Rabu, 09 September 2009

Bukankah kemarin kau masih bersamaku ?

Jenazah itu terbujur kaku, tubuhnya tertutup kain putih, Dan aku ada dihadapannya. Nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat. Seketika aku mencubit pipi, menjewer telinga, memukulkan tangan ke tembok sekedar mencari tau apakah ini mimpi. Anehnya aku tak merasakan sakit sama sekali, entah apakah ini indikasi hanya sebuah mimpi, atau rasa sakit yang seharusnya ku alami tak lagi ada dimoment itu, semuanya tertutup oleh kebingungan, keheranan, ketidakpercayaan. Ah, mungkin ini hanya halusinasi saja karena aku telalu lama bekerja dan lelah. Atau ini hanya khayalan saja, kerena kebanyakan membaca fiksi yang nyeleneh, aneh, tidak masuk akal. Aku pun berharap segera bangun dari mimpi ini, tersadar dari halusinasi dan khayalan ini. Tapi semakin berharap semakin aku tersadar bahwa ini bukan mimpi, ini bukan halusinasi, ini pun bukan khayalan seperti yang kuduga.

Yang ada dihadapanku memang jenazah asli, dan aku kembali mengingat-ngingat ketika kapan bermula cerita ini hingga pada akhirnya aku harus ada disebuah ruangan pengap, gelap, dan bau anyir ini. Dipintu masuk ruangan tertulis jelas “KAMAR MAYAT”, sebuah kamar yang bermimpi pun tak pernah untuk memasukinya. Dan kini aku ada diruangan ini, sendiri, tanpa teman, tanpa keluarga. Hanya ada aku dan jenazah yang terbujur kaku diruangan itu. Mula-mula aku tak berani membuka kain putih yang menutupinya, tapi lama kelamaan aku berfikir tentu ada sebab kenapa aku harus ada diruangan ini dan kenapa hanya aku sendiri tidak orang lain. Diatas tembok ku baca sebuat tulisan “Selain keluarga dilarang masuk”. Deg, jantungku hampir lepas saat membaca tulisan itu. Keluarga, kenapa keluarga? Apa yang menjadi alasan aku diperbolehkan masuk ke ruangan ini oleh petugas diluar sana. Aku hampir muntah berlama-lama diruangan yang sejujurnya sangat kubenci, tapi fikiran itu semakin membuatku penasaran untuk membuka kain putih yang menutupi jenazah dihadapanku. Apakah dia bagian dari keluarga ? Deg, untuk kedua kalinya pertanyaan yang kubuat sendiri membuat jantungku kembali hampir lepas. Tapi percuma saja aku bertanya dengan seribu kebingungan dalam hati, toh tak ada yang tahu, tak ada yang menjawab. Hanya dengan membuka kain putih itu semua pertanyaan dan kebingungan ini terjawab.

Perlahan kubuka kain putih yang menutupi jenazah itu dari kakinya. Kusingkap sedikit demi sedikit mengiringi kebingungan yang semakin menyayat fikiran negatifku. Perlahan pula terlihat sepasang kaki kurus dengan urat yang hampir menyembul keluar. Aku merasa tak lagi asing dengan kaki itu. Rasanya, dalam waktu yang lama aku pernah melihat sepasang kaki pada jenazah itu, aku pernah mengenalnya. Jantungku berdetak semakin keras. Kusingkap lagi kain putih itu hingga sampai di tangannya, dan lagi-lagi sepasang tangan yang kulihat ini bukan tangan asing yang baru kulihat. Tangan ini sangat kukenal, bahkan aku tak mungkin melupakan tangan ini. Tangan yang kekar karena himpitan dunia, tangan yang kasar karena kerja kerasnya. Jantungku berdetak semakin kencang, nafasku kini tersengal-sengal, fikiranku berkecamuk keras membantah semua kemungkinan yang sempat terlintas. Ah, tidak mungkin, ini tidak mungkin. Kemarin aku masih menjumpai tangan ini dengan gesitnya memotong-motong kayu bakar, bahkan tadi pagi aku masih menyaksikan tangan ini membawa sepotong roti untuk kucing kesayangannya. Sekali lagi ini tidak mungkin, ini pasti bukan tangan miliknya, hanya kebetulan saja, atau mungkin aku terlalu simpatik dan takjub pada tangan-tangan ini hingga setiap tangan yang terlintas kulihat adalah semirip tangan ini.

Kain putih itu kusingkapkan lagi tepat hingga membuka wajah jenazah itu. Sampai sini mungkin jantungku tak lagi berdetak, nafasku tak lagi berhembus, badanku menjadi kaku seperti jenazah ini. Saat diakhir kusingkapkan kain putih ini, kulihat sebuah wajah teduh, penuh kepasrahan, sekulum senyum tersembul dibalik bibirnya yang merah kehitaman. Aku merasa dunia berhenti berputar, nyaris tak ada suara, nyaris tak ada angin, nyaris tak ada objek yang mengitariku, semuanya hitam, gelap, semuanya diam, bisu, semuanya hening, sepi. Air mataku kali ini tak bisa tertahan, menetes hingga membasahi pipi. Kebingungan, keheranan, keanehan, yang berkecamuk dalam fikiranku kini terjawab sudah. Dan sampai disini aku tak bisa lagi menafikan bahwa jenazah terbujur kaku yang ada dihadapanku ini adalah Ayaku. Inna lillahi wainna ilaihi rooji’un !

********
Sedari kecil saya merasa menjadi bagian dari keluarga dengan kultur, kebiasaan, dan norma yang terbentuk dan ditanam oleh orang tua. Saat lahir, saya menangis dan Ayah tersenyum. Dia mengecup kening ibu “ Alhamdulillah, anak kita terlahir selamat “ begitu tuturnya. Ibu tak kuasa menahan air mata menandakan betapa bahagianya dia atas kelahiran saya, seorang bayi yang belum mengenal apapun tentang hidup dan kehidupan. Lantas ibu tak lelah menyusui, memakaikan baju, mengganti popok. Dan Ayah, bekerja sepenuh jiwa, tak lagi mengenal waktu apakah malam dan siang, tak lagi mengenal rasa apakah lelah dan capek, semuanya ia jalani tanpa batas, tanpa pamrih. Ia melakukannya untuk ibu dan saya, seorang anak yang dalam hidupnya menjadi penyemangat baru, spirit dalam langkah juangnya mencari nafkah. Seorang anak ia ibaratkan sebagai putik yang harus diberi makanan yang cukup, diberi nutrisi yang cukup, diberi perawatan yang cukup, agar tangkai itu menjadi sekuncup bunga yang mekar, terlihat indah, dan meneduhkan setiap mata yang memandangnya.

Saya diajari bicara, merangkak, berjalan, dan berlari. Saat saya mampu mengucap sepatah kata, mereka tertawa sangat lebar, saat saya mampu merangkak mereka bertepuk tangan, saat saya mampu berjalan, mereka bersorak, dan saat saya mampu berlari mereka memeluk, mengecup, mencium. Semuanya memberi pemaknaan mendalam atas rasa bahagia, senang, puas yang mereka rasakan. Lalu saya diajari mengenal objek, memahami masalah, menuntaskan pekerjaan, dan bertanggung jawab atas yang saya lakukan.

Suatu ketika saya bermain bola dan tidak sengaja bola itu mengenai kaca rumah hingga pecah. Seperti anak-anak lainnya, saya hanya diam tertunduk menanti omelan, marahan, mungkin pula hukuman dari Ayah atau ibu. Lalu ayah menghampiri, “nak, menghancurkan itu sangat mudah, tapi untuk membangunnya sulit. Lain kali hati-hati ya, kaca ini mahal dibelinya” . Saya hanya mengangguk dengan rasa sesal dan bersalah. Kali ini Ayah mengajari bertanggung jawab tanpa ia harus marah dan mengomel seperti yang biasa dilakukan oleh ayah-ayah lain pada anaknya

Saat usia saya menginjak sepuluh tahunan, Ayah mengajari sholat dan menanamkan doktrin tidak diperbolehkannya seorang muslim meninggalkan sholat. Hingga setiap kali Ayah pulang, yang ia tanyakan pada saya dan ibu adalah sudah sholat Ashar belum? – saya akan berlari ke tempat wudlu jika dari kejauhan terlihat Ayah pulang sementara saya belum menunaikan sholat Ashar, ibu hanya tersenyum. Ayah, tak segan-segan mencabut sebatang lidi untuk menakuti agar saya sholat, walaupun tak pernah ia memukulkannya – Bukankan itu ajaran Islam yang dicontohkan nabi.

*****

Hingga saya tumbuh dewasa, sekolah, kuliah, dan bekerja ! – mereka tak pernah lelah memberi, tanpa batas, tanpa lelah, dan tanpa pamrih !

*****

“Assalamu’alaikum” Suara itu keluar dibalik telepon yang kuterima ditempat kerja
“Wa’alaikumsalam” Aku pun menyahutnya
“Ini betul dengan Mas Ikmal?”
“Iya, betul pa, dengan bapak siapa, ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf, saya dari Kesatuan Bayangkara, Mas Ikmal kenal dengan Bapak Sulaepi?”
“Iya pa, itu Ayah saya, kenapa?”
“Harap tenang ya mas, saya hanya ingin memberi tahu saja, Ayah mas Ikmal baru saja mengalami kecelakaan dan sekarang sedang ada di UGD RSUD Karawang”
“Astagfirullah, Inna lillahi, sekarang bagaimana keadaanya pa?”
“Masih dalam penanganan serius mas, dimohon tetap tenang, jangan kalut, ibu, kakak, dan saudara lain sudah saya hubungi”
“Ya udah pa terima kasih saya segera kesana sekarang”

Dengan langkah penuh kekalutan, aku segera menuju ke RSUD Karawang. Sesampainya disana, saya sendiri, belum ada ibu, kakak, dan keluarga lain. Diruang UGD saya menghampiri front office,

“Saya mau Tanya bu, pasien bernama bapak sulaepi dimana ya?” Tanya saya pada seorang petugas.
“Oh, maaf pa coba bapak cari sendiri diruangan sebelah kanan”
“Terima kasih bu”

Masih dengan hati yang kalut, Aku mencari wajah ayah, setiap wajah kuperhatikan dengan teliti, setiap baju coba kukenali. Diruangan itu, lebih dari 10 pasien yang khusus ditempatkan karena mengalami kecelakaan lalu lintas, baik yang luka ringan maupun sangat parah. Dan aku tak melihat ayah disana. Didalam hati berucap harap, semoga Ayah sudah dipindahkan diruang rawat.

“Maaf bu, bapak sulaepi tidak ada diruangan sana” Aku kembali bertanya
“Kalau begitu, coba cari diruangan sebelah kiri ini” sambil menunjuk ke arah ruang UGD lain, petugas itu menjawabnya, nyaris tak ada ekspresi sama sekali, datar !.

Akupun berlari menghampiri ruangan itu. Seperti pada ruangan sebelumnya, ku amati satu persatu wajah pasien berharap menemukan salah satunya Ayah, ternyata tak ada. Dan aku mulai yakin, Ayah sudah dipindahkan ke ruangan rawat, mungkin lukanya tak terlalu parah.

“Bu, maaf bapak sulaepi tidak ada diruangan itu” aku kembali bertanya

Sebelum petugas itu menjawab, seorang dokter mengahampiri saya

“Anda siapanya bapak sulaepi?” tanyanya
“Saya anaknya dokter”
“Bapak anda sudah meninggal, dan sudah dipindahkan ke ruang jenazah” jawabnya, sangat datar, nyaris tak ada beban, tanpa ekpresi.
“Astagfirullah, Innalillahi wainnaa ilaihi rooji’un”

Seperti kaca yang pernah ku pecahkan karena bola, saat mendengar jawaban dokter hatiku pun hancur, badanku sakit, dadaku sesak ! Seolah tak yakin, atas jawaban itu. Aku meyakininya setelah ada diruangan itu, berhadapan langsung dengan jenazahnya, mengusap langsung wajahnya, mengecup langsung keningnya. Aku merasa yakin setelah aku melihat diluar ruangan ibu dan kakakku menangis tersedu-sedu. Aku merasa yakin setelah memindahkan jenazahnya dari tandu ke ruangan tengah rumah, semua orang ramai mengitari rumahku. Aku merasa yakin setelah aku memandikan, mensholatkan, dan menyaksikan jenazahnya disemayamkan diliang lahat. Dan aku semakin yakin, untuk terakhir kalinya aku melihat wajah ayah ketika kubuka tali yang mengikat diantara tubuhnya yang tertutup kain kafan untuk disentuhkan ke tanah. Allaahu akbar.. Allahu akbar... Aku, ibu, dan kakak melepas Ayah...

********************

Disebuah kecelakaan Ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Tanpa ada aku, ibu, dan keluarga yang lain. Ia tak banyak mewasiatkan petuah, yang ku ingat hingga sekarang adalah “ Belajarlah tanpa batas ! “ – Kau akan menemui kebuntuan disetiap tikungan, belajarlah untuk menuntaskan kebuntuan itu ! – Semoga Allah menempatkannya dalam naungan cinta dan kasih sayang. Allahummagfirlahu, Warhamhu, Wa’afihi, Wa’fuanhu ! – I LOVE YOU FATHER –

Untukmu yang masih memiliki Ayah, berilah mereka kepuasan dan kebanggan ! - Sebelum kau terpisah jauh darinya.


Dibali Nisan
Kusimpan segenap harap dan mimpi
Untuk kuungkap dihari esok
Untuk mengukir nisan menjadi cahaya

Sebaris do'a ku lantunkan
Untukmu yang tak lelah ku rindu
Agar Tuhan memelukmu
Dan menemanimu dalam lingkar cinta

Kau telah tiada
Namun ragamu bersemayam dalam jiwa
Kau telah tiada
Namun semangatmu membakar mimpi
Kau telah tiada
Namun cintamu mewarnai hati

Ayah !


Karawang, 06 Sept 2009


Another Posts:

0 komentar:

Posting Komentar