Jumat, 21 Agustus 2009

Sepucuk Surat Untuk Sahabat - Bag 2 : "Tersenyumlah Saat Kau Menangis"


Secepat itu Alloh membolak balikan hati manusia (sangat cepat malah)
dan saya belum siap menghadapi ini semua. kebahagiaan yg dulu sekejap mata tergantikan oleh air mata yg terus-menerus mengalir...
tolong saya kang...

“L”

Sebelumnya izinkan saya meyampaikan rasa simpatik sebesar-besarnya atas apa yang sedang kamu alami. Sejujurnya, mungkin jika saya merasakan hal serupa, belum tentu bisa setegar seperti apa yang akan saya ungkap dalam catatan ini. Tapi sebatas kemampuan saya sebagai “manusia biasa” , kita coba sharing saja.

**********



Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah "makhluk bumi" melainkan "makhluk langit". (Teilhard de Chardin) – Di ambil dari salah satu catatan Chindy Tan.

Percayalah, kita menjadi bagian yang terkuatkan, tertangguhkan, dan tersempuranakan diantara makhluk-makhluk bumi lain yang Tuhan ciptakan. Lihatlah, kita terlahir dengan postur wajah sempurna, hidung diantara kedua mata serasi dengan alis yang mengitarinya, dihiasi rambut yang serasi posiisinya dengan kedua telinga. Kita berjalan sangat sempurna, serasi, dan seimbang. Saat lengan kiri mengayun kedepan, kaki kiri kita mengayun kebelakang. Lihatlah, kita terlahir dengan fungsi organ yang sangat sempurna. Saat kita membutuhkan melihat, Tuhan beri kedua mata. Saat kita membutuhkan mendengar, Tuhan beri kedua telinga. Saat kita membutuhkan rasa, Tuhan beri lidah. Saat kita membutuhkan berfikir, Tuhan beri otak. Saat kita butuh menghayati, Tuhan beri hati. Sangat sempurna !

“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna “ ( QS. 95 :4 )

Jauh sebelum kita menempati ruang-ruang bumi, perhelatan dan pertarungan memperebutkan “penguasaan” atas hak pengelolaan isi dan fasilitas bumi pernah dilakoni makhluk bumi bernama manusia dan makhluk-makhluk Tuhan lain. Tapi lihatlah, ternyata Tuhan berbaik hati memberikan kepercayaannya pada manusia. Dengan kepercayaan itu, kita diberi hak seluas-luasnya untuk menikmati fasilitas bumi. Tanaman yang tersebar, lautan yang membentang, tanah yang menghampar, hewan yang melata bisa kita manfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan jasmaniah dimuka bumi ini. Lantas dengan fasilitas yang Tuhan berikan itu, kita bisa hidup dan menghidupkan kehidupan, mengenyangkan perut kita, meneduhkan pandangan kita, menyejukan jiwa kita. Lantas dengan fasilitas yang Tuhan berikan itu, kita mampu merasakan betapa Tuhan mencintai, menyayangi, mengasihi makhluk yang bernama “manusia”, dan kita bagian dari curahan cinta itu, kita bagian dari kelembutan kasih sayang itu. Karena kita sekali lagi terlahir sangat sempurna!.

“ Maka Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan “ ( QS. 55 : 78 )

Saya tidak hendak melebih-lebihkan dalam kata-kata ini, hingga kau mengira saya sedang “menghibur”. Sungguh, sama sekali tidak. Saya hanya hendak mengingatkan jiwa ini, sebagai bagian dari kemahasempurnaan cinta Tuhan pada saya sebagai manusia, yang terkadang lupa, lengah, lalai, dan terhanyut dalam romantika kemanusiawian. Selebihnya, saya berharap semoga ini pun bisa menjadi sedikit pencerahan untukmu, memberi warna dari hari-hari esok yang akan kau lalui, dengan penuh semangat, dengan penuh optimis, dengan penuh harapan.

**********



Izinkan saya menuliskan salah satu kisah yang mengajarkan kita arti kesabaran, ketabahan, dan kepasrahan seorang gadis kecil atas takdir yang Tuhan berikan. Kisah ini kemudian menjadi sebuah buku yang telah membuat ribuan orang berlinang air mata saat membaca kata demi kata dari isi buku itu. Tidak sama persis dengan bukunya, saya hanya “mendialogkan” latarnya agar terasa lebih hidup dari buku aslinya.

Ini adalah sebuah kisah nyata yang terjadi pada seorang anak bernama Gitta Sassa Wanda Cantika, mantan artis cilik era tahun 1998an. Pada usianya yang ke-13 , ia divonis mengalami kanker ganas yang nyaris membuat wajahnya menjadi tampak seperti monster. Dokter memvonis Gitta akan meninggal dalam waktu 5 hari kedepan jika tidak melakukan operasi. Tapi orang tuanya tidak tega untuk melihat separuh wajah dari putrinya harus hilang karena proses operasi itu. Kasus kanker ganas tersebut baru pertama kali terjadi di Indonesia. Hanya harapan dan mimpi saja yang membuat Gitta bertahan, hidupnya dihabiskan ditempat tidur, meresapi keadaanya yang kian hari kian memburuk. Ia tahu kini hidupnya tidak seperti dulu, hari-harinya tidak seperti dulu, mimpinya tidak seperti dulu. Namun atas semua yang ia terima, Gitta bukan gadis seperti gadis lain yang mudah mengeluh, mudah menangis, mudah menyalahkan. Dia gadis dengan seribu kesabaran dan ketabahan, hatinya tulus dan ikhlas menerima keadaan apapun.

“Bagaimana keadaanmu nak?” Tanya Ayahnya suatu ketika
“Baik Ayah “ Gitta menjawab dengan senyuman sangat pasrah, senyuman yang sedikitpun tidak terpancar rona kebahagiaan, senyuman yang dia berikan pada Ayahnya hanya untuk menghibur diri dan menunjukan kesabaran pada Ayahnya tercinta. Tapi justru dengan senyuman itu, Ayahnya menangis, tangisan penuh kesakitan. Seolah dia faham kata-kata yang tersirat dibalik senyuman anaknya.

“Kenapa Ayah menangis?” Tanya Gitta. Setelah beberapa saat tangisan Ayahnya sedikit reda, ayahnya menjawab,

“Jujur Ayah bangga nak, kamu masih bisa tersenyum saat keadaan yang menimpamu sedemikian beratnya. Ayah menangis karena perjuanganmu terlampau berat, usiamu masih terlalu muda untuk menanggung beban ini”

Lalu dia memeluk Gitta sangat erat, sangat erat sekali. Hingga Gittapun tak kuasa membendung air mata yang masih menyisa dari air mata yang pernah ia tumpahkan dalam hari-harinya. Air matanya membasahi pundak Ayahnya, sesekali dia mengusap pipinya.

“ Ayah, aku memang masih kecil. Aku terlalu dini menanggung beban berat ini. Akupun iri melihat teman-temanku berlarian riang mengitari halaman sekolah, bermain, tertawa, menonton, jalan-jalan. Akupun ingin seperti mereka. Tapi lambat laun, aku mulai bertanya, Apakah Tuhan tidak hendak berbuat adil padaku?? ” Gitta tetap menangis dalam pelukan Ayahnya saat mengatakan semuanya. Ayahnya hanya diam merasakan getaran cinta dibalik tangisan anaknya. Seolah ia tak ingin melepas pelukan itu, apalagi melepas pergi putri tercintanya.

“ Ayah, awalnya aku mengira Tuhan tidak adil, mungkin Ayah pun sama. Tapi ternyata tidak, sama sekali tidak. Semakin aku menderita dengan rasa sakit ini, justru aku merasakan betapa Tuhan menyayangiku, betapa Tuhan ingin memelukku, betapa Tuhan ingin menyapa hari-hari agar Aku terbuai dalam kebesaran-Nya. Ayah, Tuhan tetap adil padaku, namun keadilannya tidak berbentuk sama dengan keadilan yang pernah kita raih sebelumnya “ Gitta melanjutkan

Ayahnya hanya bisa terdiam mendengarkan apa yang diucapkan Gitta. Kata-kata yang kelur bukan hanya dari mulut, melainkan dari hati tulus.

“Iya nak, fikiranmu masih jernih, jiwamu masih bersih, hatimu masih bening. Tuhan pasti sayang padamu, pada kita semua” Jawab Ayahnya.

“ Sekuat tenaga, sekemampuan kita semua, Ayah janji akan membantumu sembuh dari penyakit ini.” Lanjutnya

**********



Berbagai upaya dan ikhtiar dilakukan oleh orang tua Gitta agar ia sembuh dari penyakit yang hampir merenggut nyawanya itu, hingga Tuhan menurunkan keajaiban, Gitta mendapatkan kesempatan untuk sembuh kembali setelah bertahan selama 6 bulan melalui kemotrapi. Dapat dibayangkan betapa menyakitkannya sebuah kemotrapi. Jika dilakukan satu kali saja bisa membuat rontok semua helai rambut di tubuh. Dan itu terjadi sebanyak 25 kali pada seorang gadis kecil.

Namun, Tuhan memiliki rencana berbeda, ketika semua orang bersuka cita atas kesembuhan Gitta, rupanya kesempatan sembuh itu hanya sebuah kesempatan sementara. Kanker itu datang lagi lebih ganas. Gitta pun pasrah melewatkan hari-harinya kembali dengan kanker yang semakin membuatnya kehilangan harapan. Kanker itu besemayam bukan hanya pada wajahnya, melainkan merambat sampai paru paru. Vonis kembali Ia terima dari dokter bahwa hidupnya tidak akan berlangsung lama.

Tapi Giita bukanlah gadis cengeng, saat sakitnya kian memuncak, saat vonis membunuh semua mimpinya, Ia tetap nekad ingin sekolah. Hinaan bahkan cacian dari orang yang melihatnya jijik tidak ia pedulikan. Yang paling menyedihkan, saat ujian kenaikan kelas, tangannya tak mampu lagi bergerak, hidungnya mengeluarkan darah ( mimisan ), namun Ia tetap memaksakan mengikuti ujian hingga selesai. Tekadnya begitu hebat ! Bahkan ia sempat mendapat penghargaan siswa teladan dari sekolah menjelang akhir ujian dengan nilai tertinggi, disisa-sisa akhir hidupnya.

**********



Dipembaringan ruang ICU, Gitta kembali tertidur tak berdaya. Semua orang, Ayah, Ibu, sanak famili, guru-guru, teman-teman dekat, semuanya berkumpul. Gitta masih mengenal baik orang-orang yang ada didekatnya itu. Tapi bibirnya tak mampu lagi tersenyum, lidahnya tak mampu lagi bicara. Air matanya terus membasahi pipi. Begitupun semua orang yang ikut menyaksikan Gitta berjuang atas hari-hari “akhir” dalam hidupnya, semua berlinang air mata. Menangis tersedu-sedu. Ia berusaha membuka oksigen yang terpasang dimulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, Ayahnya sambil mengernyitkan dahi menoleh pada dokter disampingnya, dokter mengangguk sambil membantu membukakakan oksigen itu.

“Ayah, Ibu ……” Gitta bicara sangat perlahan dan berat. Tangis sedu kembali menggema dalam ruangan itu. Ibunya memeluk Gitta, Ayahnya memegang tangannya sesekali mengusap air mata yang jatuh dipelupuk matanya, tapi ia pun tidak setegar seorang Ayah disaat Gitta di rumah, tangisannya lebih keras dari tangisan sebelumnya.

“Ayah, Ibu… ma….afkan…” Gita melanjutkan, suaranya parau, terputus, putus, sangat berat, dia memaksakan untuk terus bicara, namun hanya itu yang bisa dia ucapkan. Ibunya mengangguk, Ayahnya mencium kening anak tercintanya, sambil membisikan talqin…

“Laaa Illaaha Illallah… Laaa Illaaha Illallah…”

Gita tak sadarkan diri, Ayahnya menoleh ke arah dokter dengan wajah cemas. Dengan sigap dokter mencoba membantu dengan memberi pernafasan buatan. Setelah usaha yang dilakukannya tak menunjukan hasil, dokter pun terdiam. Dia menoleh pada Ayahnya, kemudian tertunduk..

“ Ikhlaskan pak, Gitta sudah tiada……….”

“Inna lillahi Wa Inna Ilahi Rooji’uun”

Semuanya tersontak kaget. Ibunya menangis sangat keras, dia memeluk Gitta. Ayahnya merangkul Ibu Gitta sambil sesekali tersedak-sedak karena tangisannyapun tak mampu ia sembunyikan

“Sabar bu, ikhlaskan, lepaskan… biarkan dia istirahat dengan tenang” Ayahnya mencoba menenangkan.

Semua orang tertegun dan tunduk penuh kepasrahan, tak ada satupun air mata yang tidak keluar. Semuanya menangis, sangat dalam.

Saat-saat terakhir Gitta mengucapkan kata “maaf” dengan sangat berat, saat-saat terakhir, saat-saat terakhir ibunya memeluk, saat-saat terakhir Ayahnya mengecup keningnya, Ayahnya membisikan talqin, saat-saat terakhir pula nafasnya berhembus.

Gitta telah “kalah” dalam perjuangannya. Ia meninggal disamping pelukan penuh cinta dan sayang diantara kedua orangtuannya. Ia meninggal disaksikan oleh orang-orang yang mencintainya sejak masih kecil. Gitta telah pulang meninggalkan luka dan beban yang selama 3 tahun dia pikul. Kanker yang telah membuat wajahnya rusak namun ia tidak mengeluh, ia tetap berbaik sangka pada Tuhan, hingga Tuhan menjemputnya…

**********



Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, ia sempat menuliskan surat kecil kepada Tuhan dalam bentuk puisi yang ia tulis dalam diari kecil :

Andai aku bisa kembali
Aku ingin tidak ada tangisan
Andai aku bisa kembali
Aku tidak ingin ada lagi hal yang sama terjadi padaku
Terjadi pada siapapun

Tuhan andai aku bisa memohon
Jangan ada tangis dan duka di dunia lagi
Tuhan andai aku bisa menulis surat untukmu
Jangan pisahkan aku dari sahabat dan orang yang aku sayangin.

Aku ingin menjadi dewasa seperti burung yang bisa terbang ketika ia dewasa
Aku ingin ayah melihat aku ketika aku memiliki lagi keindahan geraian rambut..
Tuhan surat kecilku ini..
Adalah permintaan terakhiku andai
Aku bisa kembali.

**********



Subhanallah…..
Saya yakin siapapun yang hadir diruangan saat-saat terakhir Gitta menghembuskan nafas terakhirnya, tak kuasa membendung air mata, termasuk saya, mungkin juga termasuk kamu. Dia begitu tulus dan ikhlas dengan keadaanya. Mudah-mudah kisah nyata ini menjadi teladan, betapa kita sesungguhnya sangat beruntung dengan apa yang sedang kita alami.

Ada banyak hal yang membuat kita sedih, kecewa, menangis. Tapi ada banyak hal pula yang membuat kita senang, bahagia, dan tertawa. Semuanya datang silih berganti mengisi ruang-ruang hati kita. Keadaan sepertimu adalah bagian dari sirkulasi dari proses naturalistik “kemanusiwian”. Merasa sedih, kecewa, sakit saat orang yang kita cintai meninggalkan kita. Merasa seolah bahagia itu tiba-tiba hilang tergantikan oleh kecewa.

Cobalah tengok penderitaan Gitta. Wajahnya hancur karena kanker ganas yang ia alami, namun sedikitpun ia tidak mengeluh, ia tidak protes, ia tidak stress, bahkan ia malah berterima kasih pada Tuhan atas penyakitnya itu.

“ Ayah, awalnya aku mengira Tuhan tidak adil, mungkin Ayahpun sama. Tapi ternyata tidak, sama sekali tidak. Semakin aku menderita dengan rasa sakit ini, justru aku merasakan betapa Tuhan menyayangiku, betapa Tuhan ingin memelukku, betapa Tuhan ingin menyapa hari-hari agar Aku terbuai dalam kebesaran-Nya. Ayah, Tuhan tetap adil padaku, namun keadilannya tidak berbentuk sama dengan keadilan yang pernah kita raih sebelumnya “

Keadilan Tuhan Tak Mesti Berwujud “Permata”


Lihatlah teman, bagaimana sakit dan sedihnya Ayah dan Ibu Gitta, 3 tahun dalam tangisan, 3 tahun dalam kesedihan mendalam, hingga pada puncaknya harus melepas pergi putri yang tentu sangat mereka cintai.

“Tatap, rasakan, resapi kesakitan, kepedihan, kesedihan saudaramu, maka kau akan merasakan betapa lebih baik dari mereka, Percayalah ! Tak ada batas kecintaan Tuhan pada makhluknya. Yang akan membuat kita tetap “tersenyum” saat-saat kita sakit, hanya SYUKUR”

"Tersenyumlah saat kau menangis ! "

Semoga Tuhan menggantikan yang terbaik dari apa yang pernah kau dapatkan. Mudah-mudahan jawaban ini sedikit mengobati lukamu. Sekali lagi saya tidak hendak mengajarimu, karena belum tentu saya bisa setegar seperti apa yang saya ungkap dalam tulisan ini. Saya hanya ingin mengingatkan saya ! itu saja !

Cikampek, 180809
Ikmal Maulana


Another Posts:

0 komentar:

Posting Komentar