Berapa banyak jam yang pernah kita enyam di bangku sekolah dan kuliah ? berjam-jam, bahkan saya tak mampu menghitung secara akurat berapa jam yang pernah dihabiskan sekedar duduk mendengarkan guru dan dosen membincangkan materi pelajaran. Dan bahkan saya sulit menebak berapa jam yang sudah dihabiskan sekedar diskusi menjejalkan ilmu yang dipaksa masuk ke otak serba terbatas ini.
Berapa ekesemplar buku dan diktat yang sudah kita baca. Lantas dari buku itu seolah dunia terbuka lebar menyapa. Diperkenalkan kita dengan keragaman bahasa, budaya, karakteristik sosial. Halaman demi halaman yang mempertemukan kita pada pemahaman mendasar sebuah sains pun didapat dari buku-buku itu. Mungkin saya ataupun kau merasa sudah cukup dengan dialog-dialog statis dari setiap lembar buku yang dibaca. Pada gilirannya, kita menapikan bahwa ada halaman lain yang belum sempat kita baca, ada lembar lain yang belum memperkenalkan kita pada hamparan ilmu lain.
Berapa uang yang sudah kita keluarkan untuk waktu berjam-jam itu. Berapa uang yang sudah kita keluarkan untuk buku setebal itu. Dan lagi-lagi saya sulit menghitung secara riil nominal rupiah yang sudah dihabiskan untuk menghidupi gedung sekolah, membayar gaji guru, membeli buku, belum termasuk uang makan, uang transport, dan uang-uang lain yang berkali-kali lagi dalam hal ini saya sulit mengestimasikan akun-akun pengeluaran untuk waktu berjam-jam itu, untuk berlembar-lembar buku itu, untuk uang-uang lain yang dikeluarkan semasa proses itu berlangsung. Entah, uangnya dari mana, jumlahnya berapa, tapi yang pasti saya dan tentu kau pun sepakat, nominal itu tidak kecil
Selepas kita menghempaskan kursi sekolah, kursi kuliah pun kita enyam, bertahun-tahun lamanya, hingga limit terakhir yang membatasi sebagai mahasiswa dan alumnus pun kita lalui. Sejarah terus berulang, kita menjadi bagian yang berhasil menamatkan jenjang kesarajanaan dan berhak menyisipkan gelar dibelakang nama sesuai kompetensi akademik yang diambil, amboooi… bangga rasanya.
------------
SMS inbox : “ mal, saya bingung selepas wisuda harus ngapain, perasaan keahlian yang saya miliki tidak sepadan dengan kebutuhan dunia riil yang menuntut saya “.
-----------
Ah, sekedar noslatgia, betapa bangganya saya menjadi seorang mahasiswa, menenteng buku tebal dengan bahasa yang sejujurnya saya sendiri tidak pernah tahu inti konsepsinya, setiap hari menghabiskan waktu dengan konsep teoritis yang lagi-lagi sejujurnya membosankan.
Sejam selepas wisuda, saya simpan toga dilemari berikut ijazah dan traskip nilai. Saya pandangi selebar kertas yang sering kita ibaratkan surat berharga untuk membuktikan bahwa kita seolah pantas masuk dalam kelompok akademisi, intelek, ilmuwan.
Lalu, setelah proses yang dilalui itu berakhir, tertutuplah pintu kelas untuk mengikuti jam kuliah, tak ada barisan nama yang berjejer di absensi, tak lagi ada anggaran belanja buku, dan tentu tak ada lagi tagihan biaya SKS setiap akhir semester .
Pertanyaan teman saya mungkin menjadi pertanyaan yang obral bagi ratusan bahkan ribuan sarjana-sarjana lain di seluruh pelosok negeri. Menjadi bingung dengan skill yang sangat minimalis – sebenarnya bisa di interpterasikan dengan tak memiliki keahlian lebih.
Berjalan seorang pria muda
Dengan jaket lusuh dipundaknya
Di sela bibir tampak mengering
Terselip s'batang rumput liar
Jelas menatap awan berarak
Wajah murung s'makin terlihat
Dengan langkah gontai tak terarah
Keringat bercampur di jalanan
Engkau sarjana muda resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Tuk jaminan masa depan
Engkau sarjana muda resah tak dapat kerja
Tak berguna ijasahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Sia sia semuanya
( Sarjana Muda – Iwan Fals )
1981 – Iwan Fals menulis dan mempopulerkan lagu “Sarjana Muda”. Dalam arti yang bisa kita analogikan, berarti sejak tahun-tahun lampau pun – mungkin ditahun-tahun sebelum lirik itu dibuat – fenomena SMS Inbox yang menyiratkan betapa seorang sarjana pun merasa hidupnya seperti “cibiran” oleh diri sendiri sudah mengendap lama. Bukan orang lain yang menyuarakan itu, bukan guru, bukan dosen, bukan siapapun. Jeritan itu terkuak atas kebuntuan yang sulit di tuntaskan.Teriakan penyesalan selama bertahun-tahun lamanya merajut mimpi tak jua bertemu tepi.
Menjawab SMS inbox itu, saya hanya ingin berpendapat sebebas saya makan dan minum. Dan kau boleh menyanggah dengan argumentasi apapun, alasan apapun, dan konsep teori apapun.
----------------------------------
Bisakah kita hidup sebagai manusia yang tercerahkan oleh ilmu. Setiap langkah yang dipijak, setiap kata yang terucap, setiap fikiran yang tersirat. Makan pun ada ilmunya, minum pun ada ilmunya, berkendaraan pun ada ilmunya, berdagang pun ada ilmunya. Sehari-hari kita dijejali dengan ilmu yang tanpa disadari sudah menjelma dalam ruang dan gerak. Lembar kertas yang dibaca, media komunikasi yang di pakai, rumah dan kampung yang ditempati, semuanya berkas-berkas ilmu tak terbatas.
Lalu, bagaimana dengan bersekolah ? Mungkinkah kita menjadi siswa dan mahasiswa selama sepanjang hidup. Karena proses berlangsung dengan prosedure dan ketentuan berlaku dimana pada titik tertentu kita pun mesti melepas jas dan almamater yang dibanggakan. Selepas wisuda sebagai symbolik ceremonial yang mengisyaratkan bahwa kita telah menuntaskan perjuangan besar merambati waktu dengan sejuta impian dan harapan masa depan. Pada limit itulah kita mulai sadar bahwa ternyata ilmu tak seharusnya dibatasi ruang, tempat, dan waktu.
Ada ilmu-ilmu lain yang belum sempat kita jamah. Ada berkas-berkas lain yang belum sempat kita buka. Ada halaman-halaman lain yang belum sempat kita baca. Lebih tebal dari deretan diktat-diktat kuliah, lebih panjang dari teori-teori dikelas, lebih lama dari jam-jam sekolah. Seharusnya semenjak dibangku kelas kita tak membatasi diri untuk menyemai setiap ilmu. Sepantasnya kita haus tak hanya nilai dan grade, melainkan sebuah empiris - pengalaman implementatif.
Terbukti, banyak ketuntasan-ketuntasan kebuntuan yang ternyata lebih efektif dilakukan dengan spirit empiris. Pengalaman menomorsatukan skill dibanding ilmu-ilmu teoritis.
--------------------------
Kisah Profesor Kodok
Suatu hari disebuah petak empang, Sekor kodok melintas dan diam dibatu tak jauh dari tepi empang. Seorang kemudian bertanya, kira-kira berapa loncatan yang dibutuhkan kodok untuk sampai ke tepi empang. Ditempat itu, ada seorang professor yang mencoba menjawab pertanyaan yang menurutnya terlalu mudah. Ia ukur jarak batu tempat kodok diam ke ujung tepi empang. Kemudian ia ukur panjang kaki kodok dan mencoba memperkirakan berapa jarak sekali loncatan yang bisa dilakukannya. Setelah selesai dengan rumus-rumus matematis, professor pun dengan yakin menjawab bahwa kodok itu akan melakukan 4 loncatan untuk sampai ke tepian empang.
Jawaban professor disanggah oleh seorang bocah kecil. Mendengar jawabannya disanggah, professor tentu geram dan mempertanyakan alasan logis dan ilmiah untuk membuktikan sanggahan itu. Lantas bocah itu menjawab : “ Kodok itu meloncat hanya 1 loncatan saja “. Masih dengan perasaan kesal, professor pun kembali mempertanyakan alasan atas jawaban itu. “Kenapa bisa satu loncatan ini tidak logis, jarak batu ke tepi panjang, dan kaki kodok tak mungkin bisa merambah hingga ke sana kalau hanya satu loncatan.
Lalu sang bocah menjawab dengan santai “ Pa, terang saja kodok meloncat 1 kali loncatan, orang setiap hari saya lihat, ia meloncat sekali kemudian ia berenang untuk sampai ketepian. Mendengar jawaban itu, professor garuk-garuk kepala ( bukan rambut ).
-----------------
Itu hanya anekdot sederhana saja, betapa terkadang kemahiran pengusaan sains pun semestinya mampu menyerap kapling-kapling pengalaman. Jawaban Profesor dengan kepintarannya menghitung ternyata bisa dimentahkan oleh argumentasi bocah kecil yang secara intelektualitas jauh lebih rendah dibanding professor. Tapi lihatlah, jawabnya memang logis, masuk akal. Ia menjawab berdasarkan empiris ( pengalaman ) nyaris tak menyentuh kavling sains.
Kita terlalu dini menyebut bahwa sukses berbanding lurus dengan wawasan. Itu belum cukup, masih banyak potensi-potensi lain yang mendukung jalan keberhasilan. Sulit kita tapikan banyak fakta menggambarkan betapa pengalaman seringkali menempati urutan pertama dari jalan-jalan sukses.
Pada gilirannya, saat-saat kita tak mampu menggabungkan spirit sains dan spirit empiris, kebuntuan diawal-awal penuntasan perjuangan di bangku kelas seringkali menjelma menjadi sosok yang paling ditakutkan. Akademisi pengangguran, menjadi masalah klasik di negeri terinta ini. Dari beberapa sumber saya mengutip angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9,43 juta jiwa(8,46 persen). Badan Pusat Statistik melakukan survei tenaga kerja setiap Februari dan Agustus setiap tahunnya.
Sesuai survei, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Arizal Ahnaf di Jakarta, menjelaskan, pengangguran terbuka didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 17,26 persen dari jumlah penganggur. Kemudian disusul lulusan Sekolah Menengah Atas (14,31 persen), lulusan universitas 12,59 persen, diploma 11,21 persen, baru lulusan SMP 9,39 persen dan SD ke bawah 4,57 persen.
Arizal melanjutkan, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal masih mendominasi angkatan kerja nasional. Survei menunjukkan, per Agustus terdapat 71,35 juta jiwa pekerja yang bekerja di sektor informal, dari total 102,55 juta jiwa angkatan kerja.
Di antara sektor informal yang banyak menyerap tenaga kerja, bidang usaha jasa kemasyarakatan menjadi salah satu yang terbesar. "Yang dominan di rumah tangga, pertukangan, dan cleaning service," kata Arizal. Dibandingkan dengan Agustus 2007, jasa kemasyarakatan memang meningkat paling besar dalam penyediaan lapangan kerja dengan kenaikan pekerja 1,08 juta jiwa.
Namun, terdapat pula sektor informal yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja yaitu pertanian. Pada Februari 2008, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian adalah 42,69 juta jiwa, sedangkan pada Agustus menurun menjadi 41,33 juta jiwa. "Tapi ini hanya faktor musiman. Pada Februari pekerja di sektor pertanian bertambah karena sedang masa panen," jelas Arizal.
-----------------
Langkah kakimu terhenti didepan halaman sebuah jawatan
Termenung lesu engkau melangkah
Dari pintu kantor yang diharapkan
Terngiang kata tiada lowongan
Untuk kerja yang didambakan
Tak perduli berusaha lagi
Namun kata sama kau dapatkan
Jelas menatap awan berarak
Wajah murung s'makin terlihat
( Sarjana Muda – Iwan Fals )
Bersekolahlah segiat kau menghembuskan nafas, dan amalkan ilmu sebatas kau mampu mengamalkan. Agar ilmu terus tersemai, agar cahanya terus mewarnai, agar buahnya terasakan oleh seluruh insan.
Tak harus di kantor untuk mengamalkan ilmu, tak harus di pabrik untuk menterjemahkan ilmu.
Sekali lagi, semua ini hanya sebuah interpretasi bebas, sebebas saya menghirup oksigen, dan kau boleh menyanggahnya dengan argumentasi apapun, dengan alasan apapun, dengan referensi apapun.
Karawang, 04 Des 2009
Ikmal Maulana
Berapa ekesemplar buku dan diktat yang sudah kita baca. Lantas dari buku itu seolah dunia terbuka lebar menyapa. Diperkenalkan kita dengan keragaman bahasa, budaya, karakteristik sosial. Halaman demi halaman yang mempertemukan kita pada pemahaman mendasar sebuah sains pun didapat dari buku-buku itu. Mungkin saya ataupun kau merasa sudah cukup dengan dialog-dialog statis dari setiap lembar buku yang dibaca. Pada gilirannya, kita menapikan bahwa ada halaman lain yang belum sempat kita baca, ada lembar lain yang belum memperkenalkan kita pada hamparan ilmu lain.
Berapa uang yang sudah kita keluarkan untuk waktu berjam-jam itu. Berapa uang yang sudah kita keluarkan untuk buku setebal itu. Dan lagi-lagi saya sulit menghitung secara riil nominal rupiah yang sudah dihabiskan untuk menghidupi gedung sekolah, membayar gaji guru, membeli buku, belum termasuk uang makan, uang transport, dan uang-uang lain yang berkali-kali lagi dalam hal ini saya sulit mengestimasikan akun-akun pengeluaran untuk waktu berjam-jam itu, untuk berlembar-lembar buku itu, untuk uang-uang lain yang dikeluarkan semasa proses itu berlangsung. Entah, uangnya dari mana, jumlahnya berapa, tapi yang pasti saya dan tentu kau pun sepakat, nominal itu tidak kecil
Selepas kita menghempaskan kursi sekolah, kursi kuliah pun kita enyam, bertahun-tahun lamanya, hingga limit terakhir yang membatasi sebagai mahasiswa dan alumnus pun kita lalui. Sejarah terus berulang, kita menjadi bagian yang berhasil menamatkan jenjang kesarajanaan dan berhak menyisipkan gelar dibelakang nama sesuai kompetensi akademik yang diambil, amboooi… bangga rasanya.
------------
SMS inbox : “ mal, saya bingung selepas wisuda harus ngapain, perasaan keahlian yang saya miliki tidak sepadan dengan kebutuhan dunia riil yang menuntut saya “.
-----------
Ah, sekedar noslatgia, betapa bangganya saya menjadi seorang mahasiswa, menenteng buku tebal dengan bahasa yang sejujurnya saya sendiri tidak pernah tahu inti konsepsinya, setiap hari menghabiskan waktu dengan konsep teoritis yang lagi-lagi sejujurnya membosankan.
Sejam selepas wisuda, saya simpan toga dilemari berikut ijazah dan traskip nilai. Saya pandangi selebar kertas yang sering kita ibaratkan surat berharga untuk membuktikan bahwa kita seolah pantas masuk dalam kelompok akademisi, intelek, ilmuwan.
Lalu, setelah proses yang dilalui itu berakhir, tertutuplah pintu kelas untuk mengikuti jam kuliah, tak ada barisan nama yang berjejer di absensi, tak lagi ada anggaran belanja buku, dan tentu tak ada lagi tagihan biaya SKS setiap akhir semester .
Pertanyaan teman saya mungkin menjadi pertanyaan yang obral bagi ratusan bahkan ribuan sarjana-sarjana lain di seluruh pelosok negeri. Menjadi bingung dengan skill yang sangat minimalis – sebenarnya bisa di interpterasikan dengan tak memiliki keahlian lebih.
Berjalan seorang pria muda
Dengan jaket lusuh dipundaknya
Di sela bibir tampak mengering
Terselip s'batang rumput liar
Jelas menatap awan berarak
Wajah murung s'makin terlihat
Dengan langkah gontai tak terarah
Keringat bercampur di jalanan
Engkau sarjana muda resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Tuk jaminan masa depan
Engkau sarjana muda resah tak dapat kerja
Tak berguna ijasahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Sia sia semuanya
( Sarjana Muda – Iwan Fals )
1981 – Iwan Fals menulis dan mempopulerkan lagu “Sarjana Muda”. Dalam arti yang bisa kita analogikan, berarti sejak tahun-tahun lampau pun – mungkin ditahun-tahun sebelum lirik itu dibuat – fenomena SMS Inbox yang menyiratkan betapa seorang sarjana pun merasa hidupnya seperti “cibiran” oleh diri sendiri sudah mengendap lama. Bukan orang lain yang menyuarakan itu, bukan guru, bukan dosen, bukan siapapun. Jeritan itu terkuak atas kebuntuan yang sulit di tuntaskan.Teriakan penyesalan selama bertahun-tahun lamanya merajut mimpi tak jua bertemu tepi.
Menjawab SMS inbox itu, saya hanya ingin berpendapat sebebas saya makan dan minum. Dan kau boleh menyanggah dengan argumentasi apapun, alasan apapun, dan konsep teori apapun.
--------------------------
Bisakah kita hidup sebagai manusia yang tercerahkan oleh ilmu. Setiap langkah yang dipijak, setiap kata yang terucap, setiap fikiran yang tersirat. Makan pun ada ilmunya, minum pun ada ilmunya, berkendaraan pun ada ilmunya, berdagang pun ada ilmunya. Sehari-hari kita dijejali dengan ilmu yang tanpa disadari sudah menjelma dalam ruang dan gerak. Lembar kertas yang dibaca, media komunikasi yang di pakai, rumah dan kampung yang ditempati, semuanya berkas-berkas ilmu tak terbatas.
Lalu, bagaimana dengan bersekolah ? Mungkinkah kita menjadi siswa dan mahasiswa selama sepanjang hidup. Karena proses berlangsung dengan prosedure dan ketentuan berlaku dimana pada titik tertentu kita pun mesti melepas jas dan almamater yang dibanggakan. Selepas wisuda sebagai symbolik ceremonial yang mengisyaratkan bahwa kita telah menuntaskan perjuangan besar merambati waktu dengan sejuta impian dan harapan masa depan. Pada limit itulah kita mulai sadar bahwa ternyata ilmu tak seharusnya dibatasi ruang, tempat, dan waktu.
Ada ilmu-ilmu lain yang belum sempat kita jamah. Ada berkas-berkas lain yang belum sempat kita buka. Ada halaman-halaman lain yang belum sempat kita baca. Lebih tebal dari deretan diktat-diktat kuliah, lebih panjang dari teori-teori dikelas, lebih lama dari jam-jam sekolah. Seharusnya semenjak dibangku kelas kita tak membatasi diri untuk menyemai setiap ilmu. Sepantasnya kita haus tak hanya nilai dan grade, melainkan sebuah empiris - pengalaman implementatif.
Terbukti, banyak ketuntasan-ketuntasan kebuntuan yang ternyata lebih efektif dilakukan dengan spirit empiris. Pengalaman menomorsatukan skill dibanding ilmu-ilmu teoritis.
--------------------------
Kisah Profesor Kodok
Suatu hari disebuah petak empang, Sekor kodok melintas dan diam dibatu tak jauh dari tepi empang. Seorang kemudian bertanya, kira-kira berapa loncatan yang dibutuhkan kodok untuk sampai ke tepi empang. Ditempat itu, ada seorang professor yang mencoba menjawab pertanyaan yang menurutnya terlalu mudah. Ia ukur jarak batu tempat kodok diam ke ujung tepi empang. Kemudian ia ukur panjang kaki kodok dan mencoba memperkirakan berapa jarak sekali loncatan yang bisa dilakukannya. Setelah selesai dengan rumus-rumus matematis, professor pun dengan yakin menjawab bahwa kodok itu akan melakukan 4 loncatan untuk sampai ke tepian empang.
Jawaban professor disanggah oleh seorang bocah kecil. Mendengar jawabannya disanggah, professor tentu geram dan mempertanyakan alasan logis dan ilmiah untuk membuktikan sanggahan itu. Lantas bocah itu menjawab : “ Kodok itu meloncat hanya 1 loncatan saja “. Masih dengan perasaan kesal, professor pun kembali mempertanyakan alasan atas jawaban itu. “Kenapa bisa satu loncatan ini tidak logis, jarak batu ke tepi panjang, dan kaki kodok tak mungkin bisa merambah hingga ke sana kalau hanya satu loncatan.
Lalu sang bocah menjawab dengan santai “ Pa, terang saja kodok meloncat 1 kali loncatan, orang setiap hari saya lihat, ia meloncat sekali kemudian ia berenang untuk sampai ketepian. Mendengar jawaban itu, professor garuk-garuk kepala ( bukan rambut ).
-----------------
Itu hanya anekdot sederhana saja, betapa terkadang kemahiran pengusaan sains pun semestinya mampu menyerap kapling-kapling pengalaman. Jawaban Profesor dengan kepintarannya menghitung ternyata bisa dimentahkan oleh argumentasi bocah kecil yang secara intelektualitas jauh lebih rendah dibanding professor. Tapi lihatlah, jawabnya memang logis, masuk akal. Ia menjawab berdasarkan empiris ( pengalaman ) nyaris tak menyentuh kavling sains.
Kita terlalu dini menyebut bahwa sukses berbanding lurus dengan wawasan. Itu belum cukup, masih banyak potensi-potensi lain yang mendukung jalan keberhasilan. Sulit kita tapikan banyak fakta menggambarkan betapa pengalaman seringkali menempati urutan pertama dari jalan-jalan sukses.
Pada gilirannya, saat-saat kita tak mampu menggabungkan spirit sains dan spirit empiris, kebuntuan diawal-awal penuntasan perjuangan di bangku kelas seringkali menjelma menjadi sosok yang paling ditakutkan. Akademisi pengangguran, menjadi masalah klasik di negeri terinta ini. Dari beberapa sumber saya mengutip angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9,43 juta jiwa(8,46 persen). Badan Pusat Statistik melakukan survei tenaga kerja setiap Februari dan Agustus setiap tahunnya.
Sesuai survei, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Arizal Ahnaf di Jakarta, menjelaskan, pengangguran terbuka didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 17,26 persen dari jumlah penganggur. Kemudian disusul lulusan Sekolah Menengah Atas (14,31 persen), lulusan universitas 12,59 persen, diploma 11,21 persen, baru lulusan SMP 9,39 persen dan SD ke bawah 4,57 persen.
Arizal melanjutkan, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal masih mendominasi angkatan kerja nasional. Survei menunjukkan, per Agustus terdapat 71,35 juta jiwa pekerja yang bekerja di sektor informal, dari total 102,55 juta jiwa angkatan kerja.
Di antara sektor informal yang banyak menyerap tenaga kerja, bidang usaha jasa kemasyarakatan menjadi salah satu yang terbesar. "Yang dominan di rumah tangga, pertukangan, dan cleaning service," kata Arizal. Dibandingkan dengan Agustus 2007, jasa kemasyarakatan memang meningkat paling besar dalam penyediaan lapangan kerja dengan kenaikan pekerja 1,08 juta jiwa.
Namun, terdapat pula sektor informal yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja yaitu pertanian. Pada Februari 2008, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian adalah 42,69 juta jiwa, sedangkan pada Agustus menurun menjadi 41,33 juta jiwa. "Tapi ini hanya faktor musiman. Pada Februari pekerja di sektor pertanian bertambah karena sedang masa panen," jelas Arizal.
-----------------
Langkah kakimu terhenti didepan halaman sebuah jawatan
Termenung lesu engkau melangkah
Dari pintu kantor yang diharapkan
Terngiang kata tiada lowongan
Untuk kerja yang didambakan
Tak perduli berusaha lagi
Namun kata sama kau dapatkan
Jelas menatap awan berarak
Wajah murung s'makin terlihat
( Sarjana Muda – Iwan Fals )
Bersekolahlah segiat kau menghembuskan nafas, dan amalkan ilmu sebatas kau mampu mengamalkan. Agar ilmu terus tersemai, agar cahanya terus mewarnai, agar buahnya terasakan oleh seluruh insan.
Tak harus di kantor untuk mengamalkan ilmu, tak harus di pabrik untuk menterjemahkan ilmu.
Sekali lagi, semua ini hanya sebuah interpretasi bebas, sebebas saya menghirup oksigen, dan kau boleh menyanggahnya dengan argumentasi apapun, dengan alasan apapun, dengan referensi apapun.
Karawang, 04 Des 2009
Ikmal Maulana
0 komentar:
Posting Komentar