Selasa, 28 Juli 2009

Tuhan Mendekat Saat Kita Menjauh

"Patung apakah ini wahai ayahku? Kedua telinganya besar, lebih besar dari telinga kita." Ayahnya menjawab: "Itu adalah Mardukh, tuhan para tuhan wahai anakku, dan kedua telinga yang besar itu sebagai simbol dari kecerdasan yang luar biasa." Ibrahim tampak tertawa dalam dirinya padahal saat itu dia baru menginjak usia tujuh tahun.

Ketika Ibrahim tumbuh dewasa, dia mulai mencari jawab atas segala kegelisahannya selama bertahun-tahun. Siapa sebenarnya Tuhan??. Suatu malam ketika dia melihat bintang, dia mengira bahwa bintang itulah tuhannya. Namun tatkala bintang itu pergi keperaduannya, hilanglah anggapan itu. Tuhan tidak mungkin pergi oleh batas waktu. Dihari berikutnya dia melihat bulan, awalnya ia mengira bulan adalah Tuhan, karena secara kasat mata telanjang bulan memiliki ukuran lebih besar daripada bintang. Namun lagi-lagi saat malam berlalu, bulanpun harus pergi keperaduannya. Dihari-hari yang lain, Ibrahim meyakini matahari sebagai tuhannya, namun keyakinan Ibrahim bernasib sama dengan keyakinan-keyakinan sebelumnya, kala matahari pergi ke peraduannya di kembali menyekutukan bahwa matahari adalah tuhan. Secara lengkap tersirat pada ayat dibawah ini,


"Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku.'" (QS. al-An'am: 76)

"Kemudian tatkala dia melihat sebuah bulan terbit dia berkata: 'Ini­lah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: 'Sesung­guhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.'" (QS. al-An'am: 77)

"Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.' Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: 'Hai kaumkku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'" (QS. al-An'am: 78-79)

Itu hanya sekelumit kisah yang saya kutip dari Alqur’an, menggambarkan pencarian Ibrahim atas Tuhannya. Saya bukan hendak menafsirkan kandungan ayat tersebut, karena untuk mentafsirkan untuk kemudain “disebut” sebagai muffasir tidak semudah menjadi penulis “kacangan” seperti ini. Mufasir semestinya menguasi ulumul qur’an, ulumul hadits, ushul fiqih, teologi, filsafat, dll. Saya hanya hendak mengungkap apa yang pernah saya baca, saya lihat, saya dengarkan, saya fahami, dan saya cari. Seandainya konsep interpterasi yang saya ekplorasi ini memang tidak sepadan dengan konsep pemahaman pembaca, mohon diluruskan. Dan tentu saya sangat berapresasi sekali jika itu dilakukan secara terbuka dengan dukungan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tuhan selalu ada dimanapun kita ada. Dia akan memberi sepenuh pemberian Kholik kepada makhluknya, tidak separuh tetapi utuh. Keberadaanya dapat dilihat dari bukti penciptaan yang kita nikmati, kita rasakan, kita alami. Saat kita menikmati indahnya berada dipegunungan yang jauh dari kebisingan kota, menghirup udara segar dari polusi yang biasa kita hisap di kota, maka kita meyakini bahwa Tuhan telah ada dan telah mengadakan gunung-gunung ini. Saat kita merasakan makanan favorit ditempat-tempat favorit, maka Tuhan telah ada untuk memberi kemampuan lidah mengecap rasa. Saat kita mengalami sakit, sehat, sedih, gembira, tertawa, menangis, maka kita meyakini bahwa Tuhan telah ada untuk memberi “kejutan-kejutan” tragedi yang membuat kita menangis dan tertawa. Tuhan selalu ada untuk “kita”. Dimanapun kita berada, saat bagaimanapun kondisi kita, kapanpun kita hadir dalam waktu-waktu yang Dia berikan.

Ada seorang santri disebuah kelompok kajian sufistik bertanya pada ustadznya, “ Ustadz, sekarang Tuhan lagi ngapain ya? “ lalu sang Ustadz memanggil santri tersebut dan menyuruhnya berpindah tempat. Santri bingung, dan kembali bertanya “ apa maksdunya ustadz?”. Kemudian sang ustadz menjawab, “ tadi kamu bertanya Tuhan sedang apa kan?, ketika saya menyuruh kamu untuk berpindah tempat, maka sederhana jawaban saya, tadi Tuhan sedang memindahkan kamu dari tempat sebelumnya ketempat baru” tutur ustadz.

Anekdot itu saya kutif dari buku humor sufistik yang pengarang, penerbit, tahun terbit dan dimana saya mendapatkannya, sungguh demi Tuhan… lupa !.

Tapi paling tidak ada hal menarik dari anekdot tersebut, “Tuhan sedang memindahkan kamu dari tempat duduk sebelumnya ketempat duduk yang baru”. Ini melukiskan keyakinan mendalam bahwa Tuhan memang menggerakan semua yang kita lakukan. Kita bisa melihat, sesungguhanya Tuhan yang memberi kemampuan untuk melihat, kita bisa bicara, sesungguhnya tuhan yang memberi kemampuan untuk bicara, dan seterusnya. Istilah murabbi saya, jangan takut mengambil pilihan hidup, jika kita tidak cukup, Tuhan yang akan mencukupkan, jika kita tidak mampu Tuhan yang akan memberi kemampuan, jika kita tidak yakin, Tuhan yang akan memberi keyakinan.

Manusia tentu berbeda dengan Tuhan, manusia penuh keterbatasan sedangkan tuhan tidak pernah kurang. Manusia penuh amarah, sedangkan Tuhan penuh kasih sayang. Saat tuhan marah pun, kemarahannya adalah kasih sayangnya, dia marah bukan karena benci dan dendam terhadap makhluk, karena tuhan tak butuh kemarahan dan kebencian. Dia marah untuk menunjukan kasih sayang kepada makhluknya. Kemarahan ini berbeda dengan kemarahan manusia karena faktor kemanusiaaan, benci, dendam, sakit hati, dll.

Saat manusia berpaling, Tuhan tetap memberi, Saat manusia berlari meninggalkannya Tuhan tetap menghampiri,, Karena Dia berbeda dengan kita… dia tetap membuka pintu pertaubatan, pintu kembali, pintu pembersihan… Seandainya Tuhan “kekanak-kanakan”, pasti Dia akan meninggalkan hamba-hambanya yang telah lupa, lalai, berpaling, dan jauh meninggalkan-Nya. Dalam waktu sekejap, kalau Dia mau, untuk hamba-hamba yang dia tinggalkan dicabut semua fasilitas kehidupan yang telah diberikan. Tapi buktinya, Tuhan masih menghidupkan dan memberi kehidupan pada mereka.

Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa,

dimana aku mengeluh, dengan segala keluh.
Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa, tempat aku memuja,

dengan segala doa.
Aku jauh, Engkau jauh. aku dekat Engkau dekat.
Hati adalah cermin, tempat cahaya dan dosa berpadu.

Mohon maaf kalau saya bagian yang tidak sependapat dengan lirik lagunya Bimbo itu. Jika Tuhan menjauh saat kita menjauh, lalu siapa yang akan mendekatkan, siapa yang akan memberi petunjuk atas sikap menjauhnya hamba, siapa yang akan memberi penolong atas kesesatan yang dilakukan Hamba. Tentu Tuhan tidak “senorak” yang dilakoni dalam lagu itu. Tuhan adail atas statusnya sebagai kholik untuk memberi keadilan itu kepada manusia. Dia tidak akan pernah menjauh, Dia selalu dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi sekalipun.

Itulah Tuhan Allah. Dia berbeda dengan Tuhannya lain yang diyakini sebagai Tuhan padahal bukan,,,

Yesus berseru dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" (artinya: Allah Ku, Allah Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?...." (Injil - Matius 27: 46).

Sedangkan Allah tidak pernah meninggalkan manusia dalam arti selalu memberi kesempatan pada siapapun yang akan kembali pada pangkuan-Nya. Untuk itulah, izinkan saya berbeda dengan kebanyakan pendapat, karena “ Tuhan Tak Pernah Lari Meninggalkan Kita, Kendati kita menjauh, kita menghindar, kita melupakan, kita berpaling,,, Dia tetap istiqomah…selalu membuka pintu, untuk kembali “



Another Posts:

0 komentar:

Posting Komentar