Kita menjadi sulit berterima kasih pada apa yang telah kita raih saat semua yang ada dihadapan seolah tak lagi menarik. Begitu menggebu-gebunya kita untuk membeli baju bagus saat mata kita tertuju pada baju tersebut. Penilaian atas apa yang kita lihat itu menarik, tidak biasa, unik, memikat sehingga membuat kita menginginkan untuk meraihnya, memilikinya. Upaya apapun akan kita lakukan untuk membeli baju itu, andai uang dikantong tidak cukup, memaksakan diri pinjam atau apalah yang penting baju itu menjadi milik kita. Setelah kita beli, dengan penuh kepedean kita memakai baju baru itu untuk menunjukan bahwa kita lebih cantik dengan baju itu, agar teman-teman tahu bahwa kita lebih anggun dan memikat dengan baju baru itu, atau agar orang disekitar memandang kita dengan penuh ketakjuban atas keserasian baju dan tubuh kita. “ambooooi… begitu mempesonanya”.
Itulah baju baru, dengan model baru, bahan baru, kualitas baru, dan tentu dengan harga baru. Saat kita memakainya, suasana pun seolah menjadi baru, wajah menampakan raut ceria, hati kita menjadi sangat bahagia. Padahal hanya sebuah baju, tapi mampu merubah keadaan menjadi berbeda dari keadaan-keadaan sebelumnya Tapi lihatlah, jika pada saat mata kita tertuju pada baju itu, dan kita tidak mampu membeli karena satu dan lain hal, mungkin keadaanya menjadi berbeda. Raut muka sedih akan terpancar, hati kecewa akan dirasakan, suasanapun menjadi menyebalkan. Baju baru membuat kita bisa tersenyum dari pada baju lama. Tapi percayalah itu tak berlangsung lama. Seiring dengan waktu dan moment yang setiap hari terus berputar, seiring dengan intensitas pemakaian, lambat laun, semua rasa-rasa suka, senang, bahagia itu akan sirna, karena manusia membutuhkan “hal” baru lainnya untuk “merevolusi” keadaan menjadi lebih menyenangkan.
Itu hanya ilustrasi sederhana saja. Saya menganalogikan “baju-baju” baru dengan sesuatu yang baru kita terima, kita raih, kita dapatkan. Betapa kita menjadi terbiasa dengan “baju-baju” baru yang menarik untuk membuat keadaan menjadi lebih indah, lebih menyenangkan, lebih memukau. Padahal, susasana dan rasa sebagai apresiasi atas “baju-baju” baru tidak akan berlangsung lama. Pada titik limit tertentu, “baju-baju” baru akan berevolusi menjadi basi, tidak menarik, tidak memikat. Pada akhirnya, kita akan “tersiksa” mencari “baju-baju” baru lainnya untuk menggantikan “baju-baju” lama.
Seandainya saja, kita bisa mengubah kebiasaan itu menjadi terbalik. Saat kita bosan, jenuh, dan menilai “baju-baju” lama tidak menarik, lalu atas penilaian itu kita berusaha keras untuk memodifikasi keadaan rasa maupun suasana menjadi berbeda dengan rasa sebelumnya. Hanya satu yang bisa saya katakan saat keadaan itu menimpamu
“ Berterima kasihlah pada keadaan yang membuatmu tetap tersenyum”
Mungkin pada “baju-baju” tertentu tidak membuat kita menarik, jangankan memakainya, melihatnya pun enggan. Kita akan menyimpan “baju-baju” itu tidak di lemari, tapi dikardus dan mengumpulkannya digudang belakang. Tapi tengoklah pada “baju-baju” yang lain. Salah satu diantaranya pasti ada yang membuat mata kita teduh, sejuk, senang, bahagia. Saat kita memakainya, walau tidak ada penilaian dari siapapun, kita akan melihat bahwa ternyata kita lebih cantik, lebih anggun, lebih mempesona. Walaupun kita tidak mencari dan membeli baju-baju baru, ternyata baju lama pun tetap bisa membuat kita tersenyum.
*************
Assalamu’alaikum
Ikmal, apa kabar? Saya ingin sharing tentang “kejenuhan” pada akitiftas harian. Kadangkala kita merasa jenuh dengan aktifitas rutin. Memulai dipagi hari dan pulang dimalam hari. Dan itulah yang sekarang saya rasakan.
”IP”
Wassalamu’alaikum
**************
Dia seorang anak yang terlahir dari rahim seorang ibu dan dibesarkan atas keadaan orang tua yang secara ekonomi sangat lemah. Tinggal dipinggiran kali dan berada diujung kampung terdalam. Rumahnya terbangun dari bilik, dengan ukuran yang sangat sempit. Saya sering main kerumahnya sekedar silaturhami dan sekedar menyejukan pandangan agar saya tetap berterima kasih pada keadaan saya yang secara ekonomi alhamdulillah, lebih baik dari dia.
Dia anak yang cerdas, berbakat, dan memiliki talenta luar biasa. Sejak SD, SMP, dan SMA selalu juara umum. Walau kami berbeda sekolah, tapi pada saat-saat tertentu sering medikusikan sesuatu hal hingga menjadi sebuah perdebatan sengit. Seringkali saya kalah dengan argumentasinya, dan tidak jarang juga dia “terkapar” dengan argumentasi saya.
Yang membuat saya tetap salut padanya, adalah perjuangan untuk menyelesaikan jenjang pendidikan hingga ia mendapat gelar SE. Dia dagang koran saat ia harus menyelasaikan jenjang SMP. Dia berjualan cendol saat ia harus menyelesaikan jenjang SMA. Dan ia berjualan kacang saat ia harus menamatkan jenjang S1 – nya.
Namun atas semua keadaannya itu, atas semua perjuangan dan jerih payahnya itu ia tetap mampu berterima kasih.
“ Alhamdulillah, saya masih bisa sekolah” tuturnya
Saat ia menyandang gelar SE, saya berfikiran ia akan bekerja diperusahaan tertentu dengan gaji tinggi. Tapi ternyata tidak, ia hanya bekerja sebagai TU disalah satu sekolah dengan gaji tidak lebih dari 200 ribu setiap bulan. Sisa atas aktifitasnya disekolah, ia gunakan untuk berjualan kacang.
Sekarang dia sudah menikah, tentu untuk menghidupi seorang istri tidak sama saat ia masih membujang. Dari sekian banyak kesempatan yang ada, ia hanya mendapatkan kesempatan kecil untuk menjadikan hidupnya lebih sejahtera, tapi lihatlah tenyata ia tetap berterima kasih pada apa yang ia raih, ia dapatkan, ia rasakan.
***************
Saya ingin mengutip sebuah kisah sederhana yang mengajarkan betapa hidup kita menjadi indah saat kita menilai bahwa hidup ini terlalu singkat untuk kita buat menjadi "tidak berarti"
Dia seorang pria muda, direktur disebuah perusahaan ternama, memiliki kekayaan yang luar biasa. Dia biasa menjalani hari-hari penuh semangat, mencintai keluarga sepenuh hati, dan memberi yang terbaik pada hari-hari yang ia lewati. Hingga pada titik tertentu, kerena keadaan buruk membuatnya merasa ”bosan” atas aktifitas, atas keluarga, atas keadaan. Memandang hidup tak lagi indah, melihat anak dan istri tak lagi menyenangkan, memperlakukan karyawan dengan sekehendak amarahnya.
Suatu hari ia memutuskan silaturahmi dan konsultasi pada seorang guru ngaji.
“Ustad, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”
Sang Ustad pun tersenyum, “Oh, kamu sakit.”
“Tidak Ustad, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Ustad meneruskan,
“Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan. Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.”
“Tidak Ustad, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang Ustad.
“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”
“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”
“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”
Giliran dia menjadi bingung. Setiap orang yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Yang satu ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Ustad itu. Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran masakan Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget! Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki, “Sayang, aku mencintaimu.” Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya.
Karena pagi itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali, “Mas, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, mas.”
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?”
Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Mas, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu stres karena perilaku kami semua.”
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
” Ya Allah, apakah maut akan datang kepadaku. Tundalah kematian itu ya Allah. Aku takut sekali jika aku harus meninggalkan dunia ini ”.
Ia pun buru-buru mendatangi sang Ustad yang telah memberi racun kepadanya. Sesampainya dirumah Ustad tersebut, pria itu langsung mengatakan bahwa ia akan membatalkan kematiannya. Karena ia takut sekali jika ia harus kembali kehilangan semua hal yang telah membuat dia menjadi hidup kembali.
Melihat wajah pria itu, rupanya sang Ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi, sang ustad pun berkata “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh, Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan.
” Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan.”
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ah, indahnya dunia ini……
************
Mudah-mudahan jawaban saya bisa mengubah kebosananmu menjadi keindahan !
Salam sahabat !
Karawang, 270809
0 komentar:
Posting Komentar