Seperti menjadi keharusan diawal-awal percakapan selalu dibuka dengan “ceremonial” basa-basi menanyakan kabar, mendialogkan keadaan, dan menegaskan bahwa dengan basa-basi itu kita tidak lupa dengan hubungan perkawanan, keluarga, dan rekan kerja. Tapi, aku tidak hendak menjadikan semua itu sebagai keharusan, sebagai kewajiban, sebagai “ceremonial” basa-basi yang kemudian ternyata semanya bermuara menjadi keterpaksaan.
“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu, apa yang sudah kau lakukan hari ini?
Sepulang menjemput adikku di sekolah, tepat dipintu kereta api kota Karawang, seorang pengamen kecil kurang lebih usianya 6 tahun dengan muka kumal, baju lusuh, dan ekspresi yang kosong. Ia menghampiriku dengan mendendangkan sebuah lagu berujudul “Cinta Terakhir” milinya Domino. Pemandangan yang membuat miris setiap yang melihatnya, bocah kecil dibawah sengatan panasnya matahari mesti berjuang mengejar nasib. Teman, mereka adalah pengamen kecil yang dipaksa untuk merajut “nasib” masa kecilnya dengan “kekerasan” jalan, kebisingan kota, setiap detik menghisap karbonmonoksida dari knalpot kendaraan”. Mereka seharusnya punya hak yang sama dengan kita, hak untuk hidup layak, hak untuk mengenyam pendidikan, hak untuk mendapatkan keriangan masa kanak-kanak, hak untuk mendapat perhatian lebih dari orang-orang yang mereka sayangi, hak untuk makan dengan makanan “layak makan”, hak untuk berbusana dengan pakaian yang “layak pakai”, hak untuk tidur dengan sellimut hangat, kasur empuk, dan kamar nyaman.
Sepantasnya mereka menikmati masa kecil dengan bermain bersama teman-teman sebayanya, sepantasnya mereka menikmati kursi kelas disekolah dan mendapat sedikit pencerahan dari guru-guru sebagai substitusi dari kearifan bimbingan orang tua dirumah, sepantasnya mereka merajut masa depan dengan cita-cita setinggi langit, membangun impian semegah istana. Tapi sayang semua itu terlalau sulit meraka raih, seolah nasib sudah menggariskan jalanan sebagai tempat mereka bermain, emper-emper toko sebagai tempat mereka tidur dan beristirahat, setengah tempe dan 3 sendok nasi sebagai pengganjal perut tatkala mereka lapar, perempatan, lampu merah, pintu kereta api sebagai tempat mereka merajut masa depan. Ilmu yang mereka dapatkan bukan lagi ilmu pancasila, kewarganegaraan, matematika, melainkan bagaimana menciptakan instrument musik dari sisa-sisa tutup botol, bernyanyi dengan nyanyian yang menurut saya tidak layak mereka nyanyikan, mereka “menulis” dan “menggambar”( kalau terlalu kasar disebut mencorat-coret ) tembok-tembok toko , tempat-tempat umum maupun kendaraan-kendaraan yang berlalu jika sang pengendara tak mau “melempar” receh saat mereka mengamen.Namun sekali lagi semua itu sulit mereka raih, kawan.
Akan tetapi, sebagai bagian dari struktur sosial dalam populasi makhluk Tuhan bernama manusia seharusnya kita menjadi bagian yang “bertanggungjwab” terhadap eksistensi dan keadaan mereka. Entahlah, “dosa besar” apa yang sudah mereka lakukan sehingga Tuhan seolah tidak memberi keberpihakan atas apa yang sudah mereka jalani, mereka dapatkan, dan mereka hadapi kelak adalah nasib yang harus mereka pikul.
Sekali lagi itu bukan basi-basi kawan, jangan kau nilai aku seperti pedagang asongan terminal yang menjual barang-barang biasa namun dengan kelihaian lidah dan sedikit “pemaksaan” menjadi barang luar biasa. Sejujurnya apa yang kukatakan itu adalah “teriakan” hati yang berat dan sulit ku ungkapakan. Aku hanya ingin menuliskan apa yang sudah ku lihat, apa yang ku dengar, apa yang nampak dan menjadi setitik kepedihan dan sebaris do’a untuk perubahan pada keadaan-keadaan itu. Selebihnya terserah kau mau menginterpretasikannya bagaimana, yang pasti aku selalu berupaya adanya perubahan, walau sedikit,
Mimpi Gelandangan Gengamen Jalanan
( dikutip dari : http://sastrapujangga.wordpress.com )
Mungkin arti dari kebisingan
Dari keberadaanku yang terlihat pandangan
Mungkin suatu hal yang tak di inginkan
Walaupun tak di harapkan tapi ku tetap berusaha bertahan
Mungkin kalian bosan,mungkin ku menjijikan
Tapi inilah keadaan.. sebutir pandangan kehidupan
Mengubur dalam rasa malu
Ku dendangkan lagu…
Mengharap simpatimu
Serasa merdu untukku…
Bagaimana denganmu..
Bukan setengah dari yang kau miliki yang ku minta
Secuil darinya yang sederhana ku terima
Ku tak memaksa dari kamu semua tuk memberi
Sedikit darimu sangatlah berarti
Sangat jelas bagiku…. tentu jua negeriku
Kotor bajuku … kumuh tubuhku… tapi bukan karena debu
Dari merekalah yang meminjam bajuku…
Menyandang gelar kehormatanku…
Tak sungkan mereka memaksamu
Muka seram tersandang.. takutmu karena itu..,ku bukan itu…
Coba kau cuci bajuku…,tak kau beri detergentpun ku mau..
Simpan di lemarimu… di situ terjaga bajuku
Bagaimana dengan gelar kehormatanku…. Namaku…
Harumkan ia karenamu…
Parfum murah akupun mau..
Mungkin kata…atau pandangan pelupuk mata
Seakan biasa.. tapi membawa makna
Mungkinkah bisa… kalau keberadaanku sudah terhina
Hanya sebagai pandangan sebelah mata
Harapku itu karena debu… bukan dari hatimu
Mungkinkah debu masuk di sebelah mata dari kamu semua
Sedikit dariku mungkin bisa membantu…
Dari lagu merduku teralun untukmu
Dari pengetahuanku menyalur untukmu
Di eramu menjelang pemilu…mungkinkah ku bisa membantu
Dari mereka yang bosan denganku…
Dari mereka memilih kamu…
Dari kampanyeku… tak terasa bagimu… tak keluar rupiahmu
Mungkin dari laguku mengubur dalam kekerasan,menenggelam penindasan
Tak ada harapan bagiku,hanya kepedulianmu
Cobaku bangun dari mimpiku
Harap tak tenggelam dalam khayalan
Hanya kemustakhilan
Ku tak di pedulikan
Secuil perhatian hanya sebagai pajangan
Diriku,,, cermin negeriku
Adaku… karena negeriku
Sekarang di mana aku.
----------------------- @@ ---------------------
Bagaimana keadaanmu teman? Bagaimana dengan mimpi-mimpi yang kau bangun dengan arsitektur termegah dan selalu kita diskusikan setiap kali kita bertemu ditempat itu. Mimpi itu kau katakan hanya khayalan, lalu aku menyanggahnya, aku katakan bahwa mimpi itu bukan khayalan, tapi kenyataan yang tertunda, keadaan yang belum terjadi, tempat yang kita tuju untuk disinggahi. Dan hari ini adalah proses-proses yang kita lewati untuk membuatnya menjadi kemungkinan yang terjadi. Kita punya mimpi, mereka punya mimpi, pengamen kecilpun punya mimpi. Sebuah cerita dibalik “kontroversi” :
Dimalam hari seorang anak berdiri ditengah rumah menatap dari kejauhan dibalik jendela kaca, ia saksikan rembulan malam memancarkan pesonanya membuat setiap yang menatap terdiam takjub atas keagungan salah satu penciptaan Tuhan. “Mamaaaaaah… !” tiba-tiba dia berteriak. Mamahnya yang saat itu ada didapur, segera menghampiri anak kecil itu. “ Ada apa nak, akenapa berteriak seperti itu? “ Tanya mamahnya. Dengan wajah polos penuh ketakjuban dari seorang yang belum mengerti apa-apa tentang tentang objek yang mengitarinya, ia kembali bertanya “Mah, itu bulan ya mah. Bisa nggak mah kita naik ke bulan? Saya pengen naik bulan”.
Mamahnya heran, namun ia tetap tersenyum atas pertanyaan “lugu” itu, pertanyaan yang pada waktu itu menjadi pertanyaan “aneh” dan menggelitik. Belum ada satupun makhluk bernama manusia yang sanggung menapakan kaki didataran bulan, itu masih dalam wacana sebagai mimpi-mimpinya seorang astronot. Mungkin mamahnya berfikir, hanya keajaiban yang bisa mengiyakan pertanyaan si anak. Tetapi, tidak untuk dia, seorang mamah yang dengan penuh kearifan mengemas mimpi anaknya itu menjadi sebuah jalan panjang yang indah dan akan dilewati untuk sampai pada titik akhir tujuannya. “ Nak, kamu ingin naik ke bulan?, bisa saja nak, tapi kamu juga mesti berfikir ketika sudah sampai dibulan, bagaimana kamu bisa turun dan kembali kerumah ini?”. Dengan termenung dan tetap memasang wajah lugu, anak kecil yang tidak tau apa-apa itu diam seolah berkecamuk dalam fikirannya, itu adalah mimpiku yang harus kuwujudkan.
-------------------------------------------------------- @@@@ --------------------------------------------------------------------
Di Chili, José Zepeda dari redaksi Amerika Latin sudah menjadi jurnalis waktu itu. Ia bercerita tentang pendaratan bersejarah di bulan pada 20 Juli 1969 yang dilakukan oleh astronot bernama Neil Armstrong:
"Waktu itu saya berusia 19 tahun dan bekerja di stasiun radio kecil di Chili utara. Pendaratan di bulan benar-benar menakjubkan, momen ajaib. Kami berpikir: tidak mungkin, ini cuma mimpi. Sepertinya, kami perlu waktu dua tiga hari untuk menyadari bahwa ini benar-benar terjadi."
Di sebagian besar penjuru dunia berita ini diterima dengan kebingungan, bahkan ketidakpercayaan. Di Sudan, ibu Mohammed Abdulrachman, dari redaksi Arab, yang buta huruf dan sangat religius cuma mengeluarkan makian mengenai berita besar tersebut.
"Itu bullshit, katanya."
Belanda juga sangat terkejut, itu yang diceritakan Sirtjo Koolhof. Ia masih ingat:
"Yah, bulan itu kan di langit, jadi masa bisa sih? Saya ingat, salah satu paman saya di Veluwe, anggota gereja yang sangat fanatik, dan bisa disebut fundamentalis, tidak percaya kisah itu sampai ia meninggal, bertahun-tahun kemudian." ( dikutif dari bebagai sumber )
-------------------------------------------------------- @@@@
Terlepas dari kontroversial yang terjadi belakangan atas kebenaran fenomena keberhasilan NASA dengan slogan “A Giant leap for Mankind” ( Langkah Besar untuk Manusia ) mewujudkan mimpi Pemerintah AS untuk menjadi Negara pertama yang menancapkan bendera kejayaannya di bulan, aku hanya ingin menyampaikan kabar dari beberapa sumber ( lagi-lagi ini pun kemudian menjadi kontroversial ) bahwa ternyata “Neil Armstrong” itu adalah anak kecil yang berdiri diruang tengah rumah, menatap bulan dibalik jendela, anak kecil yang berteriak hingga membuat mamahnya kaget, anak kecil yang dengan polosnya bertanya “ mah, itu bulan ya mah? Bisa nggak mah kita naik kebulan? Aku ingin kesan mah??”. Dan Neil Armstrong adalah bocah cilik yang mimpinya tidak pupuskan dengan jawaban seorang ibu “ Nak, kamu ingin naik ke bulan?, bisa saja nak, tapi kamu juga mesti berfikir ketika sudah sampai dibulan, bagaimana kamu bisa turun dan kembali kerumah ini?”. Seorang ibu yang tidak membunuh mimpi anaknya disaat mimpi itu bukan hal yang mungkin akan diwujudkan pada saat itu.
Semuanya berawal dari mimpi teman. Mimpi akan membawa kita pada babak baru dalam hari-hari yang penuh semangat, kaya akan gagasan-gagasan, memecah kebuntuan yang bertahun-tahun kita “diamkan”. Banyak hal yang bisa kita lakukan, bisa kita perbuat, bisa kita hasilkan dan itu berawal dari impian yang kita rawat. Seorang Einstein menghabiskan lebih dari 30 tahun sisa hidupnya hanya untuk mencoba menggabungkan interaksi gravitasi dengan elektromagnetik, Walaupun pada akhirnya dia harus gagal, namun mimpi-mimpinya tetap hidup mewarnai setiap yang mewarisi keilmuannya. Wright bersaudara memimpikan sebuah mesin yang bisa terbang di udara disaat belum ada satupun yang mampu menciptakan kendaraan lintas udara. Dengan impian yang dirawat, sekarang setiap orang bisa melihat bukti terwujudnya impian itu dengan hadirnya pesawat terbang yang bisa kita nikmati disetiap penjuru dunia. Thomas Edison memimpikan sebuah lampu yang bisa dihidupkan dengan listrik, memulai dari tempat ia berdiri untuk mengubah impiannya menjadi tindakan. Dan walaupun dia menemui lebih dari sepuluh ribu kegagalan, dia tetap memegang teguh impiannya sampai dia menjadikannya sebuah kenyataan fisik. Pemimpi praktis pantang menyerah!
Pemimpi-pemimpi sejati tak pernah lelah menghabiskan hari-harinya dengan menyapa mimpinya dalam setiap yang ia lakukan. Mimpi bagi pemimpi bukanlah sisa-sisa dari “keputusasaan” dan “kekhawatiran” dari kegagalan. Aku menterjemahkan mimpi sebagai stimulan, cambuk, magnet untuk melahirkan perubahan-perubahan kecil. Oleh Karena itu kawan, atas mimpi-mimpi yang sudah kita bangun, sedikitpun jangan kita “bunuh”, karena kita tidak tau pada moment dan kesempatan mana Tuhan akan mewujudkan mimpi kita,
Kenyataan hari ini adalah impian hari kemarin
(Imam Asy Syahid Hasan Al Banna)
Aku sudahi dulu surat ini, sekali lagi akau hanya ingin menulis, terserah kau mau seperti apa menjawab atas “ocehan-ocehanku” ini. Salam rindu untuk hatimu dan hari-hari yang kau lalui.
Sahabatmu,
Ikmal Maulana
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
0 komentar:
Posting Komentar