Tepat jam 23.15 – aku mendapati kirimian email dari seorang teman yang sudah hampir 5 tahun meghilang.
From: "Hamba Illahii"
To: "Maulana Sidiq" maulana_sidiq@yahoo.com
Sent: Sunday, June 14, 2009 11:38 AM
Subject: Salam Kebesaran Tuhan
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Semoga surat ini menjadi awal perekat kembali silaturahmi kita yang sempat terputus. Apa kabar saudaraku? Semoga tetap dalam lindungan Tuhan, begitupun keluarga yang menemani perjalanan panjang hidupmu, selalu dalam lingkar kebesaran Tuhan. Beberapa hari yang lalu, aku melihatmu di sebuah surat kabar yang menampilan deretan berita-berita
penyudutan atas tudingan tidak beralasan pada ajaran “Tuhan Mulia” – yang aku pimpin. Hampir sama seperti komentar-komentar lainnya, kau pun menyudutkanku dengan seribu alas an yang tidak logis dan terkesan mengada-ngada. Karena sebuh “keterpaksaan” mempertahankan dogma dan doktrin yang sudah lama mengurung ideologi orang-orang sepertimu, sehingga sangat konservatif terhadap sebuah perbedaan.
6 tahun lamanya kita menghabiskan waktu bersama disebuah gobong pesantren tua, dijejali konsep-konsep Islam tradisional dan mono doktrinistik. Santri seperti kita selalu patuh pada kebijakan dan titah kiyai sehingga dengan mudah kau menguasai Bulughul Maram secara tekstual maupun kontekstual, dan akupun sangat lihai mengurai butiran hikmah Riyadhus Shalihin disela-sela masa pengabdian kita selepas 6 tahun lamanya berkutat pada persoalan yang sama tentang iman, keyakinan, pengabdian, ibadah, pembaharuan, dan perbedaan-perbedaan mendasar furuiyah. 8 Tahun kurang lebih sebatas kita menguji seberapa kuat pemahaman Islam yang mengitari setiap langkah hidup, membawanya menjadi secercah ilmu dan hidayah untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Selepas kita berada secara riil ditengah masyarakat, doktrin yang selama bertahun-tahun mengekang kita pun menuntut sebuah penterjemaahan konkret pada kebutuhan-kebutuhan umat. Aku, dan kau pun tak henti-hentinya berbagi. Mengisi ta’lim diberbagai lingkar kajian lintas usia. Namun saudaraku, tidakkah kau tahu betapa sepanjang tahun itu aku merasa kegerahan karena sebuah perbedaan memandang konsep ideologis. Hingga 4 tahun setelah kita menuntaskan kebersamaan dalam rihlah dakwah, aku memutuskan untuk menarik diri dari ranah kebuntuan itu.
Hal yang membuatku lari dan terpincut pada kegelisahan mendalam, perenungan berkepanjangan, penyendirian pada ruang sepi adalah karena aku tidak pernah menemukan inti ajaran yang selama ini aku dapatkan dari sudut manapun. Tuhan seperti selalu abadi dalam shalawat yang kita dendangkan, dan seolah telah mewujud dalam baris-baris Alqur’an dan hadits. Tapi bukan itu yang aku cari. Aku bahkan tidak mempersoalkan Tuhan ada dan tidak ada. Ini sebuah prinsip hipotesa, Tuhan memang tak akan pernah mewujud secara kasat dalam bentuk raga, tapi dia halus menelusup dalam fikiranku. Aku bukan mencari Tuhan Seperti seorang Ibrahim yang mencari-cari, mengira-ngira, sampai mejatuhkan penilaian pada objek yang dilihatnya sebagai Tuhan, tetapi aku menginginkan sebuah alasan keberadaan Tuhan. Dan jawaban atas pertanyaan itu tak pernah ku dapatkan dari gobong tua di pesantren dulu. Maka itu pun terjadi pada alam fikiran liarku – hingga aku menemukan jawaban lain, menurutku inilah sebuah hipotesa yang membenarkan setiap prinsip dasar inti ajaran. Karena penemuanku itulah, lantas kau dan orang-orang yang membenamkan diri dalam dogma usang menganggapku sebagai kesesatan.
Saudaraku…
Melalui email ini, secara sederhana aku ingin menganalogikan alur keyakinan sekaligus pembantahan kebenaran pada penudingan yang kau lakukan. Sungguh, tak ada sedikitpun sebaris dusta dan pemutarbalikan argumentasi. Pada dasarnya, aku masih sama sepertimu secara normatif. Tuhan yang selama ini kau akui dan pantas menyandang predikat ke Tuhanan adalah Allah. Nabi yang menjadi panutan dan teladanku adalah Muhammad. Kitab suci yang menjadi penerang dalam bingkai kejumudan adalah Alqur’an. Apakah kau masih menganggapku sesat.
Ini hanya perbedaan menterjemahkan konsep. Kau memahami Tuhan sebagai muara keyakinan pada fungsi kemanusiaan, memposisikannya sebagai pemegang kebijakan tertinggi dalam ranah interaksi hidup, pada gilirannya nanti, setiap yang kau lakukan berharap mendapat perhatian khusus dari Tuhan – menurutku ini adalah pembodohan kekanak-kanakan. Seperti seorang anak yang menginginkan dibelikan baju baru, lantas dia berpura-pura bersikap baik agar diperhatikan oleh ayahnya. Dan itu tak pernah kau fahami secara terbuka, hingga berlangsung lama kau menduakan keyakinan dengan harapan palsu. Inilah yang membuatku berbeda denganmu. Aku menyederhanakan Tuhan dengan sebatang rokok, sebongkah es, sederas air. Ia tak lebih dari apa yang sedang kita lihat, lebih tinggi, sama, bahkan lebih rendah secara wujud dan fungsi. Tapi persoalannya aku tidak menempatkan Tuhan pada sebuah eksistensi, melainkan isyarat kehidupan. Setiap yang hidup pasti dia ber-Tuhan, dan Tuhan akan tetap ada, tetap memberi perhatian, untuk sebuah kehidupan. Pantas dan tidaknya kita mendapatkan perhatian, Tuhan punya kewajiban atas hak manusia sebagai penghuni bumi yang menjadi bagian korelasi diagram kehidupan ini.
Aku memahami Islam telah memberi keadilan pada keleluasan berfikir setap umat. Dan Tuhan telah menyempurnakan dengan menyemai konteks ajarannya sesuai kebutuhan di seluruh dekade kehidupan, tanpa masa, tanpa ruang. Islam bukan agama kolot dan usang, dia akan terus bermetamorfosis menjadi agama sempurna dibandingkan agama-agama lain. Tapi lihatlah cara dan gaya mayoritas penganutnya, menjalankan konsep Islam dalam ruang yang sangat sempit. Rasulullah telah tiada bersama masa-masa keemasan kejayaan Islam di zamannya, namun ruhnya tetap bersemayam utuh dalam hati-hati para pecintanya. Kesalahan kita adalah melakukan pengerucutan konsep Islam dalam kerangka yang tidak kontemporer, mengurai pesan Rasul dalam ruh yang berbeda dengan
Apakah kau masih menuduhku sesat setelah aku mengakui Alqur’an sebagai kitab suci tertinggi. Kita sama saudaraku ! Namun yang membedakan adalah cara kita menginterpretasikan konteks nilai yang ada dalam Alqur’an. Aku tidak menamakan ini penafsiran lintas historis, ataupun tafsir liberalistic, bahkan tafsir dogmatis. Kau boleh menyebutnya apapun tentang alam fikiran liarku atas penafsiran terhadap Alqur’an yang kuanggap tak lebih dari buku-buku cerita, novel, dan lain sejenisnya. Karena Alqur’an sebuah buku biasa, jadi tak lebih dari semua itu. Aku menghargai Alqur’an pada konteks nilai substantive bukan ruang. Inilah yang menjadi garis persinggungan kita.
Baiklah saudaraku, aku sudahi dulu email ini. Semoga kau tetap dalam lindungan Tuhan. Jangan katakan bahwa aku harus menghentikan dakwah ini, karena ini prinsip ajaran yang sama seperti saat kau melakukan ekspansi dakwah.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
From: "Hamba Illahii"
To: "Maulana Sidiq" maulana_sidiq@yahoo.com
Sent: Sunday, June 14, 2009 11:38 AM
Subject: Salam Kebesaran Tuhan
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Semoga surat ini menjadi awal perekat kembali silaturahmi kita yang sempat terputus. Apa kabar saudaraku? Semoga tetap dalam lindungan Tuhan, begitupun keluarga yang menemani perjalanan panjang hidupmu, selalu dalam lingkar kebesaran Tuhan. Beberapa hari yang lalu, aku melihatmu di sebuah surat kabar yang menampilan deretan berita-berita
penyudutan atas tudingan tidak beralasan pada ajaran “Tuhan Mulia” – yang aku pimpin. Hampir sama seperti komentar-komentar lainnya, kau pun menyudutkanku dengan seribu alas an yang tidak logis dan terkesan mengada-ngada. Karena sebuh “keterpaksaan” mempertahankan dogma dan doktrin yang sudah lama mengurung ideologi orang-orang sepertimu, sehingga sangat konservatif terhadap sebuah perbedaan.
6 tahun lamanya kita menghabiskan waktu bersama disebuah gobong pesantren tua, dijejali konsep-konsep Islam tradisional dan mono doktrinistik. Santri seperti kita selalu patuh pada kebijakan dan titah kiyai sehingga dengan mudah kau menguasai Bulughul Maram secara tekstual maupun kontekstual, dan akupun sangat lihai mengurai butiran hikmah Riyadhus Shalihin disela-sela masa pengabdian kita selepas 6 tahun lamanya berkutat pada persoalan yang sama tentang iman, keyakinan, pengabdian, ibadah, pembaharuan, dan perbedaan-perbedaan mendasar furuiyah. 8 Tahun kurang lebih sebatas kita menguji seberapa kuat pemahaman Islam yang mengitari setiap langkah hidup, membawanya menjadi secercah ilmu dan hidayah untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Selepas kita berada secara riil ditengah masyarakat, doktrin yang selama bertahun-tahun mengekang kita pun menuntut sebuah penterjemaahan konkret pada kebutuhan-kebutuhan umat. Aku, dan kau pun tak henti-hentinya berbagi. Mengisi ta’lim diberbagai lingkar kajian lintas usia. Namun saudaraku, tidakkah kau tahu betapa sepanjang tahun itu aku merasa kegerahan karena sebuah perbedaan memandang konsep ideologis. Hingga 4 tahun setelah kita menuntaskan kebersamaan dalam rihlah dakwah, aku memutuskan untuk menarik diri dari ranah kebuntuan itu.
Hal yang membuatku lari dan terpincut pada kegelisahan mendalam, perenungan berkepanjangan, penyendirian pada ruang sepi adalah karena aku tidak pernah menemukan inti ajaran yang selama ini aku dapatkan dari sudut manapun. Tuhan seperti selalu abadi dalam shalawat yang kita dendangkan, dan seolah telah mewujud dalam baris-baris Alqur’an dan hadits. Tapi bukan itu yang aku cari. Aku bahkan tidak mempersoalkan Tuhan ada dan tidak ada. Ini sebuah prinsip hipotesa, Tuhan memang tak akan pernah mewujud secara kasat dalam bentuk raga, tapi dia halus menelusup dalam fikiranku. Aku bukan mencari Tuhan Seperti seorang Ibrahim yang mencari-cari, mengira-ngira, sampai mejatuhkan penilaian pada objek yang dilihatnya sebagai Tuhan, tetapi aku menginginkan sebuah alasan keberadaan Tuhan. Dan jawaban atas pertanyaan itu tak pernah ku dapatkan dari gobong tua di pesantren dulu. Maka itu pun terjadi pada alam fikiran liarku – hingga aku menemukan jawaban lain, menurutku inilah sebuah hipotesa yang membenarkan setiap prinsip dasar inti ajaran. Karena penemuanku itulah, lantas kau dan orang-orang yang membenamkan diri dalam dogma usang menganggapku sebagai kesesatan.
Saudaraku…
Melalui email ini, secara sederhana aku ingin menganalogikan alur keyakinan sekaligus pembantahan kebenaran pada penudingan yang kau lakukan. Sungguh, tak ada sedikitpun sebaris dusta dan pemutarbalikan argumentasi. Pada dasarnya, aku masih sama sepertimu secara normatif. Tuhan yang selama ini kau akui dan pantas menyandang predikat ke Tuhanan adalah Allah. Nabi yang menjadi panutan dan teladanku adalah Muhammad. Kitab suci yang menjadi penerang dalam bingkai kejumudan adalah Alqur’an. Apakah kau masih menganggapku sesat.
Ini hanya perbedaan menterjemahkan konsep. Kau memahami Tuhan sebagai muara keyakinan pada fungsi kemanusiaan, memposisikannya sebagai pemegang kebijakan tertinggi dalam ranah interaksi hidup, pada gilirannya nanti, setiap yang kau lakukan berharap mendapat perhatian khusus dari Tuhan – menurutku ini adalah pembodohan kekanak-kanakan. Seperti seorang anak yang menginginkan dibelikan baju baru, lantas dia berpura-pura bersikap baik agar diperhatikan oleh ayahnya. Dan itu tak pernah kau fahami secara terbuka, hingga berlangsung lama kau menduakan keyakinan dengan harapan palsu. Inilah yang membuatku berbeda denganmu. Aku menyederhanakan Tuhan dengan sebatang rokok, sebongkah es, sederas air. Ia tak lebih dari apa yang sedang kita lihat, lebih tinggi, sama, bahkan lebih rendah secara wujud dan fungsi. Tapi persoalannya aku tidak menempatkan Tuhan pada sebuah eksistensi, melainkan isyarat kehidupan. Setiap yang hidup pasti dia ber-Tuhan, dan Tuhan akan tetap ada, tetap memberi perhatian, untuk sebuah kehidupan. Pantas dan tidaknya kita mendapatkan perhatian, Tuhan punya kewajiban atas hak manusia sebagai penghuni bumi yang menjadi bagian korelasi diagram kehidupan ini.
Aku memahami Islam telah memberi keadilan pada keleluasan berfikir setap umat. Dan Tuhan telah menyempurnakan dengan menyemai konteks ajarannya sesuai kebutuhan di seluruh dekade kehidupan, tanpa masa, tanpa ruang. Islam bukan agama kolot dan usang, dia akan terus bermetamorfosis menjadi agama sempurna dibandingkan agama-agama lain. Tapi lihatlah cara dan gaya mayoritas penganutnya, menjalankan konsep Islam dalam ruang yang sangat sempit. Rasulullah telah tiada bersama masa-masa keemasan kejayaan Islam di zamannya, namun ruhnya tetap bersemayam utuh dalam hati-hati para pecintanya. Kesalahan kita adalah melakukan pengerucutan konsep Islam dalam kerangka yang tidak kontemporer, mengurai pesan Rasul dalam ruh yang berbeda dengan
Apakah kau masih menuduhku sesat setelah aku mengakui Alqur’an sebagai kitab suci tertinggi. Kita sama saudaraku ! Namun yang membedakan adalah cara kita menginterpretasikan konteks nilai yang ada dalam Alqur’an. Aku tidak menamakan ini penafsiran lintas historis, ataupun tafsir liberalistic, bahkan tafsir dogmatis. Kau boleh menyebutnya apapun tentang alam fikiran liarku atas penafsiran terhadap Alqur’an yang kuanggap tak lebih dari buku-buku cerita, novel, dan lain sejenisnya. Karena Alqur’an sebuah buku biasa, jadi tak lebih dari semua itu. Aku menghargai Alqur’an pada konteks nilai substantive bukan ruang. Inilah yang menjadi garis persinggungan kita.
Baiklah saudaraku, aku sudahi dulu email ini. Semoga kau tetap dalam lindungan Tuhan. Jangan katakan bahwa aku harus menghentikan dakwah ini, karena ini prinsip ajaran yang sama seperti saat kau melakukan ekspansi dakwah.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Setelah membaca email ini, air mataku menetas hingga jatuh membasahi tombol keyboard laptop. Tangisan ini untuk semua perasaan yang mengitariku, sebuah kerinduan mendalam atas kehadiran sahabat terdekat selama bertahun-tahun menyemai ilmu di pondok pesantren, sebuah keprihatinan mendalam atas garis persinggungan yang nampak ia buat, dan sebuah harapan untuk kembali meraihnya pada jalan kebenaran yang sesungguhnya.
Ikmal Maulana
0 komentar:
Posting Komentar