Mataku jauh menerawang menatap sekilas laju tubuhmu yang melintas. Tanpa tahu, tanpa mengenal, tanpa faham. Dadaku mendadak sesak, kepala terasa berat, mulut terasa pahit, rasanya mau pingsan saja. Aku tak yakin kehadiranmu yang tiba-tiba bisa mengubah keadaanku menjadi keadaan yang tidak aku kenal, asing, dan jauh dari ruang yang sudah lama kusinggahi. Hati meronta-ronta ingin segera menyingkir dibalik rimbun pohon dan bersembunyi diantara semak-semak, Jiwaku mengintip dari kejauhan, mengingat-ngingat jejak bayang yang seolah bersemayam melelahkan raga. Kakiku mengajak berlari meniggalkan ruang-ruang itu, tapi urat-uratnya teramat kaku untuk kulangkahkan. Aku merasa terhimpit oleh rasa dan kecemasan, membuat keringatku bercucuran hingga membasahi seluruh tubuh. Ah, pasti kau tidak pernah tahu itulah saat-saat yang kualami, awal kita berpapasan tanpa sapa, dikota yang lama tak kau singgahi.
Mungkin kau ingat ketika Ibrahim ‘menitipkan’ istri dan anaknya pada Tuhan, meninggalkan mereka jauh, dengan haus yang meracuni kerongkongan, dengan lapar yang menusuk-nusuk perut, dengan terik yang membakar kulit – Ibrahim meletakan mereka pada sebuah tempat yang jauh dari mata air, jauh dari semak, jauh dari rimbun – tapi lihatlah, saat-saat tersulit itulah ternyata yang menjadikan goresan sejarah hingga sekarang, membuat semua orang seolah menginginkan untuk terus menerus singgah ditempat itu, melihatnya penuh kerinduan, ketakjuban atas perjuangan seorang Ibrahim menjalankan titah Tuhannya.
Aku tak ingin menyamakan diri dengan Ibrahim, dengan keadaan dan tempat, terlampau jauh. Tetapi, setidaknya,aku hanya hendak menyisipkan pesan, kau bisa merasakan perih dan getir mempertahankan rasa sakit itu, hingga mampu membuahkan keyakinan, kesungguhan, dan keberanian untuk terus menerus bergerak. Itulah yang aku rasakan – sebuah perjuangan mempertahankan rasa yang ‘menyakitkan’ setelah perjumpaan kita – hanya karena kau melintas !. Sepulangnya dari tempat itu, seperti seorang yang kecanduan dan mengalami sakaw berkepanjangan, sejujurnya aku ingin mematikannya, namun tak pernah membuatku berhasil. Setiap kutepis, semakin hadir dengan wujud yang ‘nyata’ – menyeretku pada jurang-jurang yang tak bertepi. Mungkin kau menganggap terlalu berlebihan, mengada-ngada. Kau membuatku ketagihan untuk terus mengenal, menyapa, dan menghadirkankmu dihari-hari berikutnya. Seperti ibrahim mengawali sejarahnya dari ketaatan pada titah Tuhan, aku mengawali mengakarkan harapan pada pertemuan yang luar biasa itu.
*****
"Assalamu'alaikum" - Sebuah salam kukirim sebagai pembuka dialog perkenalanku - lebih tepatnya aku ingin memperkenalkan diri. "Wa'alakikumsalam" - Dan kau pun menjawabnya dengan sederhana sesederhana sapaanku. Itulah dialog awal pertemanan kita, sebuah interaksi miniatur yang kita buat sangat sederhana. Tapi disanalah justru aku mengakarkan mimpi-mimpi kecilku, disanalah aku menyisipi harapan-harapan lampauku yang usang, dan disanalah pula aku mulai mengucap barisan-barisan do'a agar Tuhan tak menjauhkan aku darimu dan dari keadaan yang sudah membuatku menjadi seorang yang baru - Seorang yang aku sendiri tak pernah memahami apa, siapa, bagaimana, dan kenapa - Dan disanalah pula aku menuliskan sepucuk surat untukmu - " Izinkan aku masuk dalam duniamu "
Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung,
Kau dan Aku;
Dalam dua bentuk dan dua wajah — dengan satu jiwa,
Kau dan Aku.
Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian
Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita –
Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita;
Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita –
Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini …
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan –
Kau dan Aku.
( Jalaluddin Rumi )
Kita melanjutkan dialog-dialog mini itu dengan dialog yang lebih bebas, lebih liar, lebih luas. Aku menyapamu disetiap pagi, senja, dan petang. Aku berjalan seolah kau ada disampingku, aku melihat seolah kau yang selalu menjadi objek penglihatanku, aku mendengar seolah kau yang mendengungkan gendang telingaku, aku tertidur seolah kau yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Aku menamainya – dialog maya, sebuah dialog yang terjadi pada “kotak-kota” kecil - antara aku dan kau, karena kita tak pernah menjalaninya di ruang-ruang nyata. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, dialog-dialog maya itu tak pernah berhenti. Menjadi semacam stimulan yang mengubahku dari sedih menjadi senang, dari lemah menjadi kuat, dari lambat menjadi cepat ! – hanya sebuah dialog maya.
*****
Disenja itu, aku mengetuk pintu membawa sebuah harapan berbalut kecemasan, keraguan, dan ketakutan. Kau datang dan mempersilahkanku masuk. Aku duduk dikursi yang telah kau siapkan untuk menyambut setiap tamu – tentu bukan hanya aku. Mengawali pertemuan itu, tak ada sepatah kata pun sanggup ku ucapkan, hanya gerak tak jelas, lirikan tak berarti, dan sesekali memalingkan wajah. Dan kau pun hanya diam ! – angin berhembus menembus lorong-lorong kecil jendela rumah, hinggap disetiap sudut dinding, menelusup hingga ke semua ruang-ruang rumahmu. Seolah, angin itu ingin menyemangati dan menyadarkanku bahwa saat itu bukan lagi dialog maya yang sedang kulewati, bukan lagi “kotak-kotak” kecil yang mengalirkan sapa, tak ada media penghantar kata antara kita, tak ada symbol yang menandakan bahwa dalam setiap sapa ada sedih, ada suka, ada bingung, ada kecewa, dan rasa-rasa lain seperti yang pernah kita alami. Hatiku berteriak, ingin ku ungkap kata yang sudah lama mengendap dalam angan, tapi bibirku kelu, keringat dingin kini deras mengalir disetiap sendi, telalu berat aku menyapamu walau hanya satu kata – satu – dan lagi-lagi kau pun sama, tak lebih hebat dariku, hanya diam membisu, seperti kursi-kursi yang sedang kita duduki, seperti meja-meja, seperti dinding-dinding.
“Apa kabar?” Setelah berjam-jam kita membisu, kata itu yang sanggup ku ungkap
“Alhamduillah” Jawabmu singkat
“Apa yang kau rasakan sekarang” tanyaku
“Tak jelas” Kau menjawab, sangat singkat
Setelah itu, nyaris tak ada lagi percakapan – hanya diam, menunduk, dan kaku – hingga aku berkeinginan secepatnya menamatkan episode perjumpaan ini. Sebuah perjumpaan yang selalu membuatku tak mampu menjelaskan dan menterjemahkan rasa. Padahal, kau sanggup tersenyum dan tertawa lepas saat dialog-dialog maya itu terjadi. Bukankah aku selalu membuatmu terpingkal-pingkal hingga perutmu kesakitan, karena tak letih aku memberimu cerita lucu. Bukankah kau tak pernah menutup diri untuk bercerita apapun yang pernah kau alami, saat sekolah, saat pulang sekolah, saat belajar, saat bermain, saat makan, saat tidur, bahkan saat bangun tidur sembari mengusap mata, kau pun bisa bercerita “tadi aku bermimpi…..” . Tapi pada dialog-dialog nyata itu, kita selalu mengawalinya dengan diam, bisu, dan bingung. Mulut terkunci jangankan untuk tertawa, untuk mengungkap kata pun teramat sulit. Itulah yang terjadi, perjumpaan yang mirip sebuah eksekusi, menegangkan, menakutkan, secepatnya aku ingin berlari – meninggalkan ruang itu, dan berteriak keras, sangat keras untuk melepas kebuntuan.
********
Dihari-hari berikutnya, kita hanya sanggup mengungkap rasa lewat “kota-kotak” kecil yang bisa kita bawa kemanapun kita ada. Seperti tongkat seorang tunanetra, saat “kotak-kotak” kecil itu lupa kita bawa, seperti tak lagi ada dunia – karena hanya itulah yang membuat kita tetap hadir. Dari sana kita mulai terbiasa membuka keakraban, masuk ke ranah-ranah diri, mengenal, dan mentafsirkan. Bahwa ternyata sekian lama yang membuat kita bertahan untuk melanjutkan dialog-dialog maya itu, karena ada kesamaan rasa yang sulit terungkap. Kita memang tak pernah mengungkapnya secara liar, tapi ada semacam magnet detector yang mengarahkan setiap dialog pada titik temu yang sama.
Setiap detik telalui hingga membentang masa yang telampau lama untuk sebuah perkenalan. Anggaplah tak ada lagi sekat yang membatasi keakraban itu, menjadikanku semakin gelisah mengendap-ngendap saat kita harus meluapkan beban. Terlalu lama dan sulit aku memikulnya, lebih berat dari gunung yang menghimpit, lebih keras dari baja yang terbakar, lebih kokoh dari dinding-dinding beton yang menjulang. Sejujurnya, andai kau ada disaat aku memikulnya, kau akan melihat aku sanggup berlari ribuan mil untuk berteriak, melepas kebuntuan dan kepenatan. Seringkali semuanya hanya menjadi sebuah puisi dan syair-syair bak ibarat pujangga, aku menuliskankannya seperti aku merasakannya.
Pada limit akhir kesanggupanku untuk mengendapkannya lebih dalam, aku tak kuasa lagi mempertaruhkan raga, dengan keberanian yang mengalir bebas, aku pun memutuskan mengungkapkannya lagi, dengan harap dan cemas apakah kau akan menyambutnya seperti senyum-senyum yang pernah kau sisipkan dalam hari-hariku.
“ Aku ingin memiliki sebuah rumah, sedari lama hanya sendiri kudiami. Merawatnya, menjaganya, membuatnya menjadi rumah asri kulakukan sendiri. Maukah kau masuk bersinggah, mendiaminya, dan kita akan merawat, menjaga, mempertahankan rumah itu bersama-sama”
Lantas atas pertanyaanku itu, kau menjawab, “Aku hanya sanggup diam”
Aku tersenyum mendengar jawabamu, sebuah jawaban yang lama kunantikan, membuka harapan baru pada hidupku esok. Jawaban itu menjadi awal ku menulis surat baru pada diariku, aku menginginkan yang terbaik pada setiap pilihan. Dan kau lah yang telah meyakinkanku dengan jawaban atas pilihan itu. “Diam” tak berarti kau tak menjawab, tapi ia sebaris kata yang menandakan tak ada penolakan. Kau menyanggupi untuk masuk, singgah, dan menetap dirumah itu – bersamaku – mengakarkan mimpi, menebarkan harapan, melantunkan do’a agar kita tetap merawat, menjaga, dan mempertahankan rumah itu dari bisikan-bisikan yang akan meruntuhkannya.
******
Pohon itu pohon kelapa
Batangnya menjulang tinggi
Akarnya mengakar dalam
Ia berdiri kokoh
Ia tumbuh tanpa siram
Ia hadir tanpa permintaan
Pohon itu pohon kelapa
Memberi manfaat pada alam
Setiap lekuk tubuh tanpa jeda
Tak lelah memberi
Tak letih mewarnai
Tanpa berharap menerima
*****
Aku ingin menganologikan hidup kita seperti pohon kelapa, yang sanggup hadir tanpa disiram, sanggup berkorban untuk memberi dan rela tanpa berharap menerima. Setiap jengkal tubuh bermanfaat, saat dia hidup maupun saat dia pupus. Pohon kelapa tetap memberikannya pada alam – manusia – tanpa lelah, seperti itulah seharusnya kita memberikan apa yang kita punyai, bermanfaat untuk alam.
Kini, “kotak-kotak” kecil sebagai perantara kita membalut mimpi disebuah rumah, telah lama bersemi, jadikanlah ia seperti pohon kelapa, yang tidak hanya hadir, melainkan terus menerus bersemi subur, menghadang batas waktu yang memupuskan nyawanya. Dan itulah do’aku untukmu, untuk kita, agar Tuhan tetap mewarisi kita kesanggupan membawa mimpi-mimpi pada wujud nyata, di ruang-ruang nyata, bukan lagi dialog maya pada sebuah “kotak-kotak” kecil.
Karawang, 16 September 2009
Ikmal Maulana
Mungkin kau ingat ketika Ibrahim ‘menitipkan’ istri dan anaknya pada Tuhan, meninggalkan mereka jauh, dengan haus yang meracuni kerongkongan, dengan lapar yang menusuk-nusuk perut, dengan terik yang membakar kulit – Ibrahim meletakan mereka pada sebuah tempat yang jauh dari mata air, jauh dari semak, jauh dari rimbun – tapi lihatlah, saat-saat tersulit itulah ternyata yang menjadikan goresan sejarah hingga sekarang, membuat semua orang seolah menginginkan untuk terus menerus singgah ditempat itu, melihatnya penuh kerinduan, ketakjuban atas perjuangan seorang Ibrahim menjalankan titah Tuhannya.
Aku tak ingin menyamakan diri dengan Ibrahim, dengan keadaan dan tempat, terlampau jauh. Tetapi, setidaknya,aku hanya hendak menyisipkan pesan, kau bisa merasakan perih dan getir mempertahankan rasa sakit itu, hingga mampu membuahkan keyakinan, kesungguhan, dan keberanian untuk terus menerus bergerak. Itulah yang aku rasakan – sebuah perjuangan mempertahankan rasa yang ‘menyakitkan’ setelah perjumpaan kita – hanya karena kau melintas !. Sepulangnya dari tempat itu, seperti seorang yang kecanduan dan mengalami sakaw berkepanjangan, sejujurnya aku ingin mematikannya, namun tak pernah membuatku berhasil. Setiap kutepis, semakin hadir dengan wujud yang ‘nyata’ – menyeretku pada jurang-jurang yang tak bertepi. Mungkin kau menganggap terlalu berlebihan, mengada-ngada. Kau membuatku ketagihan untuk terus mengenal, menyapa, dan menghadirkankmu dihari-hari berikutnya. Seperti ibrahim mengawali sejarahnya dari ketaatan pada titah Tuhan, aku mengawali mengakarkan harapan pada pertemuan yang luar biasa itu.
*****
"Assalamu'alaikum" - Sebuah salam kukirim sebagai pembuka dialog perkenalanku - lebih tepatnya aku ingin memperkenalkan diri. "Wa'alakikumsalam" - Dan kau pun menjawabnya dengan sederhana sesederhana sapaanku. Itulah dialog awal pertemanan kita, sebuah interaksi miniatur yang kita buat sangat sederhana. Tapi disanalah justru aku mengakarkan mimpi-mimpi kecilku, disanalah aku menyisipi harapan-harapan lampauku yang usang, dan disanalah pula aku mulai mengucap barisan-barisan do'a agar Tuhan tak menjauhkan aku darimu dan dari keadaan yang sudah membuatku menjadi seorang yang baru - Seorang yang aku sendiri tak pernah memahami apa, siapa, bagaimana, dan kenapa - Dan disanalah pula aku menuliskan sepucuk surat untukmu - " Izinkan aku masuk dalam duniamu "
Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung,
Kau dan Aku;
Dalam dua bentuk dan dua wajah — dengan satu jiwa,
Kau dan Aku.
Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian
Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita –
Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita;
Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita –
Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini …
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan –
Kau dan Aku.
( Jalaluddin Rumi )
Kita melanjutkan dialog-dialog mini itu dengan dialog yang lebih bebas, lebih liar, lebih luas. Aku menyapamu disetiap pagi, senja, dan petang. Aku berjalan seolah kau ada disampingku, aku melihat seolah kau yang selalu menjadi objek penglihatanku, aku mendengar seolah kau yang mendengungkan gendang telingaku, aku tertidur seolah kau yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Aku menamainya – dialog maya, sebuah dialog yang terjadi pada “kotak-kota” kecil - antara aku dan kau, karena kita tak pernah menjalaninya di ruang-ruang nyata. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, dialog-dialog maya itu tak pernah berhenti. Menjadi semacam stimulan yang mengubahku dari sedih menjadi senang, dari lemah menjadi kuat, dari lambat menjadi cepat ! – hanya sebuah dialog maya.
*****
Disenja itu, aku mengetuk pintu membawa sebuah harapan berbalut kecemasan, keraguan, dan ketakutan. Kau datang dan mempersilahkanku masuk. Aku duduk dikursi yang telah kau siapkan untuk menyambut setiap tamu – tentu bukan hanya aku. Mengawali pertemuan itu, tak ada sepatah kata pun sanggup ku ucapkan, hanya gerak tak jelas, lirikan tak berarti, dan sesekali memalingkan wajah. Dan kau pun hanya diam ! – angin berhembus menembus lorong-lorong kecil jendela rumah, hinggap disetiap sudut dinding, menelusup hingga ke semua ruang-ruang rumahmu. Seolah, angin itu ingin menyemangati dan menyadarkanku bahwa saat itu bukan lagi dialog maya yang sedang kulewati, bukan lagi “kotak-kotak” kecil yang mengalirkan sapa, tak ada media penghantar kata antara kita, tak ada symbol yang menandakan bahwa dalam setiap sapa ada sedih, ada suka, ada bingung, ada kecewa, dan rasa-rasa lain seperti yang pernah kita alami. Hatiku berteriak, ingin ku ungkap kata yang sudah lama mengendap dalam angan, tapi bibirku kelu, keringat dingin kini deras mengalir disetiap sendi, telalu berat aku menyapamu walau hanya satu kata – satu – dan lagi-lagi kau pun sama, tak lebih hebat dariku, hanya diam membisu, seperti kursi-kursi yang sedang kita duduki, seperti meja-meja, seperti dinding-dinding.
“Apa kabar?” Setelah berjam-jam kita membisu, kata itu yang sanggup ku ungkap
“Alhamduillah” Jawabmu singkat
“Apa yang kau rasakan sekarang” tanyaku
“Tak jelas” Kau menjawab, sangat singkat
Setelah itu, nyaris tak ada lagi percakapan – hanya diam, menunduk, dan kaku – hingga aku berkeinginan secepatnya menamatkan episode perjumpaan ini. Sebuah perjumpaan yang selalu membuatku tak mampu menjelaskan dan menterjemahkan rasa. Padahal, kau sanggup tersenyum dan tertawa lepas saat dialog-dialog maya itu terjadi. Bukankah aku selalu membuatmu terpingkal-pingkal hingga perutmu kesakitan, karena tak letih aku memberimu cerita lucu. Bukankah kau tak pernah menutup diri untuk bercerita apapun yang pernah kau alami, saat sekolah, saat pulang sekolah, saat belajar, saat bermain, saat makan, saat tidur, bahkan saat bangun tidur sembari mengusap mata, kau pun bisa bercerita “tadi aku bermimpi…..” . Tapi pada dialog-dialog nyata itu, kita selalu mengawalinya dengan diam, bisu, dan bingung. Mulut terkunci jangankan untuk tertawa, untuk mengungkap kata pun teramat sulit. Itulah yang terjadi, perjumpaan yang mirip sebuah eksekusi, menegangkan, menakutkan, secepatnya aku ingin berlari – meninggalkan ruang itu, dan berteriak keras, sangat keras untuk melepas kebuntuan.
********
Dihari-hari berikutnya, kita hanya sanggup mengungkap rasa lewat “kota-kotak” kecil yang bisa kita bawa kemanapun kita ada. Seperti tongkat seorang tunanetra, saat “kotak-kotak” kecil itu lupa kita bawa, seperti tak lagi ada dunia – karena hanya itulah yang membuat kita tetap hadir. Dari sana kita mulai terbiasa membuka keakraban, masuk ke ranah-ranah diri, mengenal, dan mentafsirkan. Bahwa ternyata sekian lama yang membuat kita bertahan untuk melanjutkan dialog-dialog maya itu, karena ada kesamaan rasa yang sulit terungkap. Kita memang tak pernah mengungkapnya secara liar, tapi ada semacam magnet detector yang mengarahkan setiap dialog pada titik temu yang sama.
Setiap detik telalui hingga membentang masa yang telampau lama untuk sebuah perkenalan. Anggaplah tak ada lagi sekat yang membatasi keakraban itu, menjadikanku semakin gelisah mengendap-ngendap saat kita harus meluapkan beban. Terlalu lama dan sulit aku memikulnya, lebih berat dari gunung yang menghimpit, lebih keras dari baja yang terbakar, lebih kokoh dari dinding-dinding beton yang menjulang. Sejujurnya, andai kau ada disaat aku memikulnya, kau akan melihat aku sanggup berlari ribuan mil untuk berteriak, melepas kebuntuan dan kepenatan. Seringkali semuanya hanya menjadi sebuah puisi dan syair-syair bak ibarat pujangga, aku menuliskankannya seperti aku merasakannya.
Pada limit akhir kesanggupanku untuk mengendapkannya lebih dalam, aku tak kuasa lagi mempertaruhkan raga, dengan keberanian yang mengalir bebas, aku pun memutuskan mengungkapkannya lagi, dengan harap dan cemas apakah kau akan menyambutnya seperti senyum-senyum yang pernah kau sisipkan dalam hari-hariku.
“ Aku ingin memiliki sebuah rumah, sedari lama hanya sendiri kudiami. Merawatnya, menjaganya, membuatnya menjadi rumah asri kulakukan sendiri. Maukah kau masuk bersinggah, mendiaminya, dan kita akan merawat, menjaga, mempertahankan rumah itu bersama-sama”
Lantas atas pertanyaanku itu, kau menjawab, “Aku hanya sanggup diam”
Aku tersenyum mendengar jawabamu, sebuah jawaban yang lama kunantikan, membuka harapan baru pada hidupku esok. Jawaban itu menjadi awal ku menulis surat baru pada diariku, aku menginginkan yang terbaik pada setiap pilihan. Dan kau lah yang telah meyakinkanku dengan jawaban atas pilihan itu. “Diam” tak berarti kau tak menjawab, tapi ia sebaris kata yang menandakan tak ada penolakan. Kau menyanggupi untuk masuk, singgah, dan menetap dirumah itu – bersamaku – mengakarkan mimpi, menebarkan harapan, melantunkan do’a agar kita tetap merawat, menjaga, dan mempertahankan rumah itu dari bisikan-bisikan yang akan meruntuhkannya.
******
Pohon itu pohon kelapa
Batangnya menjulang tinggi
Akarnya mengakar dalam
Ia berdiri kokoh
Ia tumbuh tanpa siram
Ia hadir tanpa permintaan
Pohon itu pohon kelapa
Memberi manfaat pada alam
Setiap lekuk tubuh tanpa jeda
Tak lelah memberi
Tak letih mewarnai
Tanpa berharap menerima
*****
Aku ingin menganologikan hidup kita seperti pohon kelapa, yang sanggup hadir tanpa disiram, sanggup berkorban untuk memberi dan rela tanpa berharap menerima. Setiap jengkal tubuh bermanfaat, saat dia hidup maupun saat dia pupus. Pohon kelapa tetap memberikannya pada alam – manusia – tanpa lelah, seperti itulah seharusnya kita memberikan apa yang kita punyai, bermanfaat untuk alam.
Kini, “kotak-kotak” kecil sebagai perantara kita membalut mimpi disebuah rumah, telah lama bersemi, jadikanlah ia seperti pohon kelapa, yang tidak hanya hadir, melainkan terus menerus bersemi subur, menghadang batas waktu yang memupuskan nyawanya. Dan itulah do’aku untukmu, untuk kita, agar Tuhan tetap mewarisi kita kesanggupan membawa mimpi-mimpi pada wujud nyata, di ruang-ruang nyata, bukan lagi dialog maya pada sebuah “kotak-kotak” kecil.
Karawang, 16 September 2009
Ikmal Maulana
0 komentar:
Posting Komentar