontal terhadap keadaan yang ‘memaksa’ untuk melakukan kebohongan. Walaupun pelaku kebohongan akan mempertaruhkan kesempatan, karir, jabatan, untuk melancarkan kebohongannya itu. Lihatlah seorang koruptor yang mempertaruhkan jabatanya saat mengambil maupun menerima ‘upeti’, lihatlah seorang akunting yang mempertaruhkan posisinya ketika ia melakukan rekayasa laporan keuangan, lihatlah seorang pedagang yang mempertaruhkan loyalitas pelanggannya saat ia mengurangi takaran. Semua yang mereka lakukan pemicunya selalu sama dan klasik, meraih kepuasan kredibilitas – sebuah harga mati untuk nilai ideal kepercayaan - terhadap individu dan sosial, maka kebohongan dinilai sebagai kewajaran. Sehingga menjadi terbisa menyembunyikan kebenaran yang sederhana untuk sebuah implikasi yang besar.

Kebohongan – saya menyebutnya perselingkuhan hati. Tanpa kita harus menggariskan identitas untuk mengidentifikasi keadaan yang benar secara runtut dan rumit, cukuplah hati yang memberi kejelasan atas sebuah kebenaran dan kesalahan. Dia keadilan untuk setiap dakwaan, argumentasi terkuat untuk menyatakan benar dan salah, dan penyeimbang dalam kata dan perbuatan – Hati adalah hakim yang tak pernah membohongi setiap kebohongan. Saat kita mengatakan “Ya” atas sesuatu yang “tidak” maka hati akan secara naluriah berteriak sangat keras hingga membuat jiwa gelisah dan gundah.

Setiap hasil yang diperoleh dengan jalan kebohongan tak pernah memberi ruang kenyamanan dan kepuasan, karena hati yang menerima bukan raga. Ketakutan yang paling besar – ditimbulkan hati – bagi seorang pembohong bukan kerugian fisik, melainkan kerugian nonmaterial yang bisa diinterpertasikan sebagai kepercayaan. Saat kebohongannya terkuak, ada 2 pilihan yang bisa ditempuh bagi seorang pembohong, pertama, tetap berbohong untuk menyelamatkan kebohonganya, kedua, mengatakan yang sebenarnya secara utuh walaupun dengan itu resikonya lebih besar.

*****
Arini, seorang gadis desa yang lugu, jujur, memahami hidup tak lebih dari apa yang ia kenal tanpa berharap lebih menyelaminya diluar jangkauan kesanggupan. Setahun lalu ia menikah dengan seorang pria yang datang jauh dari tempat ia berteduh, disebuah kota yang tentu tak pernah mirip sekalipun disamakan dengan kehidupan desa. Ia begitu percaya terhadap suami yang ia junjung sebagai imam dan teladan keluarga. 2 tahun menikah, Tuhan mengkaruniakannya seorang anak hingga menambah kerekatan keluarga yang ia bina. Disaat-saat kebahagaian sedang menyapa dalam hari-harinya, selang beberapa bulan sejak anak pertamanya lahir datang seorang wanita yang tak pernah ia kenal.

“Mana suami saya !” dengan lantang wanita itu mendorong pintu membuat kaget Arini dan anaknya yang masih berusia beberapa bulan itu.
“Maksud ibu apa?” Tanya Arini keheranan
“Ahhh… sudah jangan pura-pura, dasar wanita pelacur ! Dimana suami saya”

Seperti disambar petir, mendengar kata-kata yang jangankan mengatakan, untuk mendengarnya saja baru pertama kali. Arini tampak gugup, suaminya yang sedari tadi mengerjakan pekerjaan di kamar, keluar mendengar kegaduhan.

“Ada apa ini” Tanya suaminya dengan wajah penasaran
“Dewi !” Lanjutnya menebak seseorang yang mungkin tak sing bagi suaminya itu.
“Iya ! kenapa? Kaget ! Dasar laki-laki tak tau diri” Hardik wanita itu
“Siapa dia mas” Tanya Arini
“Dia… mhh.. dia…” dengan gugup suaminya berusaha memberi jawaban
“Saya istri pertamanya !” Wanita itu memotong kata-kata suaminya seolah ingin memberi jawaban tegas atas pertanyaannya.
“Mas ?” Arini masih tak percaya dengan apa yang baru didengarnya
“Arini dengar dulu…” Suaminya berusaha menjelaskan

Sebelum melanjutkan penjelasan suaminya, Arini lari menuju kamar mengunci pintu bersama buah hatinya. Ia mendengar percekcokan hebat diluar sana, telinganya penging kepalanya pusing, mendadak ia mual ingin memuntahkan kekesalan dan pertanyaan besar yang telah mengeruhkan kepercayaan pada cinta dan ketulusan yang ia rajut.

Ia mencoba memahami lebih dalam, mungkin akan melewati batas kemampuanya dalam memahami hidup, tapi ia akan berusaha keras untuk sebuah keadilan. Poligami bukan larangan, tapi suaminya menempuh jalan yang menurutnya sebagai gadis lugu adalah sebuah kesalahan besar.

Selang beberapa hari setelah tragedi itu, suaminya menghampiri Arini, mengakrabinya lebih dari hari-hari yang pernah mereka lewati.

“Saya minta maaf, Arini. Semuanya tidak seperti yang kamu fikirkan”
“Mas belum bercerai?” Tanya arini datar
“Arini…”
“Mas, saya butuh jawaban, bukan alas an”

Suasana hening beberapa saat sebelum akhirnya suaminya memberikan jawaban pasrah.

“Saya memang belum bercerai, dia masih berstatus istri saya, tapi…”
“Mas sudah membohongi saya dan keluarga saya” Arini menangis sendu menyisakan kesedihan mendalam
“Arini…”
“Semuanya sudah terjadi, izinkan saya berfikir untuk kelanjutan rumah tangga kita mas” lanjutnya

Suaminya hanya diam berpaku tanpa kata, seolah menyadari kesalahan yang telah ia sisihkan untuk ketulusan cinta istrinya. Dalam hati ia berlirih, seandainya sedari dulu saya mengatakan bahwa saya bukan bujangan, mungkin lain ceritanya.


**********

Ada 2 pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah diatas. Pertama, poligami memang sesuatu yang halal, boleh dilakukan siapapun yang merasa pantas menempuhnya. Tapi apakah jalan halal menjadi muara untuk dialirkan oleh aliran yang tidak halal. Terlepas dari kontroversi alas an diperbolehkan tidaknya pologami seperti yang dilakoni pada kisah diatas, saya hanya berkesimpulan sederhana, betapapun besarnya kebaikan yang ditebar, jika ia difondasi oleh akar yang rapuh tetap menjadi sebuah kenistaan. Kita tak mungkin membangun masjid dengan semen hasil dari mencuri. Pun kita tak mungkin membersihkan hadats besar dengan air tercampuri najis.

Pelajaran kedua, kepercayaan yang lama kita semai seolah luluh lantah oleh satu kebohongan kecil. Lihatlah Arini yang mendewa-dewakan suaminya, mengabdi sepenuh kewajiban ia sebagai istri, bertahun-tahun lamanya. Ibarat kemarau berkepanjangan menjadi hilang dengan hujan sesaaat. Kepercayaan Arini seolah mengendap seketika, kala hatinya dilukai oleh kebohongan suaminya, walau itu dilakukan sekali saja, sehari pun tidak, hanya beberapa menit.

Seberapapun kuatnya argumentasi sebuah kebohongan, tak pernah melahirkan kebaikan. Walau ada beberapa kebohongan yang ditoleransi menjadi pembelaan – misal, diperbolehkan berbohong saat tertekan musuh – namun secara normatif, kebohongan dalam lajur hidup normal tetap sebuah perselingkuhan hati yang berimplikasi pada kecewa dan kehilangan kepekaan rasa. Pada limit penyadaran sejauh apapun, seorang pembohong akan melemahkan diri atas kelalaianya. Kutipan kisah diatas hanya miniatur sederhana saja, penyesalan selalu berujung menjadi akhir bagi seorang yang melakoni kebohongan.


******

Karawang, 01 Okt 2009
Ikmal Maulana


Another Posts:

0 komentar:

Posting Komentar