Sabtu, 05 Desember 2009

Terlambat !


Terlahir dari keluarga yang tak berada – lebih tepatnya miskin – membuatku selalu merasa kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bapak hanya seorang kuli angkut dipasar, sedangk an ibu, sisa-sisa waktunya mengurus keluarga, dia pergunakan untuk berjualan gorengan keliling kampung. Diusia remaja yang seharusnya sarat dengan keakraban dunia muda, hidup bermanja-manja, bermain sehari semalam bersama teman-teman, menghabiskan hari-hari dengan suka cita, tawa, dan poya-poya, tapi semua itu tak pernah kuraih. Kadang melirik iri teman-temanku disekolah, bepergian bebas dengan motor sport, berbusana tren pakaian terbaru, dan sesekali party ditempat-tempat mewah. Mereka tertawa lepas seolah tak ada beban yang mereka pikul, berkumpul di kantin makan makanan yang mahal, bersenda gurau sambil sesekali menggoda gadis-gadis cantik yang melintas.


Aku, hanya seorang anak kuli yang hidup penuh kekurangan menempati gubuk reot berdindingkan bilik lusuh. Anak tunggal dari pasangan Ibu dan Bapak yang sama-sama terlahir dalam keadaan yang miskin. Hingga aku berkesimpulan, apakah takdir yang sudah membatasi hidup sesulit ini. Saat sebagian teman-teman bersekolah mengendarai motor, mobil, sedangkan aku hanya berjalan kaki. Saat sebagian teman-teman menggunakan separuh waktu di sekolah dengan nongkrong di jalanan, bercengkarama ria, tertawa riang, tapi aku harus secepatnya pulang ke rumah membantu ayah menjadi kuli dipasar, katanya biar ada penghasilan tambahan untuk membiayaiku sekolah. Malam-malam kuhabiskan hanya berbekal selimut kumal dan bergaul dengan anak-anak kampung yang norak dan kampungan, tidur beralaskan tikar yang bau dan semakin hari semakin menghitam.

Sejujurnya aku membenci keadaan seperti ini. Hati berontak, nalar tak pernah membuat persinggungan positif terhadap ruang nyata, seperti seorang yang meronta-ronta meminta belas kasihan, aku merasa hidup ini sangat sempit. Atas keadaan yang serba kekurangan, ibu dan bapak selalu mengajarkanku inti kesabaran, berbuat apa adanya sesuai apa yang kita dapatkan sekarang.

“Kita harus sabar dri, belajar hidup prihatin” Ibu menasehatiku
“Tapi kan sabar ada batasnya bu” balasku

Atas bantahan yang kusampaikan, ibu tak pernah memperpanjang peracakapan itu. Dia hanya diam, meninggalkanku dengan seribu kebimbangan. Hidup memang tak melulu urusan materi, ada nilai dibalik keadaan yang kita terima. Tapi nasehat seperti itu, tak lagi membuatku tersadar dari lantai tempatku berpijak. Seolah, aku menolak keras keprihatinan ini, anganku melintas sangat jauh melewati kesanggupan. Aku ingin seperti mereka ! itulah yang tertancap keras dalam benak dan khayalanku. Hasratku membabi buta hingga tak mampu menterjemahkan arti sebuah hidup, mimpi, dan rizki.

‘Tuhan memberi apa yang kita butuhkan” Ayah mencoba membela ibu

Aku tak berminat melanjutkan dialog menyebalkan itu. Seperti biasa, kekesalan-kekesalan yang mengurungkan malam-malam, ku obati dengan membanting pintu, keluar rumah, begadang semalaman, bernyanyi-nyanyi di pos ronda besama teman-teman kampung, hingga keesokan harinya. Kemudian aku pun akan pulang dengan tampang murung, mencuri perhatian mereka agar mereka memahami bahwa tak selamanya kesabaran harus bersemayam di kalbu-kalbu remaja. Mereka butuh kebebasan dan kecukupan materi untuk melampiaskan naluri-naluri mudanya. Tapi, hampir seperti hari-hari yang lain, mereka hanya diam, seolah membiarkanku jauh ke jurang penyesalan atas takdir.

******

“Besok kita ngadain party di rumahnya Ratna, mau ikut dri” Ajak Dimas saat pulang sekolah
“Teman-teman sekelas mau ikut semua lho” Dewi menimpali. Seolah ingin meyakinkanku bahwa, pasti menyesal jika melewatkan acara ini.
“Ayolah, sekali-kali gaul, jangan kuper dong” Dimas melanjutkan. Dia seperti ingin menunjukan padaku bahwa identitas anak gaul, ya harus mau ikut party, dalam hati aku pun mengiyakan opini bodohnya itu.
“Jam berapa” Tanyaku
“Biasa, kita kumpul jam sembilan malem” Jawab Dimas
“Oooh, aku usahain ya” Jawabku.

Antara keinginan dan ketakutan, hatiku berteriak, jiwaku menolak.Party? ah, acara yang selalu kulewatkan, nyaris tak pernah kusinggahi. Bukan karena aku alergi dan membenci hura-hura, karena sejujurnya aku menyukainya. Tapi lagi-lagi, ini masalah kredibilitas, kehormatan, styles. Untuk party, aku harus menyiapkan baju khusus yang memang berbeda dengan kostum-kostum lain yang pernah kugunakan. Mana punya aku baju mewah seperti itu, yang ku punya hanya kostum bola, kaos kumal, dan baju seragam sekolah. Orang tuaku konon tak pernah mampu untuk membelikanku baju baru. Untuk makan saja sulit – katanya – tapi aku tak pernah memahaminya, yang ku tahu kita membutuhkan hal-hal baru, menarik, dan sedikit nyentrik untuk bisa leluasa mempertontonkan identitas, agar lebih percaya diri, tidak minder, dan tidak di cap anak kuper – Sumpah ! kata yang sangat kusesali.

Dengan ajakan yang sebenarnya lebih pantas disebut sebagai tantangan – tantangan apakah aku memang layak diacungi jempol sebagai anak gaul atau anak kuper – aku bertekad untuk tidak menyia-nyiakannya. Sepulang sekolah, seperti hari-hari yang biasa kulewati, masuk ke rumah tanpa sapa, membuang tas ke sudut rumah, membuka sepatu dan membiarkannya di bawah kursi tua diteras rumah, menggantungkan baju sekolah di pagar rumah, hingga ibuku sendiri yang berinisiatif untuk menyimpan sepatu kedalam dan menggantungkan baju ke paku-paku yang terpasang di tiang-tiang rumah. Tanpa basa-basi seperti seorang anak yang menginginkan pemenuhan atas permintaanya, aku memanggil ibuku.
“Ada apa dri? “ tanya ibu
‘Ibu punya simpenan uang?” tanyaku dengan nada ketus
“Buat apa”
“Punya tidak” Tanyaku kembali
“Ada, tapi untuk modal dagang besok”
“Berapa?”
“Buat apa sih, beli buku lagi”
“Bu, aku minta 50 ribu”
“Uang segitu ibu tidak pegang” Jawab ibu sambil mengerenyitkan dahi, mungkin ia keheranan
“Buat apa uang sebanyak itu?” tanyanya lagi
“Aku mau beli baju baru bu” Jawabku dengan tak menoleh sedikiktpun padanya
“Ibu cuma pegang 15 ribu, sisa dari belanjaan untuk dagangan besok”

Tiba-tiba ayah pulang, melihat percakapan kami yang mungkin tidak biasa, ayah turut serta mengikutinya

“Ada apa sih, ko ribut-ribut”
“Ini pak, Ardi minta uang 50 ribu, buat beli baju katanya” Jawab ibu
“Baju buat apa dri, bukannya bajumu masih bisa digunakan” Ayah menimpali
“Aku mau ikut pesta sama teman-teman besok, masa pesta pake baju kumal” Jawabku, masih dengan nada ketus.
“Coba kamu fikir ndri, uang segitu untuk ukuran kita terlampau mahal”
“Aku tau, tapi kan engga tiap hari ini pak” Aku menjawab, melakukan pembelaan atas permintaan yang mulai dipermasalahkan ini.
“Terus….?” Ayah bertanya
“Pokoknya, aku tak mau bersekolah lagi kalau permintaanku ini tidak di penuhi” Aku mulai mengancam

Ayah diam, dia hembuskan nafas panjang, aku tau dibenaknya kecewa dengan dialog-dialog itu. Ia menolah pada ibu, ibu pun sama, dengan tatapan kosong memandang ayah dan sesekali melirikku.

“Ibu ada simpenan” Tanya bapak
“Ada, tapi cuma 15 ribu, ini pun untuk modal kita dagang besok”
“Ya udah kasih aja, bapak ada 30 ribu”
“Bapak masih ada simpenan, untuk makan nanti malam?” Tanya ibu
“Kita bikin nasi goreng saja, masih cukup kan nasi kemarin”

Akhirnya, dengan perjuangan keras dan susah payah mempertahankan argumentasi, pembelaan, dan sedikit pemaksaan permintaanku kali ini terpenuhi – walau itu harus mengorbankan sisa-sisa modal dagang ibu, dan membuat mereka makan nasi sisa. Tanpa kata, atau sekedar ucapan terima kasih, aku ambil uang yang disodorkan ibu, secepatnya pergi menuju pasar, memilih-milih baju terbaru, lalu membelinya.

Keseokan harinya, menjadi hari yang menggairahkan, dengan cerita, dengan canda, mengungkap kenangan yang tercipta dari pesta semalam. Aku kini hadir diantara mereka, seolah dadaku membusung karena telah mampu membuktikan bahwa aku bukan lagi anak kuper seperti yang mereka kira. Dalam hati aku merasa puas, bukan saja karena aku sudah melewati pesta yang hingar bingar sarat hura-hura – tapi menurutku itu mengasyikan – melainkan dipesta itu aku mengenal sosok yang telah membuat mataku selalu tertuju padanya, membuat jantungku menjadi berdetak sangat kencang saat menyapanya, membuat aku seperti terbang ke awan saat ia lempar sekulum senyuman. Perempuan itu telah mencuri hatiku, hingga aku tak mampu menapikan – aku menyukainya – dan dia, seperti telah menyalakan lampu hijau, mempersilahkanku masuk, dan mencoba memahaminya lebih dekat.

Dihari-hari berikutnya, aku seperti sedang kecanduan nikotin, tak bisa sehari tanpa menjumpai perempuan itu. Ia telah menyerteku jauh melewati bara-bara api yang panas, hingga jauh jarak tak pernah menjadi soal, badan lelah tak pernah ku tengok, sakit menjadi sembuh, sedih menjadi senang, duka menjadi suka. Dia telah mengubahku menjadi seseorang yang melewati limit ke-aku-an. Hingga semakin hari, dalam dialog dan interaksi yang kulakukan bersamanya, aku semakin tidak mengakui bahwa aku hanya pria miskin anak seorang tukang kuli yang hidup didalam gubuk tua reot dan tidur beralaskan tikar usang. Karena dia selalu mengajaku ke tempat yang menurutnya biasa tapi sejujurnya dalam hati tidak biasa. Makan di restoran mahal, jalan-jalan ke mall, nonton bisokop, dan tempat-tempat lain yang masih tak biasa ku singgahi tapi menurutnya biasa– kadang lelah, tapi api asmara telah mengubah kelelahanku menjadi keasyikan. Dan tahukah, aku setiap saat terbebani dengan biaya-biaya operasional kencan yang tentu tidak sedikit. Atas permintaanya yang seringkali tak masuk akal, semakin sering aku memaksa bapak, merayu ibu, membohongi mereka atas nama sekolah, bayar buku, bayar praktek, dan mereka tak pernah tahu kalau aku sudah 5 bulan tidak membayarkan SPP karena kugunakan untuk biaya kencan.

Aktifitasku bersekolah semakin tidak karuan, seringkali membolos, kabur saat jam pelajaran berlangsung, mengabaikan setiap teguran guru dan seringkali aku dihadapkan di ruang kepala sekolah, di beri surat peringatan untuk orang tua – tapi aku tak pernah memberikannya -, pada akhirnya aku menilai sekolah hanyalah tempat yang menjemukan, tidak menarik, hingga setiap hari, semakin aku menginginkan segera terhempas jauh dari tempat menyebalkan bernama sekolah.


“Ayahmu kerja apa” Tanyanya suatu ketika
“oooh, itu, Ayahku seorang supplier pabrik spare part motor” Jawabku asal, dengan jawaban itu aku hanya ingin menyakinkan bahwa aku bukan pemuda miskin yang memalukan.
“Lho, pantesan motormu selalu gonta ganti ya”
“Iya - padahal dalam hati, ya iya karena setiap aku berkencan dengannya, bergiliran motor teman-teman ku pinjami “

Hingga suatu hari, dia mengajaku traveling, ke tempat saudaranya di puncak, selama 2 hari. Tanpa mempertimbangkan satu dan lain hal, aku pun mengiyakan permintaaanya – sekali lagi, api asmara telah menutup kesadaranku – walaupun setelah itu aku menemui kebuntuan saat motor yang biasa ku pinjami semuanya tak bisa diinapkan bersamaku, teman-temanku berkeberatan meminjamkannya.

Aku benar-benar menemui kebuntuan, hampir tak ada celah untuk membuatnya menjadi mungkin. Waktunya tinggal 5 hari lagi, aku tak mungkin membatalkan memenuhi permintaannya, dia pasti marah besar, tak menyapaku, membiarkanku, yang lebih parah memanasiku berboncengan dengan laki-laki yang tak pernah ku kenal. Nalarku tak lagi sehat, otaku meracuni fikiranku hingga aku sukar membedakan mana jalan baik mana jalan buruk, keinginan untuk memenuhi keinginnannya mendorongku pada kebingungan untuk mewujudkannya. Meminta pada ibu? Ah, tak mungkin, nanya mukijizat saja yang membuat mereka mewujudkan keinginanku. Tapi, fikiranku lagi-lagi sudah mulai sakit, dalam hati aku meyakinkan, mereka bisa mewujudkan apapun yang ku inginkan selagi aku mau bersekolah, inilah jalanku.

*****

“Apa? “ Bapak tersontak kaget saat aku mengajukan permintaan untuk dibelikan motor
“Aku membutuhkannya pak, setiap hari pulang sore ada pelajaran tambahan, kadang aku lelah harus berjalan tiap hari”
“Uang dari mana dri, kemarin kan kamu sudah minta dibelikan HP, dan uangnya bapak pinjam dari teman”
‘Terserah, pokoknya aku mau dibelikan motor” balasku
“Kamu kira gampang nyari uang sebanyak itu?” Kini ibu mulai menimpali
“Aku tak akan bersekolah lagi, selamanya ! titik !, kecuali Bapak dan Ibu penuhi keinginanku”

Aku berlari, seperti biasa, membanting pintu rumah meninggalkannya jauh, tak pulang sehari semalam. Sengaja aku pergi ke rumah teman yang jauh dari kampung, membuat mereka kebingungan harus menemukanku dimana. Sehari berselang, aku pulang bukan karena menyerah atas protes yang kulakukan, tapi karena aku harus bersekolah, dan bersekolahpun bukan keinginan untuk belajar, melainkan sepulang sekolah aku ada janji dengan perempuan yang telah membuat hidupku “sedemikian indah ini”. Dengan muka kusam, raut muram, aku masuk ke rumah tanpa salam tanpa kata. Ibu dan Ayah hanya memandangiku, mereka bertanya, aku diam saja, nyaris tak ada satupun kata terucap, hanya gerak yang menandakan bahwa aku sedang mempersiapkan diri untuk bersekolah.

Waktunya 3 hari lagi, aku harus secepatnya mengambil tindakan. Kalau mereka – orangtuaku – tak mampu mewujudkan keinginannku, maka langkah terakhir adalah, aku akan nekat mencuri. Biar, semua ini demi cintaku yang telah bersemi indah. Tak ada yang mampu membendung gelombang asmara ini, kendati dengan itu aku harus berspekulasi melakukan tindakan tidak masuk akal dan merugikan, yang terpenting adalah membuat kekasih hatiku tersenyum dan tetap bersamaku. Seolah, perempuan itu telah membisiki cinta pada telingaku yang sebenarnya telah ‘tuli’.
Tapi rupanya Tuhan masih menyelamatkanku dari langkah nekat itu. Sepulang sekolah, saat aku tak lagi bersemangat menyinggahi rumahku sendiri, dari kejauhan tampak sebuah motor yang dari penampilannya tidak terlalu memalukan, walau tidak baru pula, tapi motor itu rasanya cukup mengobati luka ku ini.

“Ini motor yang kamu inginkan ndri” Ibu datang saat aku terkagum-kagum dengan kehadiran barang yang lama ku impi-impikan itu, melihatnya, mengamati setiap lekuk tubuhnya.
“terima kasih bu” jawabku
“Tapi, kamu harus lebih rajin belajar” Ayah menimpali sambil sesekali melirik pandangan pada ibu, mereka tersenyum walau aku tak pernah tahu makna senyum apa yang mereka tebarkan

Kali ini aku berhasil lagi – dalam hati – membuat orang tuaku sendiri bertekuk lutut pada semua keinginannku. Aku tak pernah memikirkan dari mana mereka mendapatkan uang untuk membeli motor. Ah, tidak penting, yang penting sekarang aku sudah mendapat jawab dari kebuntuan selama beberapa hari ini. Dan esok, hari sabtu, aku akan menjumpai kekasihku untuk memenuhi keinginannya, traveling ! – menikmati perjalanan seharian, mengukir kisah diperjalanan, ditempat yang lagi-lagi tak pernah kusinggai, puncak !

*****

Keadaan seperti itu terus berulang setiap hari, semakin aku menaruh harap pada perempuan yang sekarang menjadi kekasihku, semakin aku jauh dari penyadaraan akan batas kemampuanku yang sesungguhnya. Aku selalu ingin tampil lebih baik didepannya, membawakan sekuntum bunga cinta untuk membuatnya selalu mendekat, berjalan dengan memanjakannya, walau dengan itu aku harus melupakan hutangku yang semakin bertumpuk karena keseringan meminjam uang pada teman, dan aku harus meniadakan sikap belas kasihan pada orang tuaku sendiri yang setiap saat ku ‘akali’, dan dengan itu pula aku harus mengorbankan sekolahku.

*******

Pada puncak kegagalanku bersekolah, terpaksa aku di drop out karena 20 kali surat peringatan selalu ku abaikan. Dalam waktu bersamaan saat Bapak secara langsung menerima surat pemberhentian itu, secara tak sengaja pada jam sekolah, ia berpapasan denganku ketika memboncengi perempuan itu, disebuah toko dekat pasar biasa Bapak mencari nafkahnya dengan menjadi kuli angkut.

“Andri ! “ Ayah memanggil sambil menepuk pundakku, akupun menoleh.
“Sedang apa kamu disini, bolos sekolah lagi” Tanya Bapak dengan sangarnya

Melihat apa yang yang terjadi, tentu saja membuat keheranan teman kencanku itu.

‘Siapa dia ndri?” tanyanya
“Dia, ….mmmh…. aku tak tahu” Jawabku dengan penuh ketakutan, kulirik Bapak, dan sesekali memandangi dia – teman kencanku.
“Dasar anak tak tau diri, ayo pulang”

Kali ini kulihat kemarahan Bapak yang memuncak, lebih dari kemarahan-kemarahan sebelumnya. Ia memarahiku habis-habisan ditempat umum, didepan kekasihku, hingga ia pun membuka kedok yang selama ini ku tutup-tutupi. Menyebutkan bahwa dia adalah bapaknya, bahwa aku hanyalah anak seorang kuli angkut di pasar ini. Mendengar penjelasannya yang membuat jantungku serasa lepas, dia – teman kencanku – meninggalkanku ditempat ini, bersama kekecewaan yang mungkin tak bisa lagi ia maafkan.

Sesampainya dirumah, kemarahan Bapak tak jua mereda. Ia lebih gila dari apa yang ku perkirakan. Ia memarahiku atas kebohongan-kebohongan yang selama ini ku lakukan, bersekolah padahal selalu bolos, minta dibelikan motor untuk kelancaran bersekolah padahal untuk main-main, ia memarahiku habis-habisan atas kelalainya menyampaiakn 20 surat peringatan dari sekolah, berbulan-bulan tidak membayarkan uang SPP yang sudah ia berikan, hingga surat pemberhentian ini sampai ke tangannya. Setelah puas berjam-jam memarahi, ia meninggalkanku sendiri didepan rumah, sedangkan ibu hanya memandangi penuh keprihatinan, selanjutnya tak mampu berbuat banyak. Mungkin mereka membiarkanku merenungkan keadaan, peristiwa lampau, dan masa-masa depan yang nampak semakin suram saja.

Aku membenci ibu, bapak atas apapun yang mereka lakukan hingga aku kehilangan perempuan yang sangat kucintai. Seperti orang gila yang melakukan kegilaanya pada apapun yang dilakukan, aku menjadi semakin gila dengan mengecewakan ibu dan bapak. Hari-hariku kini kuhabiskan di pos ronda biasa teman-teman kampung ngumpul, semalaman begadang, dan aku juga memiliki kebiasaan baru, yaitu mabuk-mabukan. Sepertinya hanya itu yang bisa mengobati luka hati yang menganga lebar karena aku tak pernah tahu cara lain untuk mengobatinya.

Pulang dengan langkah gontai tubuh lemas kepala berat, aku mengetuk pintu rumah dan bapak yang pada saat itu belum tertidur membukakannya,

“Kamu mabuk lagi !”
“Ah, apa peduli bapak”
“Kamu sudah tidak sayang ibumu yang sakit-sakitan lagi”
“Apa kalian juga mempedulikanku, tidak kan??”
“Andri, kamu jangan kurang ajar ya”
“Heh, bapak yang jangan macam-macam”
“Dasar anak durhaka ! “ Ayah menamparku keras sekali, sekeras kekesalan yang sudah ia pendam sejak lama, sejak aku tak lagi bersekolah, sejak aku membiasakan diri dengan minuman haram ini, sejak aku tak lagi peduli dengan ibuku sendiri.
“Pergi dari rumah ini ! “ Dan ayah sekarang mengusirku dari rumah menyebalkan ini.

Dengan tamparan itu, ibu keluar, matanya nanar dan wajahnya pucat pasi, sedangkan aku yang sudah tak lagi peduli dengan semuanya lari meninggalkan mereka. Ibu memanggil-manggil tapi sedikitpun aku menoleh padanya. Aku terus berlari menyusuri kegelapan malam, diantara semak-semak dibawah temaram redup rembulan.

********

Pergi ketempat yang jauh dari mereka membuatku sedikit tenang, tak ada lagi ocehan, tak ada lagi cercaan, tak ada lagi penekanan yang membuatku mual. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun aku jauh dari kediaman orang tuaku. Aktifitasku adalah mengamen dibis kota, lumayan sekedar untuk makan dan ngontrak rumah, dengan itu aku merasa cukup.

Sedangkan orang tuaku, sudah hampir 3 tahun aku tak pernah menengoknya. Tak ada lagi yang membekas hingga aku merasakan rindu dan keinginan untuk bertandang ke kediaman mereka. Yang kuingat adalah, saat mereka memisahkan dengan orang yang sangat kucintai. Masih terngiang ditelinga saat bapak menamparku, dan masih membekas lukaku yang kian melebar saat dia mengusirku dari rumah yang membosankan itu.

Hingga Tuhan mentakdirkanku bekerja disebuah pabrik sepatu di kota Tanggerang, menikahi gadis yang tak lain adalah anak dari supervisorku sendiri. Aku dibelikannya rumah walau tak mewah dan puncak dari kebahagiaan pernikahanku, Tuhan memberikan karunia seorang anak laki-laki terlahir dari rahim istriku. Hidupku kini semakin lengkap dengan kehadiran mereka. Hidupku bukan lagi ada yang menata yaitu istriku, melainkan kini ada seseorang yang menyemangatiku untuk terus berjuang, dan ia adalah ananku sendiri.

Setelah delapan tahun berselang, disaat anaku menginjak usia 5 tahun, tiba seorang tamu yang lama tak pernah ku jumpai. Ia mengetok pintu rumah dan istriku yang membukakkanya.

“Maaf, mau ketemu dengan siapa” Tanya istriku
“Betul ini rumahnya Andri, neng” Tanya nya
“Betul, ibu siapa ya”
“Alhamdulillah Ya Allah……Saya, saya…. Saya ibunya “ Jawabnya
“Hah, ibunya ! “ Istriku heran, karena pengakuanku kepada semua keluarganya, aku tak lagi memiliki ibu dan bapak, mereka sudah meninggal saat usiaku menginjak 8 tahun.

Lalu aku dating menghampiri tamu tersebut,

“Andri, kemana saja nak “ Ibu berusaha untuk memeluku. Namun tanganku keburu menepis tangannya.
“Ibu siapa” Tanyaku seolah tak pernah mengenalnya
“Katanya dia ibumu mas” Jawab istriku
“Kamu lupa nak, aku ibumu” Ibuku mencoba meyakinkanku – yang sebenarnya tak perlu diyakinkan lagi. Kesombongan dan dendamlah yang membuatku menutup diri untuk mengakuinya sebagai bagian orang tuaku.

“Ibuku sudah meninggal, maaf anda salah alamat” Jawabku sambil menutup paksa pintu.

Ibuku memanggil-manggil persis seperti saat Bapak mengusir 8 tahun lalu, aku tak menolehnya untuk kemudian membukakan pintu itu. Fikiranku berperang denan arogansiku sendiri. Menutup kebenaran dengan akal sehat tak lagi mempan hingga nafsu yang kini kujadikan tameng kebohongan kepada anak istriku. Bahwa tak ada ibu, tak ada bapak, yang ada hanya dendam dan kebencian.

Setelah kejadian itu, malam-malamku tak lagi menyisakan ruang kebahagiaan. Gelisah dan gundah setiap saat menyapaku. Istriku selalu menengahi lamunanku, namun aku tak pernah mampu mengungkap kegundahan ini. Seolah kebencian dan dendam sudah merapat mulutku sendiri, aku menjadi orang tersulit untuk menerima kebenaran yang hadir terpancar dalam diri. Mengikisnya, bahkan membunuhnya agar tak lagi hadir di episode-episode mendatang. Tapi kini, rasa-rasa lelah dan letih tak mampu lagi membuka pintu maaf untukku sendiri. Seperti ada penyesalan yang menggumpal memberatkan kepala atas kebohongan yang ku lakukan pada anak istriku, dan kebohongan yang kukemas dengan cinta hingga berbuah kebaikan palsu. Dan aku sendiri yang harus memupuskannya, padahal ia masih hidup. Aku sendiri yang harus menguburnya, padahal dia belum dikafani.

*****************

Dua hari setelah ibuku bertandang kerumahku, aku memutuskan untuk menemuinya dengan seribu penyesalan yang menyesakan dada. Aku menangis sepanjang perjalanan panjang. Teringat wajah kesabaran ibu dan wajah ketabahan bapak. Mereka yang setiap saat membayangiku dalam kemiskinan hingga aku menafikan takdirku sendiri, kini dalam perjalanan ini hadir dengan sosok yang lama kurindukan. Aku rela menebusnya dengan nyawaku sendiri seandainya mereka tak lagi mengakui kehadiranku. Dan aku berani mengorbankan separuh dari dunia ini untuk menebus semua kebencian dan dendam ini yang membungkan kebenaran.

Sesampainya dikampung dimana dulu bersama ibu dan bapak kami tinggal, secepatnya berlari menghampiri gubuk reot itu. Gubuk yang dulu tak sepantasnya ada dan menjadi bagian dalam hari-hariku, kini berubah menjadi istana mewah yang menghampar didepannya taman-taman surga. Aku menghirup udara segar masuk kesela-sela kulit mengajaku dalam fantasi yang tak pernah kulewati, indah, sangat indah. Fantasi itu membawa fikiranku jauh di hari yang tak pernah lagi kulalui.

“Assalamu’alaikum” Aku mengetuk pintu. Berharap didalam sana mereka menjawab. Lalu membukanya, demi Tuhan, saat itu juga aku akan bersimpuh dibawah kaki mereka, sebagai wujud penyesalan dan kerinduan atas kasih sayang mereka yang bertahun-tahun aku nafikan.
Lama aku menunggu-nunggu jawaban, namun hingga beberapa menit dan berkali-kali aku mengucapkan salam, mengetuk pintu, tak ada satupun suara yang kudengar. Fikiranku kembali buyar, harapanku seperti hampir pupus. Aku mencoba melalui pintu belakang, tapi sama, tak ada respon sama sekali.

“Mau cari siapa” seseorang dari kejauhan menghampiriku. Dari cara berjalan dan postur tubuhnya, sepertinya aku tak asing dengan orang itu.
“Mas Lukman?” Tanyaku
“Lho, Andri ya”
“Ibu kemana mas, bapak masih dipasar ya” Tanyaku kembali.

Mendengar pertanyaan itu, mas Lukman hanya diam, tak ada jawaban hingga aku beberapa kali bertanya. Dari raut wajahnya, aku yakin ia sedang menyusun kata-kata yang sulit ia terjemahkan sendiri, untuk sekedar menjelaskan sebuah makna yang akan difahami oleh seorang anak sepertiku. Meninggalkan rumah, tak mengabari keadaan pada seorang ibu dan bapak bertahun-tahun lamanya.

Masih dalam diamnya, mas Lukman menuntunku ke pekarangan samping rumahku. Tempat ini biasa digunakan ibu untuk menjemur pakaian dan tak jarang bapak gunakan untuk membelah bongkahan-bongkahan kayu bakar. Aku hanya mengikuti perintah simboliknya, ia menunjuk pada sebuah gundukan tanah yang sepertinya ini bukan tanah yang digemburkan untuk menanam tanaman. Semakin dekat, aku ada tepat didepan gundukan tanah itu.

“Ini makam bapakmu, ndri” jawaban singkat dari rangkaian kata yang ia susun membuat jantungku serasa lepas. Nyaris tak percaya, bapak sudah meninggal dan gundukan tanah ini adalah kuburannya

“Sebulan dari kepergianmu, bapakmu sakit lama, 4 bulan ia tak kuasa menahan getir rasa sakitnya hingga memasrahkan diri dan Allah menjemputnya”

“Inna lillahi wainna ilahi rooji’un”

Aku menangis, meronta-ronta penuh penyesalan seperti seorang anak yang 8 tahun lalu menyesal dengan kemiskinan, dan kini aku sendiri yang merasa menjadi penyebab kematian bapak. Mas Lukman mencoba menenangkan, ia memapahkan duduk bersender dibilik rumah. Tangisan yang lama terpendamkan oleh kebencian dan kesombongan, membuncah memecah kepedihan dalam. Arang sudah menjadi abu

“Lalu kemana ibu mas?”

Secercah harapan membungkus kembali luka yang seolah menyatukan mimpiku, sekedar meminta maaf, mencium keningnya, dan berharap bisa memberikan yang terbaik dari apa yang sudah lama tak kuberikan. Tapi lagi-lagi mas Lukman tidak langsung menjawab pertanyaanku. Sesaat dia diam mencoba kembali mengukir kata agar aku memahaminya lebih arif.
“Setelah bapakmu meninggal, ibumu bekerja sendirian, berjuang mempertahankan hidup dengan hutang jutaan rupiah yang ia pinjam dari rentenir”
“Hutang untuk apa mas” aku kaget untuk pemenuhan kebutuhan apa hingga ibu dan bapak memberanikan diri meminjam uang dari lintah darat.

“Saya tidak faham, yang pasti bertahun-tahun ibumu berupaya melunasi hutang berikut bunga yang setiap hari bertambah, namun tak membuahkan hasil. Akhir dari ikhtiarnya ia serahkan sertifikat tanah rumah beserta bangunannya kepada rentenir itu”
“Astagfirullah” Aku tersontak kaget, ternyata rumah ini sudah tak lagi ibu tempati. Aku berfikir lama hingga setiap yang terucap dari kata-kata mas lukman tak lagi kufahami. Aku mencoba mengira-ngira hutang untuk apa hingga berjuta-juta. Fikiranku tak lepas dari rasa sesal yang menyesakan dada, aku mencoba mengalihkannya dengan rasio namun tak berhasil. Kini rasa yang mengendalikanku, tidak seperti tahun-tahun silam saat aku masih bersama mereka, tak ada rasa, yang ada emosi dan egoisme berkepanjangan.

Setelah lama aku berfikir mencoba menjawab pertanyaan yang kubuat sendiri, tersirat memory lama saat aku memaksa dibelikan motor. Selang sehari setelah perdebatan permintaan yang sebenarnya lebih pantas disebuh pemaksaan kehendak, motor itu sudah ada didepan rumah, bapak membelikankannya entah dengan jalan apa. Dalam waktu singkat, uang sebesar itu tak mungkin mereka dapatkan tiba-tiba, tentu ada jalan pintas yang membuat mereka melewatinya. Dulu, sedikitpun tak ku fikirkan dari mana bapak mendapatkan uang itu, tapi sekarang, saat dia sudah meninggal, saat ibu pun tak lagi dus, dan saat rumah ini tak lagi bertuankan orang tuaku, aku mulai yakin pemenuhan keinginanku yang memaksa itu dilakukan dengan jalan pintas meminjam kepada rentenir. Air mataku tak sanggup lagi kutahan, sisa-sisa kesedihan atas penyesalan ini tak mungkin hilang seumur hidupku.

“Lalu sekarang ibu ada dimana mas” tanyaku setelah sekian lama kami sama-sama terdiam.
“Seingatku, setelah rumah beserta tanah ini berpindah tangan, ibumu ngontrak dikampung sebelah, tak jauh dari sini. Coba saja kesana, mudah-mudahan belum pindah”

Tak menunggu waktu lama, aku segera meninggalkan tempat itu, menyusuri jalan menuju tempat yang ditunjukan mas Lukman. Sesampainya disana, sesuai petunjuk aku segera mencari kontrakan H.Hamid. Setelah bertanya ke beberapa penduduk, akhirnya rumahnya ku temukan.

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” Seorang laki-laki tua berpeci putih yang kuyakini dialah H.Hamid menjawab salamku
“Mau ketemu siapa?” tanyanya
“Bapak, H.Hamid?”
“Iya betul, ada perlu apa ya?”
“Maaf pa, saya mau Tanya, ibu Murni masih ngontrak disini?”
“mmh.. maaf ya, ade siapanya ibu Murni?”
“Saya, saya anaknya pa”
“Ya Allah, anaknya? masuk…masuk dulu nak, kita ngobrolnya didalam saja” tuturnya, dengan seraut wajah yang menandakan kekagetan. Aku masuk dan duduk setelah H.Hamid mempersilahkanku masuk dan duduk diruang tengah rumahnya.

“Bu Murni, sering cerita sama saya tentang anaknya yang sudah bertahun-tahun tak kembali” H.Hamid memulai percakapan kami, seolah dia ingin mengakrabkan diri dengan kehadiranku yang pertama ini.

“Rumah dan tanahnya sudah berpindah tangan ke rentenir karena tak bisa melunasi hutang yang ia pinjam beserta bunganya yang mencekik leher” Lanjutnya. Aku hanya menganggukan kepala, membenarkan setiap kata yang ia ucapkan.
“Iya, pa haji, tadi juga saya sempat mampir ke rumah kami dan mendapati ibu tak ada disana” tuturku
“Lalu, apa ibu masih disini pak?”

Atas pertanyaanku, H.Hamid tak langsung menjawab. Ia hembuskan nafas panjang, sesekali tertunduk, sesekali melihatku. Aku menunggu-nuggu kata yang keluar dari mulutnya.

“Tiga hari yang lalu, dia pamit mau ke Jakarta, katanya mau mengunjungi rumah anaknya yang alamatnya entah dari mana ia dapat. Tak ada kabar apakah ia sempat menemui putranya itu atau tidak. Kebingungan saya terjawab ketika mobil jenazah dari salah satu rumah sakit membawanya ke kontrakan ini”

Mendengar penuturan H.Hamid, jantungku terasa benar-benar lepas, semuanya menjadi samar, gelap, dan tak terlihat sama sekali. Selintas bayang bapak memangil-manggil dan ibu melambaikan tangan hingga sekujur tubuh menjadi kaku, air mata yang sedari tadi menggenang menahan kerinduan dan penyesalan, kini lepas meluap.

“Jadi ibu sudah tiada?” aku hanya ingin menegaskan berharap semoga H.Hamid tak serius dengan ucapannya. Suasana hening seketika sambil menanti kepastian jawabannya, aku tak lagi mampu mendengar secara jelas suara yang mengitari ruangan itu. Seperti gua yang bebatuan menghimpitku dan aku terjatuh ke lembah jurang curam yang dalam, .

“Yang sabar nak, berdo’alah semoga arwahnya diterima disisi Allah” tuturnya
“Innalillahi Wainna Ilahi Rooji’un”

Aku hanya diam, menatap kekosongan jiwa yang lama terlena. Kegelapan telah membimbingku pada penyesalan yang berkepanjangan, tak pernah berakhir hingga aku di pertemukan dengan bapak dan ibu ditempat berbeda, tentu bukan didunia ini.

******
Didepan kuburan ibu, dengan kebisuan lidah, jeritan hati, cucuran air mata. Sebaris do’a aku lantunkan untuk kebahagiaanya yang telah kurampas bertahun-tahun. Setelah do’a terucap, seketika bumi bergoncang sangat keras, angin menghembus mengangkat akar pohon hingga roboh beterbangan, rumah-rumah hancur luluh, halilintar menyambar bukit-bukit diantara kuburan-kuburan ini. Saat itu, manusia tak jauh berbeda seperti semut yang dibakar, berlarian terpencar mencari perlindungan. Seorang ibu lupa anaknya, seorang suami lupa istrinya, seorang pengusaha lupa bisnisnya, seorang pujangga lupa akan cintanya. Tiap diri ditakdirkan untuk melupakan semua yang melekat pada baju kebesaran dan keangkuhan hidup. Membenamkannya bahkan mengubur hingga ia sendiri tak mampu mengingat-ingat apa yang telah tergores pada waktu dan kehidupan yang menggumul menjadi bukti nyata kebusukan hati dan raga. Tak ada yang berkuasa dan mengusai, tak ada kebencian dan dendam, tak ada kelicikan dan kekonyolan. Yang ada adalah penyesalan tak berujung ! . Dan seperti itulah suasana hatiku saat memanjatkan do’a pada-Nya.

*****
Karawang, 27 Sept 2009
Ikmal Maulana


Another Posts:

0 komentar:

Posting Komentar